Al-Farazdaq merupakan sastrawan klasik yang hidup pada zaman Bani Umayyah, ia lahir pada tahun 19 Hijriyah. Nama lengkapnya Hammam dan kunyah-nya yang bernama Abu Firas. Nama lengkapnya adalah Hammam bin Ghalib bin Sha'sha'ah bin Najiyah bin Iqal bin Muhammad bin Sufyan bin Mujasyi' bin Darim barasal dari kabilah At-Tamimi. Dalam versi Arab, nama lengkapnya adalah :
Kakek beliau yang bernama Sha'sha'ah bin Najiyah merupakan pemuka kaum dan tokoh terpandang di zaman Jahiliyyah. Dikisahkan kakeknya Al-Farazdaq pernah membeli atau menyelamatkan 30 maw-uudah yaitu : bayi perempuan yang baru lahir dan hendak dikubur hidup-hidup oleh orang tuanya. Nama Al-Farazdaq merupakan julukan yang diberikan orang-orang kepadanya. Julukan tersebut diberikan karena sebab ketebalan wajah yang dimilikinya. Al-Farazdaq lahir di Yamamah (Arab Timur), sebuah tempat di dekat Basra pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Berasal dari sub suku Mudjasyi dari marga Bani Tamim. Ia dibesarkan dalam keluarga terpelajar dan mulia, yang kemudian tercermin dalam banyak puisinya. Al-Farazdaq memiliki kegemaran puisi sejak usia muda.Â
Farazdaq adalah seorang penyair yang hebat, ia memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu bahasa. Bahkan ada yang menyamakan pada sosok Zuhair bin Abi Sulma, salah satu penyair Jahiliyah yang paling terkenal dan ternama saat itu.
Selama masa hidupnya Al-Farazdaq telah berkontribusi dalam dunia sastra khususnya syiir. Ia telah menciptakan banyak syiir, baik berupa madh, hija, fakhr, maupun ghazal. Puisi-puisinya juga sangat berkaitan kondisi sosial dan politik saat itu. Berikut adalah karakteristik puisi Al-Farazdaq yang bertujuan untuk memuji (madh):
Madh Siyasi (Pujian Politik)Â
Ada beberapa puisi Al-Farazdaq yang berisi pujian terhadap pemimpin atau kelompok Bani Umayyah. Para pemimpin atau khalifah menyambut setiap perubahan dalam pola puisi, model dan gaya puisi. Namun pada masa Khilafah Bani Umayyah Tugas utama seorang penyair istana adalah menulis puisi yang menceritakan tentang prestasi atau kesuksesan yang dicapai oleh para penguasa khilafah dan mengabadikan nama mereka dalam puisinya. Penyair menganggap puisi sebagai sarana penghidupan untuk mencari nafkah, dan para penyair dari Khilafah Bani Umayyah tidak ada bedanya dengan pers saat ini. Selain itu, peran dan tugas penyair antara lain sebagai legitimasi kekuasaan bagi para khalifah, kritikus penguasa, dan sebagai responden bagi rakyat. Berikut adalah puisi Al-Farazdaq dalm memuji Abdul Malik bin Marwan yang merupakan salah satu khalifah di masa Khilafah Bani Umayyah:Â
(Ia berkata memuji Abdul Malik bin Marwan:Â
Jika bertemu dengan Bani Marwan, mereka menghunus pedang untuk agama Allah dengan pedang-pedang dalam keadaan murkaÂ
Kawanan yang mencegah Islam dari mereka yang mempercayakan kejatuhan mereka terhadap mereka yang menginginkannyaÂ
Terhadap mereka, mereka bertemu orang-orang ateisnya di Mekkah, dan sebuah tempat tinggal di mana mereka akan memperbaiki perselisihan merekaÂ
Mereka tidak meninggalkan siapa pun untuk sholat di belakang pendusta kecuali seorang fanaÂ
Masuk Islam atau menemui sudut kematian dan hisab yang tercelaÂ
