Ningsih tidak menjawab. Matanya mulai berkaca-kaca. Pak Hadi mengangguk pelan, seolah-olah baru menyadari sesuatu. “Dia mencoba bicara lewat ini,” katanya.
Ketika Ardi mendekat, mereka semua memandangnya dengan cara yang berbeda. Ningsih memeluknya erat. “Ardi, maafkan ibu. Ibu terlalu sibuk memperhatikan Lia sampai lupa bahwa kamu juga punya suara.”
Pak Hadi menepuk bahunya. “Kamu anak yang luar biasa, Di. Kami bangga padamu.”
Setelah hari itu, suasana di rumah berubah. Ardi tidak lagi merasa seperti bayang-bayang. Ningsih mulai meluangkan waktu untuk berbicara dengannya, bertanya tentang lukisan-lukisannya. Pak Hadi sering meminta Ardi menggambarkan sesuatu untuknya, bahkan membantunya mengikuti lomba-lomba seni lainnya. Lia, yang sebelumnya selalu menjadi pusat perhatian, kini belajar berbagi.
“Kamu memang pendiam, Di,” kata Lia suatu hari. “Tapi ternyata, keheninganmu itu lebih keras dari kata-kata.”
Ardi hanya tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa keheningannya didengar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H