Dalam bahasa Jawa, "Mulur" menggambarkan perpanjangan atau pemenuhan keinginan, sementara "Mungkret" merujuk pada penyusutan atau pemendekan keinginan. Dalam konteks ini, "Mulur-Mungkret" mengacu pada dinamika kompleks keinginan manusia.
Keinginan manusia cenderung "mulur" atau memanjang ketika sudah berhasil memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti sandang, pangan, dan papan. Sebaliknya, keinginan manusia terhadap hal-hal yang besar atau luhur dapat "mungkret" atau menyusut jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar tersebut.
Ki Ageng Suryomentaram mengidentifikasi tiga kategori keinginan manusia dalam skala besar, yaitu Semat (kekayaan), Drajat (keluhuran atau kemuliaan), dan Kramat (kekuasaan). Menurutnya, jika keinginan-keinginan ini tidak dikelola dengan bijak, mereka dapat menjadi sumber ketidakbahagiaan.
Dalam pandangan Ki Ageng, kontrol terhadap keinginan-keinginan besar ini sangat penting untuk mencapai kebahagiaan sejati. Keberhasilan dalam mengendalikan keinginan akan mencegahnya "mungkret" atau menyusut, sehingga manusia dapat mencapai keselarasan dan kepuasan dalam hidupnya. Maka, ajaran "Mulur-Mungkret" tidak hanya mengajarkan pengenalan terhadap dinamika keinginan, tetapi juga memberikan panduan untuk mengelolanya dengan bijak guna mencapai kehidupan yang lebih bermakna.
Ki Ageng Suryomentaram, dalam ajarannya yang terdapat dalam bab ketiga Kawruh Jiwa (ilmu hidup bahagia), menjelaskan secara rinci tentang pengertian kehidupan dan memberikan petunjuk-petunjuk yang sebenarnya mengenai kehidupan. Pengertian kehidupan ini terdiri dari tiga bagian utama:
1. Bagian I: Hidup yang Dikuasai oleh Keinginan
 Â
  Bagian ini menjelaskan tentang kehidupan yang didominasi oleh karep (keinginan) dengan sifat mulur mungkret. Pengertian mulur mengacu pada perasaan senang ketika keinginan terpenuhi, dan pengertian mungkret adalah perasaan susah ketika keinginan tidak tercapai. Keinginan manusia, yang sifatnya selalu berkembang, dapat membuatnya senang saat terpenuhi dan susah ketika tidak.
2. Bagian II: Memahami dan Menjalani Keinginan dengan Tabah
  Bagian ini membahas bagaimana manusia seharusnya memahami keinginannya agar dapat menjalani hidup dengan tabah. Menyadari karep dan memahaminya membantu manusia menjadi lebih kuat dalam menghadapi kehidupan.
3. Jilid III: Hakikat Kehidupan sebagai Keinginan
  Bagian ini menegaskan bahwa manusia yang memahami bahwa kehidupan hanya berisi keinginan (karep) akan mencapai hakikat dari keinginan itu sendiri. Ini membawa pada munculnya "rasa adanya kami," menandakan pemahaman mendalam tentang hakikat keinginan.
Manusia, menurut Ki Ageng Suryomentaram, memiliki sifat penuh keinginan (karep) yang cenderung berkembang dan berkontraksi. Keinginan yang terpenuhi memberikan kebahagiaan, sementara yang tidak terpenuhi menyebabkan penderitaan. Namun, kebahagiaan sejati terletak pada kemampuan manusia untuk melepaskan diri dari siklus senang-susah ini, menyadari bahwa keduanya selalu bersama.