Mohon tunggu...
Fahliza Syahira
Fahliza Syahira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memasak, menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keheningan Berbicara Lebih Keras

23 Januari 2025   16:25 Diperbarui: 23 Januari 2025   16:20 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ardi selalu menyukai hujan. Saat rintik air jatuh ke tanah, seolah dunia berbicara kepadanya. Dalam setiap tetesnya, ia mendengar kisah-kisah yang tak terucap kisah kesedihan, harapan, dan keheningan. Ia sering bertanya-tanya, mengapa ia lebih nyaman dengan suara alam dibandingkan suara manusia di sekitarnya?

Di rumah, Ardi hanyalah bayang-bayang. Ibunya, Ningsih, seorang pekerja keras yang selalu sibuk dengan urusan rumah tangga. Ayahnya, Pak Hadi, tenggelam dalam pekerjaannya sebagai pegawai kantor yang tak pernah lepas dari layar laptop. Dan Lia, kakaknya, adalah bintang keluarga. Lia selalu menjadi yang terbaik di sekolah, di rumah, bahkan di hati orang tuanya.

Ardi, di sisi lain, seperti pelengkap yang terlupakan. Ia jarang bicara, jarang mengungkapkan perasaannya. Bukan karena ia tak ingin, tetapi setiap kali ia mencoba, kata-katanya seperti tenggelam dalam hiruk pikuk kehidupan keluarganya.

Suara piring dan gelas beradu di meja makan, mengisi keheningan pagi itu. Ardi duduk di kursinya, sendirian di ujung meja. Ibunya sibuk menyiapkan sarapan, sementara Lia duduk di meja makan, berceloteh tentang nilai matematikanya yang sempurna.

“Ibu, lihat ini! Nilai matematikaku sempurna lagi. Guru bilang aku satu-satunya yang bisa menyelesaikan soal tambahan,” ujar Lia dengan suara penuh kebanggaan, sambil menyodorkan kertas ujian.

Ningsih langsung menoleh dengan mata berbinar. “Lia, kamu memang anak hebat! Ibu bangga banget sama kamu” (sambil tersenyum lebar).

Pak Hadi, ayah mereka, yang sedang menyeruput kopi sambil memeriksa ponsel, ikut mengangguk. “Bagus, Lia. Kalau kamu terus begini, pasti bisa masuk universitas terbaik.”

Di sudut meja, Ardi hanya menunduk. Piring nasinya sudah hampir habis, tapi tak ada yang memperhatikannya. Ia ingin mengatakan sesuatu. Bahwa ia juga mendapat nilai sempurna dalam ujian fisika kemarin. Tapi suara kecil di dalam dirinya menahan.

Buat apa? Tidak ada yang peduli.

“Ardi,” suara ibunya tiba-tiba memecah lamunannya. Ardi mengangkat kepala dengan harapan. “Tolong ambilkan sendok dari dapur.”

Hanya itu. Bukan pujian, bukan perhatian. Hanya perintah kecil yang membuatnya kembali merasa tidak berarti. Dengan patuh, ia berdiri dan berjalan ke dapur.

Setelah sarapan, Ardi berjalan pelan menuju sekolah. Ia memandangi anak-anak lain yang berjalan bersama orang tua mereka. Beberapa di antaranya bahkan tertawa bahagia, bercanda dengan saudara mereka. Ardi merasa dadanya sesak. Ia ingin sekali merasakan kehangatan seperti itu. Tapi ia tahu, keluarganya terlalu sibuk untuk memperhatikan hal kecil semacam itu.

Di sekolah, Ardi berbeda. Ia bukan anak yang populer, tapi teman-temannya menghormatinya. Mereka sering bertanya bagaimana ia bisa begitu jeli memahami masalah mereka. Ardi selalu tahu cara menenangkan seseorang, meskipun ia sendiri jarang bicara.

“Ardi, gimana sih caranya kamu tahu aku sedih?” tanya Dani, sahabatnya, suatu siang di perpustakaan.

Ardi hanya tersenyum. “Aku dengar, meskipun kamu nggak bilang apa-apa.”

Dani mengerutkan dahi. “Aneh, tapi itu bener. Kadang aku ngerasa kamu tahu aku lebih dari aku tahu diriku sendiri.”

Ardi tertawa kecil. Namun, di balik tawa itu, ada rasa sakit. Kenapa aku bisa memahami orang lain, tapi keluargaku tidak pernah mau memahami aku?

Ardi sudah terbiasa merasa terpinggirkan. Ia tahu bahwa di keluarga ini, Lia adalah bintang. Semua perhatian tertuju padanya—prestasi akademik, kegiatan ekstrakurikuler, bahkan kepribadiannya yang ceria. Sementara Ardi? Ia hanyalah bayangan. Diam dan tak terlihat.

Namun, keheningan itu adalah ruang di mana Ardi menemukan dirinya. Malam itu, Ardi duduk di kamarnya yang kecil. Di meja belajarnya, ada beberapa karya seni yang ia gambar diam-diam. Tidak ada yang tahu bahwa Ardi memiliki bakat luar biasa dalam melukis. Ia sering mencurahkan perasaannya ke atas kanvas, rasa sepi, frustrasi, bahkan harapannya untuk didengar.

Namun, ia tidak pernah menunjukkan lukisannya kepada keluarganya. Ia yakin, seperti hal lainnya, mereka tidak akan peduli.

Ketika ia mencoba tidur, suara-suara kecil mulai mengganggunya. Suara Lia yang bercerita tentang pencapaiannya. Suara ibunya yang memuji Lia. Suara ayahnya yang sesekali mengeluh tentang pekerjaannya. Semua suara itu bercampur menjadi kebisingan yang tak terelakkan.

Namun, di tengah kebisingan itu, ada suara lain yang muncul. Suara yang lembut, tenang, dan penuh kepastian. “Ardi, kamu istimewa,” suara itu berkata. “Hanya saja, mereka belum melihatnya.”

Ardi membuka matanya. Ia tidak tahu dari mana suara itu berasal. Tapi ada sesuatu yang aneh seperti dorongan kuat untuk melakukan sesuatu.

Keesokan harinya, Ardi membawa salah satu lukisannya ke sekolah. Lukisan itu menggambarkan sebuah keluarga kecil di tengah hujan, dengan satu anak yang berdiri di luar lingkaran, memegang payung sendirian. Guru seninya, Bu Ratna, langsung terpesona.

“Ardi, ini luar biasa!” seru Bu Ratna. “Kamu harus ikut lomba seni ini. Lukisanmu sangat emosional.”

Ardi ragu. “Tapi, apa gunanya, Bu? Tidak ada yang peduli.”

Bu Ratna menatapnya tajam. “Ardi, dunia akan peduli jika kamu berani menunjukkan siapa dirimu.”

Dengan dorongan itu, Ardi akhirnya mendaftar ke lomba seni. Ia menghabiskan malam-malamnya melukis, mencurahkan seluruh perasaannya ke dalam karya seni. Namun, ia tidak memberi tahu keluarganya. Ia ingin melihat, apakah hasil karyanya bisa membuat mereka menyadari keberadaannya.

Hari perlombaan tiba. Bu Ratna mendaftarkan Ardi, meskipun keluarganya tidak tahu apa-apa. Ardi merasa, tidak ada gunanya memberi tahu mereka. Namun, saat hasil perlombaan diumumkan, Ardi mendapat kabar mengejutkan.

“Selamat, Ardi!” ujar Bu Ratna di telepon. “Kamu juara pertama! Lukisanmu akan dipamerkan di galeri seni akhir pekan ini.”

Ardi terdiam. Tangannya gemetar, antara bahagia dan bingung.

Bu Ratna melanjutkan, “Saya ingin keluargamu hadir di acara pameran itu. Kamu harus memberi tahu mereka.”

Dengan berat hati, Ardi pulang ke rumah. Malam itu, ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

“Ayah, Ibu, ada yang ingin ku beritahu,” katanya perlahan. Semua mata menatapnya, untuk pertama kalinya. “Aku... menang lomba melukis. Lukisanku akan dipamerkan.”

Mereka terkejut. Ningsih menatap Ardi dengan alis terangkat. “Lomba melukis? Sejak kapan kamu ikut-ikutan seni?”

Ardi menunduk. “Aku... sudah lama suka melukis. Hanya saja aku tidak pernah cerita bu.”

Pak Hadi menghela napas. “Kenapa kamu tidak pernah bilang sebelumnya?”

“Aku pikir... kalian tidak akan peduli,” jawab Ardi lirih. Suaranya bergetar, tapi ia tetap menatap mereka. “Aku merasa... aku tidak pernah ada di mata kalian.”

Kata-kata itu membuat ruangan sunyi. Ningsih menatap Ardi, lalu Lia, yang terlihat bingung dan terdiam.

“Apa yang kamu lukis?” tanya Lia, mencoba mencairkan suasana.

Ardi hanya tersenyum kecil. “Kalian akan melihatnya nanti.”

Hari pameran tiba. Lukisan Ardi dipajang di tengah galeri, dengan judul besar di bawahnya: “Keheningan yang Berbicara.” Pak Hadi, Ningsih, dan Lia berdiri di depan lukisan itu, tertegun.

Lukisan itu menggambarkan seorang anak kecil di tengah keluarga yang sibuk. Orang tuanya tampak berbicara, kakaknya tertawa, tapi anak itu berdiri sendiri, menatap mereka dengan mata penuh kesedihan. Detailnya begitu hidup, hingga mereka merasa seolah sedang melihat cermin.

“Ibu...” suara Lia pelan. “Ini... Ardi, ya?”

Ningsih tidak menjawab. Matanya mulai berkaca-kaca. Pak Hadi mengangguk pelan, seolah-olah baru menyadari sesuatu. “Dia mencoba bicara lewat ini,” katanya.

Ketika Ardi mendekat, mereka semua memandangnya dengan cara yang berbeda. Ningsih memeluknya erat. “Ardi, maafkan ibu. Ibu terlalu sibuk memperhatikan Lia sampai lupa bahwa kamu juga punya suara.”

Pak Hadi menepuk bahunya. “Kamu anak yang luar biasa, Di. Kami bangga padamu.”

Setelah hari itu, suasana di rumah berubah. Ardi tidak lagi merasa seperti bayang-bayang. Ningsih mulai meluangkan waktu untuk berbicara dengannya, bertanya tentang lukisan-lukisannya. Pak Hadi sering meminta Ardi menggambarkan sesuatu untuknya, bahkan membantunya mengikuti lomba-lomba seni lainnya. Lia, yang sebelumnya selalu menjadi pusat perhatian, kini belajar berbagi.

“Kamu memang pendiam, Di,” kata Lia suatu hari. “Tapi ternyata, keheninganmu itu lebih keras dari kata-kata.”

Ardi hanya tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa keheningannya didengar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun