Setelah sarapan, Ardi berjalan pelan menuju sekolah. Ia memandangi anak-anak lain yang berjalan bersama orang tua mereka. Beberapa di antaranya bahkan tertawa bahagia, bercanda dengan saudara mereka. Ardi merasa dadanya sesak. Ia ingin sekali merasakan kehangatan seperti itu. Tapi ia tahu, keluarganya terlalu sibuk untuk memperhatikan hal kecil semacam itu.
Di sekolah, Ardi berbeda. Ia bukan anak yang populer, tapi teman-temannya menghormatinya. Mereka sering bertanya bagaimana ia bisa begitu jeli memahami masalah mereka. Ardi selalu tahu cara menenangkan seseorang, meskipun ia sendiri jarang bicara.
“Ardi, gimana sih caranya kamu tahu aku sedih?” tanya Dani, sahabatnya, suatu siang di perpustakaan.
Ardi hanya tersenyum. “Aku dengar, meskipun kamu nggak bilang apa-apa.”
Dani mengerutkan dahi. “Aneh, tapi itu bener. Kadang aku ngerasa kamu tahu aku lebih dari aku tahu diriku sendiri.”
Ardi tertawa kecil. Namun, di balik tawa itu, ada rasa sakit. Kenapa aku bisa memahami orang lain, tapi keluargaku tidak pernah mau memahami aku?
Ardi sudah terbiasa merasa terpinggirkan. Ia tahu bahwa di keluarga ini, Lia adalah bintang. Semua perhatian tertuju padanya—prestasi akademik, kegiatan ekstrakurikuler, bahkan kepribadiannya yang ceria. Sementara Ardi? Ia hanyalah bayangan. Diam dan tak terlihat.
Namun, keheningan itu adalah ruang di mana Ardi menemukan dirinya. Malam itu, Ardi duduk di kamarnya yang kecil. Di meja belajarnya, ada beberapa karya seni yang ia gambar diam-diam. Tidak ada yang tahu bahwa Ardi memiliki bakat luar biasa dalam melukis. Ia sering mencurahkan perasaannya ke atas kanvas, rasa sepi, frustrasi, bahkan harapannya untuk didengar.
Namun, ia tidak pernah menunjukkan lukisannya kepada keluarganya. Ia yakin, seperti hal lainnya, mereka tidak akan peduli.
Ketika ia mencoba tidur, suara-suara kecil mulai mengganggunya. Suara Lia yang bercerita tentang pencapaiannya. Suara ibunya yang memuji Lia. Suara ayahnya yang sesekali mengeluh tentang pekerjaannya. Semua suara itu bercampur menjadi kebisingan yang tak terelakkan.
Namun, di tengah kebisingan itu, ada suara lain yang muncul. Suara yang lembut, tenang, dan penuh kepastian. “Ardi, kamu istimewa,” suara itu berkata. “Hanya saja, mereka belum melihatnya.”