Dan dia berpaling dari niatnya untuk mendapatkan penghasilan dari mereka, bahkan jika mereka adalah orang pertama yang menutup kerusuhan.)Â
Dalam puisi ini menunjukkan Al-Farazdaq memuji-muji Abdul Malik bin Marwan dengan mengatakan keturunan Marwan mereka adalah orang-orang yang selalu berperang karena Allah, mencegah dari orang-orang yang ingin menjatuhkan islam serta akan membasmi siapapun pengkhianat islam semata-mata karena menjaga agama Islam. Puisi tersebut terlihat adanya unsur politis dengan membela dan menyanjung kekhalifahan Bani Umayyah. Â
Setiap penyair tak dipungkiri sangat erat kaitannya dengan fungsi politiknya, mereka setia mendukung sekte atau partai politiknya baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan ada beberapa yang berperilaku munafik, yakni mengatakan sesuatu yang bukan seharusnya dengan melawan perasaan sendiri, untuk penguasa dan keamanan dirinya, atau untuk mengharapkan imbalan dari para khalifah. Maka banyak puisi yang lahir dengan tujuan baru, yakni puisi dengan isu politik. Termasuk puisi al-Farazdaq yang memuji Yazid bin Mu'awiyah menunjukkan bahwa para khalifah Bani Umayyah merupakan Pemimpin pilihan Allah bagi umat Islam dan pertolongan dari-Nya, meski Yazid memiliki kepribadian yang berbeda, perilaku yang buruk yakni senang bermegahan dan kemewahan.Berikut puisi madh al-Farazdaq:Â
  - - Â
(Jika ada nabi setelah Nabi Muhammad saw dari hamba Allah untuk mengurus persoalan
Tentunya engkaulah yang dipilih Allah agar menanggung amanah berat tetapi agung, engkau pewaris seluruh kekayaan (peradaban)
Pewaris seluruh kitab para khalil Allah dan pelaksana kenabiannya.)Â
Puisi di atas adalah pujian al-Farazdaq terhadap Yazid, yaitu meninggikannya dengan karakter yang menunjukkan Bani Umayyah adalah pemimpin dan pengatur negara. Dia juga mengatakan bahwa Bani Umayyah adalah mereka yang selalu membela kebenaran dan melindungi umat Islam. Al-Farazdaq mengatakan bahwa Allah yang memilih Bani Umayyah sebagai khalifah, jika ada nabi setelah Nabi Muhammad, maka Yazid dianggap sebagai nabi berikutnya atau Khalil Allah. Puisi itu menunjukkan unsur politik membela dan memuji Kekhalifahan Bani Umayyah. Dalam puisi-puisi al-Farazdaq yang memuji Bani Umayyah terlihat jelas ada hubungan timbal balik antara penyair dan pemimpin saat itu.
Meskipun polemik terkait kondisi politik saat itu terpecah menjadi 3 kelompok, yakni pendukung Ali bin Abi Thalib, pendukung Muawiyyah dan kelompok yang tidak mendukung Ali maupun Muawiyyah yang dinamakn Khawarij, namun puisi-puisi Al-Farazdaq menunjukkan pujian untuk keturunan Bani Umayyah, termasuk Umar bin Walid, Abdul Aziz bin Marwan, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman bin Abdul Malik, dan masih banyak lagi. Maka secara dzahir Al-Farazdaq menunjukkan keberpihakkan terhadap penguasa politik saat itu yakni Bani Umayyah.Â
Madh Aqidah (Pujian Ideologi)Â
Meskipun secara dzahir Al- Farazdaq menunjukkan keberpihakkan terhadap penguasa saat itu, namun secara ideologi ia merupakan pengikut Syiah karena dijumpai beberapa puisinya yang memuji keluarga Ali bin Abi Thalib maupun ahli bait lainnya, maka secara tersirat didapati bahwa dirinya menganut ideologi syiah. Maka tak diherankan lagi, ia hanya mencari manfaat dari puisi-puisinya kepada penguasa.
Salah satu qasidah yang dilantunkan terhadap ahlu bait adalah ketika beliau sedang berhaji dan disana didapati juga khalifah Hisyam bin Marwan yang sedang thawaf namun beliau belum bisa meraih hajar aswad dikarenakan banyaknya jamaah haji saat itu. Hingga pengawalnyapun juga tak bisa membawa Hisyam ke hadapan hajar aswad. Namun, tiba-tiba semua orang memberikan jalan untuk seseorang dan dengan mudahnya orang tersebut mendekati hajar aswad. Hisyam mengetahui orang tersebut merupakan keturunan Rasulullah, namun ia acuh dan mengatakan tak tahu siapa orang tersebut. Lalu Al-Farazdaq pun memberitahu siapa orang tersebut dihadapan sang khalifah dengan syair pujiannya. Â
(Beliaulah yang jejak langkahnya dikenal oleh butiran pasir yang dilaluinya, begitu pula ka'bah, mekkah dan sekitarnya juga mengenalnyaÂ
Beliaulah keturunan hamba terbaik yang pernah ada, sosok yang hidup dengan berhias ketaqwaan, kesucian, dan kehormatan.Â
Apa kau tak tahu jika beliaulah cucu Sayyidah Fatimah, yang memiliki kakek Nabi penutup para Nabi Allah lainnya.Â
Dengan ucapanmu yang berlagak menanyakan kesosokannya itu, sungguh tak sedikitpun menurunkan derajat wibawanya, sebab orang-orang Arab bahkan non-Arab sudah mengenal sosoknyaÂ
Di saat ia datang menuju Ka'bah dan memegangnya (hajar aswad), Ruknul Hatim enggan melepaskan tangannya karena mengenal betapa ia tinggi nilainya.Â
Allah telah memuliakan dan mengagungkannya sedari dulu, dan demikian itu sudah tertuliskan dalam Lauhil Mahfudz-Nya)Â
Setelah mendengar pujianya untuk keturunan Nabi Muhammad SAW, khalifah Hisyam pun naik pitam dan marah dengan Al-Farazdaq, dikarenakan memuji orang lain dihadapan khalifah. Akhirnya Al-Farazdaq pun dipenjara oleh khalifah Hisyam, namun tak ada penyesalan sedikitpun dalam diri Al-Farazdaq dikarenakan beliau memang mengutarakan apa yang ia rasakan dan beliau memang benar-benar mencintai keturunan Nabi Muhammad SAW. Maka setelah itu Al-Farazdaq banyak membuat puisi hija' dengan sebab ketidakadilan khalifah Hisyam.Â
Syair yang dilontarkan oleh Al-Farazdaq tersebut merupakan syair satu-satunya yang menunjukkan kecintaan dan pembelaan terhadap ahlu bait, namun ia menyampaikan syair tersebut dari lubuk hati yang paling dalam, sehingga secara tersirat menunjukkan ideologinya sebagai pengikut syiah.
Referensi:
(n.d.).5` Retrieved from https://belajarbahasaarab.org/biografi-singkat-penyair-alfarazdaq/Â
Buana, C. (2019). Budaya Satire pada Masa Dinasti Umayyah dalam Syair Hij' Al-Farazdaq. Buletin Al-Turas, 213-214.
Khulqi, A. (2021, Agustus 26). Syair Pujian Farazdaq kepada Cucu Nabi, Sayyidina Ali Zainal Abidin. Retrieved from Pesantren: https://alif.id/read/agkh/syair-pujian-farazdaq-kepada-cucu-nabi-sayyidina-ali-zainal-abidin-b239840p/
Nun, P. D. (2021, Maret 19). Penyair Terkenal Pada Masa Umayyah (Al-Farazdaq, Al-Akhtal Dan Jarir). Retrieved from Pondok Pesantren Darun Nun: http://www.darunnun.com/2021/03/penyair-terkenal-pada-masa-umayyah-al.html
Rahman, B. A. (2017). Relasi antara Sastra dan Politik (Analisis Unsur-unsur Politik dalam Puisi Masa Dinasti Umayyah. Bahasa dan Sastra Arab, 638-640.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H