masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu; taram-
temaram bayang, bianglala itu
Sajak Desember karya SDD ini bertema introspeksi pada masa tua, menggambarkan momen penilaian atas perjalanan hidup yang telah dilalui. Penyair menggunakan metafora alam, seperti daun penanggalan yang gugur dan hujan yang terdengar dari celah jendela, untuk membingkai suasana batin yang mencerminkan perubahan dan kerinduan emosional. Ungkapan seperti "miskinnya diriku," "ada yang terbaring di kursi letih sekali," dan "masih patutkah kuhitung segala milikku" menunjukkan perasaan keterbatasan dan kelelahan di usia tua, serta kebutuhan untuk melepaskan beban. Penyair juga mengekspresikan hubungan dengan Tuhan melalui frasa seperti "kutanggalkan mantel serta topiku yang tua" dan "hutang-hutangku pada-Mu," yang mencerminkan introspeksi dan pembersihan diri sambil menghitung kembali hubungan dengan Yang Maha Kuasa. Mistisisme terungkap lewat pengakuan penyair terhadap keagungan Tuhan, yang simbolisasikan kedekatan dan pemahamannya atas ketuhanan. Desember, sebagai bulan terakhir dalam setahun, menjadi simbol masa tua atau akhir perjalanan hidup, tercermin dalam bait pertama, "Kutanggalkan mantel serta topiku yang tua, ketika daun penanggalan gugur, lewat tengah malam. Kemudian kuhitung, hutang-hutangku pada-Mu." Hal ini semakin dikuatkan pada bait terakhir, "ketika kusebut berulang nama-Mu; taram-temaram bayang, bianglala itu," di mana bianglala (pelangi) melambangkan keindahan yang memudar akibat kelalaian. Puisi ini menyiratkan introspeksi mendalam dan mengingatkan pembaca untuk merenungkan hubungan dengan Tuhan di akhir hidup.
Â
PADA SUATU HARI NANTI
Â
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!