Mohon tunggu...
Fahmi Mubarok
Fahmi Mubarok Mohon Tunggu... -

selalu mendapati badan bertambah usia pada bulan februari, di setiap tahun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jilbab

18 Februari 2010   06:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:52 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang bisa saja mengabaikan peringatan ini. Namun kemudian ia harus menjalani konsekuensi dari citra yang diciptakannya di dalam benak-benak orang lain yang melihatnya. Tidak jarang bahwa citra yang diciptakan dari suatu gaya berpakaian yang asing biasanya memang bertujuan untuk menarik perhatian orang lain. Seperti, gaya punk, yang “menantang” orang lain dengan pearching, peniti, rantai dan kalung anjing. Atribut-atribut tersebut sangat riskan untuk menimbulkan rasa sakit bagi para pemakainya. Sangat mudah bagi orang lain untuk menyakitinya dengan memegang dan menarik atribut-atribut tersebut dari tubuh mereka. Tapi, pada kenyataannya tidak ada orang yang iseng melakukannya.

Jilbab : Dekonstruksi Kedalaman Niat
Menjadi sesuatu yang “wajar” karena pakaian cenderung dikenakan sebagai representasi ideologi yang seakan dijajakan dalam suatu etalase, dalam suatu “demokrasi selera” dari sekian banyak tawaran pilihan gaya hidup yang disediakan terutama dalam “dunia gemerlap”. Jilbab hanyalah salah satu dari sekian daftar pakaian yang kudu dikenakan dalam menjalani profesi sebagai “jema’at party”.

“Jilbab Britney” tampaknya secara terang-terangan ingin mengajukan suatu citraan mengenai modernitas yang bersatu dengan religiusitas, atau suatu teka-teki yang memaksa masyarakat untuk mencari kaitan antara religiusitas dan ke-seksi-an yang mereka gabungkan dalam style fashion-nya. Pakaian adalah ekspresi dari suatu jalan hidup, jilbab merupakan representasi spiritualitas. Namun, simbol bagaimanapun dapat dipandang sebagai suatu entitas kosong yang dapat diisi dengan petanda apapun. Oleh karena itu, jilbab merupakan personal symbol yang membawa makna baik ditingkat personal maupun kebudayaan, karena tidak semua orang memakainya.

Begitulah ketika semua produk telah di-“kapital”-kan. Dan agama pun menjadi komoditi yang tak luput dari jeratan mata rantai kapitalistik (sangat terasa sekali dampaknya di negara dunia ketiga), atau dalam bahasa gaul-nya, Mc.Donaldisasi Agama.Dan simbol-simbol agama seperti jilbab telah menjadi sebuah trend gaya hidup yang sengaja diciptakan oleh pasar, dengan bumbu doktrin-doktrin agama agar lebih “sesuai” syari’at sebagai penutup aurat. Fenomena sama juga merambah pada pengajian gaul plus ustadz-ustadz yang funky pula, yang dikonsumsi oleh kalangan jetset dan artis. Jilbab dengan berbagai bentuk dan jenisnya—yang dari waktu ke waktu [pasar] terus mendikte para pemakainya—menjadi sangat permukaan sekali. Sekali lagi ini terlepas dari niatan terdalam si pemakai dalam ber-jilbab. Jilbab yang telah menjadi bagian dari gaya hidup pop ini pada akhirnya ”bersujud” pada kepentingan pasar, yaitu pasar yang kapital.

Secermat dan secanggih apapun semiotika dalam menguraikan wacana jilbab tetaplah sulit untuk bisa mewakili keseluruhan fenomena jilbab yang ada hari ini. Karena, hal tersebut selalu berkaitan antara kepribadian sipemakai dan pemaknaan subjektifnya. Jilbab dalam basis teologinya kini senantiasa berada dalam dilema ketika berhadapan dengan media dan gaya hidup pop secara diametral dengan persimpangan jalan antara nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai gaul.

Tampaknya pola sejarah manusia memang berjalan kearah yang makin halus. Tak ada lagi perbudakan manusia secara fisik di dunia ini, yang kemudian berganti pola menjadi apa yang biasa dikenal sebagai hegemoni. Tak ada lagi fethisisme terhadap berhala, yang ada berganti menjadi pemberhalaan terhadap komoditi dan citra yang dikandungnya. Begitu pun dengan jilbab sebagai simbol keagamaan, deviasi yang dialaminya bukan lagi berupa tahayul-tahayul yang naïf, tabu-tabu yang menekan perempuan, tapi bergerak kearah yang makin halus dan lembut berupa deviasi semiotik atau pembacaan berbasis wacana yang makin sophisticated.

Dalam garis tipis, halus dan licin itulah, kini manusia diuji dan disaring ihwal kemurnian niatnya dalam mencari Zat Tanpa Batas, bernama Tuhan. Bersiapkah mendekonstruksi niat pemakaian simbol-simbol keagamaan-mu? Bismillah…..wa Allahu a’lamu bi ash-shawaab..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun