Mohon tunggu...
Fahmi Mubarok
Fahmi Mubarok Mohon Tunggu... -

selalu mendapati badan bertambah usia pada bulan februari, di setiap tahun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jilbab

18 Februari 2010   06:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:52 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senyampang zaman, jilbab semakin terpincuk oleh tuntutan kapitalisasi yang telah merasuk secara mundial. Kenyataan ini menjadi fenomena universal yang telah melumuri wajah seksualitas saat ini. Dunia telah menggelorakan “revolusi tubuh” yang dihela oleh—memakai istilah Pierre Bourdeau—cultural capital dan kian hingar-bingar, membisingkan serta mengangkangi segala yang berceruk jiwani dengan serbaneka cara manusia dalam menjalankan roda kapitalisasi tubuh.

Dalam terpaan modernisasi dan kapitalisasi tersebut, tak akan ada kekuatan apapun yang mampu membendung laju segala bentuk keliaran seksualitas manusia. Jilbab laksana sebutir lampu pijar disela-sela taburan cahaya gemerlap dunia seksualitas manusia. Ia akan terseok-seok menyangga diri sebagai “jalan alternatif” untuk mengarahkan gerak libido manusia yang cenderung bebas. Tak ayal, jilbab gaul yang telah disematkan justru turut berpartisipasi menyemarakkan wajah seksualitas yang kian capitalized.

“Busana muslimah kian up to date”, begitu kesan yang muncul, dan menandakan bahwa dunia fashion pada akhirnya melirik busana muslimah sebagai alternatif gaya seperti yang terjadi pada tahun 1996-an di mana dihelat peragaan busana dengan tema “Tendensi Busana Muslim” di Puri Agung Hotel Sahid Jakarta, memajang karya 12 desainer papan atas tanah air. Peragaan busana kali itu merupakan terobosan baru, suatu show yang menyajikan kemewahan dan keanggunan busana muslimah yang mengkilap, serta sanggup membuat seorang ibu menangis karena kehabisan undangan [hargaRp.45.000,-].

Acara ini merupakan suatu upaya adaptasi busana muslimah yang dahulu diidentikkan dengan pakaian kaum pinggiran kepada kalangan atas, dan sebagaimana lazimnya peragaan busana lainnya, hanya sekitar 30% saja dari busana yang diperagakan dapat dipakai, selebihnya hanyalah untuk menarik perhatian saja. Atau paling tidak, untuk melepaskan keinginan terpendam sang desainer yang diungkapkan lewat karya-karyanya yang “aneh”—suatu cara untuk menghindari kejenuhan akan mode busana yang itu-itu saja—tentu saja kreasi-kreasi tersebut memang terlalu riskan untuk dikatakan memenuhi syarat dan kaidah yang digariskan dalam syari’at Islam.

Jilbab : Double-Interpretation ditengah Masyarakat Kekinian
Faktanya, gaya visual memang bisa menyatu dengan gaya hidup, karena manusia tidak bisa lepas dari bahasa rupa, baik tiga maupun dua dimensi. Pada zaman tradisional masyarakat terbagi sangat jelas baik melalui perhiasan ataupun pakaian. Peter York menyatakan, dibanding dengan hari ini, orang zaman dahulu hidup dalam penjara gaya karena dalam masyarakat tradisi lama gaya visualnya relatif tidak banyak berubah. Adapun dalam sistem masyarakat modern batas-batas budaya lokal, nasional maupun regional dengan cepat menghilang karena arus gelombang gaya hidup global melalui media sangat mudah untuk berpindah-pindah tempat. Sebagaimana yang ditambahkan oleh Alvin Toffler, sekarang ini terjadi kekacauan nilai, yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai tradisional yang mapan akibat pengaruh hegemoni budaya massa, sehingga yang ada adalah nilai-nilai terbatas seperti kotak-kotak nilai yang disebutnya sebagai sub-kultur [konsekuensi peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern].

Dalam perspektif ini, maka busana muslimah pun bisa dikategorikan sebagai sebuah gaya hidup yang menawarkan sebuah identitas sekaligus sarana untuk menghindari kebingungan dikarenakan begitu banyak pilihan. Namun, gaya hidup yang berkembang saat ini sangat beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh suatu masyarakat khusus. Dengan kata lain, semua individu adalah konsumen, yang bisa memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri sesuka hati. Sehingga terjadilah ketidakpastian akan nilai dan gaya hidup yang sebenarnya ditawarkan oleh busana muslim. Karena sistem ”parade gaya hidup” inilah maka perubahan yang radikal dan ironis dalam bingkai idiom busana muslimah pun terjadi secara lompatan paradigmatik maupun sintagmatik.

