“Ayah, Ibu, ada yang ingin ku beritahu,” katanya perlahan. Semua mata menatapnya, untuk pertama kalinya. “Aku... menang lomba melukis. Lukisanku akan dipamerkan.”
Mereka terkejut. Ningsih menatap Ardi dengan alis terangkat. “Lomba melukis? Sejak kapan kamu ikut-ikutan seni?”
Ardi menunduk. “Aku... sudah lama suka melukis. Hanya saja aku tidak pernah cerita bu.”
Pak Hadi menghela napas. “Kenapa kamu tidak pernah bilang sebelumnya?”
“Aku pikir... kalian tidak akan peduli,” jawab Ardi lirih. Suaranya bergetar, tapi ia tetap menatap mereka. “Aku merasa... aku tidak pernah ada di mata kalian.”
Kata-kata itu membuat ruangan sunyi. Ningsih menatap Ardi, lalu Lia, yang terlihat bingung dan terdiam.
“Apa yang kamu lukis?” tanya Lia, mencoba mencairkan suasana.
Ardi hanya tersenyum kecil. “Kalian akan melihatnya nanti.”
Hari pameran tiba. Lukisan Ardi dipajang di tengah galeri, dengan judul besar di bawahnya: “Keheningan yang Berbicara.” Pak Hadi, Ningsih, dan Lia berdiri di depan lukisan itu, tertegun.
Lukisan itu menggambarkan seorang anak kecil di tengah keluarga yang sibuk. Orang tuanya tampak berbicara, kakaknya tertawa, tapi anak itu berdiri sendiri, menatap mereka dengan mata penuh kesedihan. Detailnya begitu hidup, hingga mereka merasa seolah sedang melihat cermin.
“Ibu...” suara Lia pelan. “Ini... Ardi, ya?”