Ki Ageng Suryomentaram, seorang pemikir Jawa yang bijaksana, mengajarkan konsep "Kawruh Jiwa" atau "Ilmu Jiwa" sebagai suatu metode untuk memahami dan mengelola diri dengan lebih baik. Menurut ajarannya, seseorang yang telah mencapai tingkat kesadaran diri yang tinggi akan mencapai maqamat atau tingkatan sebagai manusia tanpa identitas yang terikat (manungso tanpo tenger). Ia akan menjadi individu yang merdeka, tidak terikat oleh ego (kramadangsa) atau identitas apapun yang melekat pada dirinya, termasuk keinginan untuk menguasai atau dikuasai.
Dalam konteks pencegahan korupsi, konsep "Kawruh Jiwa" yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram menjadi sangat relevan. Korupsi sering kali dimulai dari dorongan keinginan untuk memperoleh kekayaan, kehormatan, atau kekuasaan yang berlebihan, yang dapat dianggap sebagai bentuk dari semat, derajat, dan keramat menurut pandangan Ki Ageng. Dengan menerapkan "Kawruh Jiwa," seseorang dapat belajar untuk mengelola dan mengendalikan keinginan-keinginan tersebut, sehingga dapat bertindak dengan lebih etis dan bertanggung jawab dalam setiap langkahnya.
Dalam praktiknya, "Kawruh Jiwa" memberikan panduan tentang bagaimana seseorang dapat memahami motif dan dorongan-dorongan dalam dirinya sendiri. Ini melibatkan pengembangan kesadaran diri yang mendalam, sehingga seseorang dapat mengenali keinginan-keinginan yang mungkin dapat merugikan dirinya dan orang lain. Dengan cara ini, individu dapat menghindari godaan untuk terlibat dalam perilaku koruptif yang merugikan masyarakat.
Dengan demikian, melalui penerapan konsep "Kawruh Jiwa," seseorang tidak hanya dapat mencapai kebebasan dari belenggu keinginan-keinginan yang merugikan, tetapi juga dapat menjadi agen perubahan yang positif dalam pencegahan korupsi. Sebagai manusia yang mengembangkan kesadaran diri, individu dapat lebih berfokus pada tindakan-tindakan yang membawa manfaat bagi semua pihak, menciptakan lingkungan yang lebih etis, dan membangun masyarakat yang lebih bermartabat.
Namsa atau Enam Sa adalah prinsip yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram, yang terdiri dari enam aspek, yaitu sakepenake (seenaknya/senyamannya), sabutuhe (sebutuhnya/sesuai kebutuhan), saperlune (seperlunya), sacukupe (sacukupnya), samesthine (semestinya), dan sabenere (sebenarnya).
Bila kita menghubungkan konsep Enam Sa dengan upaya pencegahan korupsi, kita dapat menginterpretasikannya sebagai berikut:
1. Sakepenake (Seenaknya/Senyamannya): Seorang pemimpin harus membuat keputusan dan bertindak dengan memastikan kenyamanannya sendiri, tanpa menyalahgunakan kekuasaan atau sumber daya untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
2. Sabutuhe (Sebutuhnya/Sesuai Kebutuhan): Seorang pemimpin harus bijak menggunakan sumber daya, hanya sebanyak yang benar-benar diperlukan, tanpa pemborosan atau kelebihan.
3. Saperlune (Seperlunya): Seorang pemimpin harus bertindak sesuai dengan kebutuhan situasional tanpa berlebihan atau kurang, menyesuaikan langkah-langkahnya dengan konteks yang dihadapi.
4. Sacukupe (Sacukupnya): Seorang pemimpin harus merasa puas dengan apa yang dimilikinya, tanpa kelaparan kekuasaan atau kekayaan yang berlebihan.
5. Samesthine (Semestinya): Seorang pemimpin harus berperilaku sesuai dengan yang seharusnya, tanpa melanggar hukum atau etika dalam tindakan dan keputusannya.