Saat ini, idiom jilbab/hijab atau busana muslimah tersebut diubah secara paradigmatik. Jilbab misalnya, diganti dengan sebuah topi yang menutupi rambut saja, atau ciput yang biasanya hanya menjadi bagian dalam jilbab, atau bahan-bahan lainnya yang biasanya fashionable namun masih menampakkan bagian leher “jenjang”nya.

Secara sintagmatik, jilbab misalnya, dipadukan dengan sweater atau t-shirt ketat dan dipasangkan dengan celana atau jeans yang ketat pula [kadang sampai kelihatan pusar atau bagian belakang pinggangya]. Sebagai pelengkap yang di”harus”kan, kosmetik tebal [tergantung selera] dan parfum yang telah direkomendasikan menjadi acuan panduan berpakaian remaja muslim, biasanya keluaran griya busana atau mode yang mengusung label islami. Selain itu, pilihan warna yang dikombinasikan hanya sebatas pertimbangan matching semata. Mengacu pada estetika pop saja.

Fashion pada dasarnya adalah suatu antusiasme yang singkat terhadap sesuatu semisal pada gaya berpakaian. Gejolak tersebut datang dan pergi secara cepat dengan kekuatan tinggi, suatu phantasmagoria yang tidak ubahnya musim dengan waktu sendiri. Fashion pun merepresentasikan kecenderungan perilaku manusia yang berlaku sangat singkat. Dalam tatanan masyarakat modern, fashion merupakan suatu industri yang memutar faktor manusia dan modal yang kemudian menjadikannya sebagai suatu kebutuhan industri, sehingga terbentuklah pola-pola yang berkaitan erat dengan perkembangan mode atau fashion. Penilaian terhadap suatu komoditi—dalam hal ini adalah busana muslimah—ditentukan oleh pola-pikir masyarakat yang berkembang pada saat itu yang dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media sehingga mengembangbiakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, makna-makna konotatif. Inilah ideologi.

Hijab atau jilbab sebagai busana muslim kini mengalami deviasi dalam bentuk yang lebih halus. Dia tidak lagi dikaitkan sebagai praktek tahayul yang naïf, tidak pula dengan tabu, akan tetapi dengan image [semata] atau dalam bentuk yang lebih sophisticated, wacana dekonstruktif [syari’at]. Seperti yang terjadi pada hippies, punk dan lainnya, jilbab pun tak lepas dari sentuhan “raja midas” kapitalisme yang mengubahnya menjadi kode-kode komoditi yang bebas dikonsumsi. Misalnya, dalam acara-acara religius di televisi, setelah syarat utama sang presenter terpenuhi—cantik, gaul abis, terkenal, artikulatif dan memiliki image ramah dan mampu improvisasi gesture—maka dilengkapilah dengan jilbab sebagai kode acara tersebut. Hal serupa tidak selalu “diberlakukan” pada presenter pria. Pada kesempatan lain, bisa saja sang presenter tampil dalam suatu acara bernuansa pantai atau kolam renang dengan tuntutan swimsuit baik one-piece maupun two-piece sebagai kodenya.

Permainan semiotis dari simbol-simbol keagamaan tidak hanya terjadi pada jilbab saja, contoh lainnya adalah seperti penggunaan peci haji yang secara sintagmatik dipadukan dengan kode busana gaul lainnya, yang tentu saja, menghilangkan image spiritualitasnya. Digantikan dengan image yang baru sama sekali. Atau janggut yang pernah terdeviasi menjadi simbol dari para penganut Islam fundamentalis, kini dijungkir balikkan menjadi kode milik anak gaul dengan diberi warna-warni yang menyolok. Makna-makna kebudayaan yang adiluhung dan dalam, tampak terlalu canggih untuk bisa dipahami oleh gaya hidup pop (habitus), apalagi makna-makna spiritual. Bukankah jenis-jenis pakaian tertentu akan menciptakan suatu citra diri sang pemakai dalam pandangan orang lain?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun