Jilbab dalam Islam merupakan representasi dari nafs al-mu’minaat yang telah dibersihkan (al-muththahharuun), cahaya iman yang telah “diberi pakaian” taqwa, dan karenanya jilbab juga merupakan representasi dari akhlaq yang mulia, keikhsanan.
Dalam konteks kekinian, dimana unsur-unsur peradaban semakin kompleks dan sistem kemasyarakatan pun mengarah kepada globalisasi, maka makna jilbab pun berkembang. Meminjam istilah Yi-Fu-Tuan, kita tidak dapat tetap bermoral dalam segenap makna kata tersebut, maupun menjaga proyek dan kreasi-kreasi kita termasuk perkakas, perumahan, perkotaan, dan pertamanan-kesungguhan moral dalam bentuk apapun, tanpa di suatu tempat dibelakangnya terdapat sebuah realitas religius yang dirasakan amat mendalam.
Fenomena menarik dari maraknya penggunaan jilbab di Indonesia, bahwa gerakan jilbab di Indonesia justru dipelopori oleh mahasiswi dilingkungan perguruan tinggi non IAIN dan sekolah menengah non-pesantren-institusi “sekuler”. Dari sini, popularitas jilbab kian mengemuka dan sangat menarik untuk didiskusikan kompromi yang terjadi, tradisi Arab dan apa yang merupakan ajaran agama. Cadar jarang dikenakan para mahasiswi di institusi perguruan tinggi Islam, justru dikenakan oleh mahasiswi dilingkungan perguruan tinggi sekuler. Perwujudan Islam yang lebih ekstrim menemukan dukungannya pada mereka yang belum mendalami nilai-nilai Islam semenjak kanak-kanak, namun oleh mereka yang menemukan pentingnya Islam dikemudian dalam kehidupan mereka (instant?).
Jilbab di Indonesia, adalah merupakan suatu peristiwa “100% modern bahkan terlampau modern” dimana perempuan berjilbab adalah sebagai suatu tanda globalisasi, suatu lambang identifikasi orang Islam di Indonesia dengan umat Islam di negara-negara lain di dunia modern ini, serta menolak tradisi lokal, paling tidak dalam hal berpakaian, dan sekaligus sipemakai juga menolak hegemoni Barat.
Jilbab : Genealogi di Indonesia
Pada awal mula “kedatangan” jilbab atau kerudung [jawa : kudung] hanya dianggap sebagai simbol busana kaum pinggiran, selain itu sipemakai pun sangat dibatasi oleh ruang dan waktu, semisal pada saat melayat, shalat tarawih jama’ah, atau pada saat hari raya [‘iedul fitri & ‘iedul adha]. Sedangkan wanita yang mengenakannya kemanapun ia pergi biasanya adalah seorang wanita yang telah ber-haji [hajjah] atau kalangan tertentu saja seperti pesantren. Tentu saja, hari ini hal tersebut telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Jilbab pada dekade 80 dan 90-an [terlebih saat sekarang] telah menjadi mode dan menjadi simbol identitas muslim yang diakui di kalangan gadis-gadis muda.
Mesti ditegaskan bahwa rasa takut dan tekanan dari rumah harus dihadapi para gadis yang mengenakan busana itu. Banyak gadis yang tetap mengenakannya meski mendapat tentangan di rumah. Hal itu merupakan cara yang sopan untuk mengatakan : disinilah saya berdiri dan saya bangga karenanya. Jilbab bagi mereka adalah sebuah pembebasan. Karena dengan jilbab, mereka bisa beraktivitas di masyarakat secara leluasa tanpa harus dipandang rendah oleh orang lain. Feminisme biasanya memprotes ihwal terlalu dominannya laki-laki dalam melahirkan teologi kekuasaan. Misalnya, benturan dengan penggunaan jilbab yang diasumsikan sebagai penjara bagi kaum perempuan, mesti banyak juga yang membantah asumsi itu.
Jilbab hari ini, pemaknaannya begitu beragam. Membawa kecenderungan kearah ideologis. Bagi mereka yang kadang-kadang memakai jilbab dan kadang-kadang tidak—tergantung perasaan dan keadaan—jilbab hanyalah suatu cara berpakaian, bukan sebagai suatu simbol agama yang dikaitkan dengan suatu station spiritualitas tertentu. Pola pemahaman dan penafsiran terhadap jilbab seperti ini cukup banyak, dan bisa dikatakan sebagai suatu gejala yang biasa saja di kalangan aktivis yang bergelut dengan wacana. Suatu kesangsian semiotik terhadap jilbab dengan kesimpulan yang terlalu fatalis.
Jilbab : Antara Syari’at dan Fashion
Mengemukanya jilbab—utamanya 10 tahun terakhir—bisa dikategorikan sebagai sebuah fenomena gaya hidup pop, fenomena yang biasanya dikenal dengan nama “kudung gaul”, “jilbab trendi” atau “jilbab Britney”. Wanita yang mengenakan kerudung up to date tersebut biasanya selalu mengenakan jilbab pada saat bepergian keluar rumah. Jilbab itu kemudian dikombinasikan dengan pakaian semisal sweater atau t-shirt yang “kekecilan” [body-fit], tak ayal lekak-lekuk tubuhnya terdeteksi dan tergantung di atas pinggangnya, inipun masih dipadu dengan celana [jeans atau katun] yang—demi sebuah ke”matching”an—juga ketat, stretch atau hipster.
Gejolak diatas memang tengah menjadi suatu trend fashion yang seringkali diidentikkan sebagai pakaian anak gaul. Oleh karena itu cara pandang mereka berbeda dengan yang pertama tadi. Jilbab bagi mereka sangatlah banal dan permukaan, selain itu dalam pergaulan pun mereka mengikuti etika yang berlaku komunitas anak gaul seperti cara berpacaran, hanging out di pusat perbelanjaan, mendatangi jumpa fans atau konser idolanya, dan berteriak-teriak histeris, bahkan na’udzubillah dalam beberapa kasus ada yang hamil diluar nikah. Kudung gaul dalam hal ini bisa dikatakan sebagai suatu bentuk ideologi schyzofrenic.
Jilbab atau kudung gaul telah menancapkan keberadaannya sebagai salah satu model dalam relasi seks [relasi kuasa juga?]. Ia adalah sebilah cermin dari wajah kehidupan masyarakat, yang derapnya seiring dengan gelombang liberalisasi seks yang tengah melesak di tabir sexual clash of civilization. Eksistensi jilbab menjadi semakin complicated, ia merupakan bentuk kapitalisasi tubuh.
Di luar optik hukum [syari’at], jilbab—dalam sejarah awalnya—merupakan produk budaya yang bergandengan dengan kepercayaan mistik dan lambat-laun menjadi praktik seksualitas dengan lambaran agama. Ia diadopsi dan dimodifikasi menjadi format yang melampaui dunia rasionalitas dan sangat ekstrim. Jilbab gaul tetap eksis karena bergelinjang dengan pasang-surut libido manusia, diperkokoh oleh budaya dan agama, serta diperlempang oleh kekuatan modernitas dan materialitas. Dalam hal ini, faktor keterpikatan materi yang kapitalistik tak dapat diabaikan begitu saja, karena ia adalah katalisator dalam praktik jilbab gaul.
Senyampang zaman, jilbab semakin terpincuk oleh tuntutan kapitalisasi yang telah merasuk secara mundial. Kenyataan ini menjadi fenomena universal yang telah melumuri wajah seksualitas saat ini. Dunia telah menggelorakan “revolusi tubuh” yang dihela oleh—memakai istilah Pierre Bourdeau—cultural capital dan kian hingar-bingar, membisingkan serta mengangkangi segala yang berceruk jiwani dengan serbaneka cara manusia dalam menjalankan roda kapitalisasi tubuh.
Dalam terpaan modernisasi dan kapitalisasi tersebut, tak akan ada kekuatan apapun yang mampu membendung laju segala bentuk keliaran seksualitas manusia. Jilbab laksana sebutir lampu pijar disela-sela taburan cahaya gemerlap dunia seksualitas manusia. Ia akan terseok-seok menyangga diri sebagai “jalan alternatif” untuk mengarahkan gerak libido manusia yang cenderung bebas. Tak ayal, jilbab gaul yang telah disematkan justru turut berpartisipasi menyemarakkan wajah seksualitas yang kian capitalized.
“Busana muslimah kian up to date”, begitu kesan yang muncul, dan menandakan bahwa dunia fashion pada akhirnya melirik busana muslimah sebagai alternatif gaya seperti yang terjadi pada tahun 1996-an di mana dihelat peragaan busana dengan tema “Tendensi Busana Muslim” di Puri Agung Hotel Sahid Jakarta, memajang karya 12 desainer papan atas tanah air. Peragaan busana kali itu merupakan terobosan baru, suatu show yang menyajikan kemewahan dan keanggunan busana muslimah yang mengkilap, serta sanggup membuat seorang ibu menangis karena kehabisan undangan [hargaRp.45.000,-].
Acara ini merupakan suatu upaya adaptasi busana muslimah yang dahulu diidentikkan dengan pakaian kaum pinggiran kepada kalangan atas, dan sebagaimana lazimnya peragaan busana lainnya, hanya sekitar 30% saja dari busana yang diperagakan dapat dipakai, selebihnya hanyalah untuk menarik perhatian saja. Atau paling tidak, untuk melepaskan keinginan terpendam sang desainer yang diungkapkan lewat karya-karyanya yang “aneh”—suatu cara untuk menghindari kejenuhan akan mode busana yang itu-itu saja—tentu saja kreasi-kreasi tersebut memang terlalu riskan untuk dikatakan memenuhi syarat dan kaidah yang digariskan dalam syari’at Islam.
Jilbab : Double-Interpretation ditengah Masyarakat Kekinian
Faktanya, gaya visual memang bisa menyatu dengan gaya hidup, karena manusia tidak bisa lepas dari bahasa rupa, baik tiga maupun dua dimensi. Pada zaman tradisional masyarakat terbagi sangat jelas baik melalui perhiasan ataupun pakaian. Peter York menyatakan, dibanding dengan hari ini, orang zaman dahulu hidup dalam penjara gaya karena dalam masyarakat tradisi lama gaya visualnya relatif tidak banyak berubah. Adapun dalam sistem masyarakat modern batas-batas budaya lokal, nasional maupun regional dengan cepat menghilang karena arus gelombang gaya hidup global melalui media sangat mudah untuk berpindah-pindah tempat. Sebagaimana yang ditambahkan oleh Alvin Toffler, sekarang ini terjadi kekacauan nilai, yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai tradisional yang mapan akibat pengaruh hegemoni budaya massa, sehingga yang ada adalah nilai-nilai terbatas seperti kotak-kotak nilai yang disebutnya sebagai sub-kultur [konsekuensi peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern].
Dalam perspektif ini, maka busana muslimah pun bisa dikategorikan sebagai sebuah gaya hidup yang menawarkan sebuah identitas sekaligus sarana untuk menghindari kebingungan dikarenakan begitu banyak pilihan. Namun, gaya hidup yang berkembang saat ini sangat beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh suatu masyarakat khusus. Dengan kata lain, semua individu adalah konsumen, yang bisa memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri sesuka hati. Sehingga terjadilah ketidakpastian akan nilai dan gaya hidup yang sebenarnya ditawarkan oleh busana muslim. Karena sistem ”parade gaya hidup” inilah maka perubahan yang radikal dan ironis dalam bingkai idiom busana muslimah pun terjadi secara lompatan paradigmatik maupun sintagmatik.
Saat ini, idiom jilbab/hijab atau busana muslimah tersebut diubah secara paradigmatik. Jilbab misalnya, diganti dengan sebuah topi yang menutupi rambut saja, atau ciput yang biasanya hanya menjadi bagian dalam jilbab, atau bahan-bahan lainnya yang biasanya fashionable namun masih menampakkan bagian leher “jenjang”nya.
Secara sintagmatik, jilbab misalnya, dipadukan dengan sweater atau t-shirt ketat dan dipasangkan dengan celana atau jeans yang ketat pula [kadang sampai kelihatan pusar atau bagian belakang pinggangya]. Sebagai pelengkap yang di”harus”kan, kosmetik tebal [tergantung selera] dan parfum yang telah direkomendasikan menjadi acuan panduan berpakaian remaja muslim, biasanya keluaran griya busana atau mode yang mengusung label islami. Selain itu, pilihan warna yang dikombinasikan hanya sebatas pertimbangan matching semata. Mengacu pada estetika pop saja.
Fashion pada dasarnya adalah suatu antusiasme yang singkat terhadap sesuatu semisal pada gaya berpakaian. Gejolak tersebut datang dan pergi secara cepat dengan kekuatan tinggi, suatu phantasmagoria yang tidak ubahnya musim dengan waktu sendiri. Fashion pun merepresentasikan kecenderungan perilaku manusia yang berlaku sangat singkat. Dalam tatanan masyarakat modern, fashion merupakan suatu industri yang memutar faktor manusia dan modal yang kemudian menjadikannya sebagai suatu kebutuhan industri, sehingga terbentuklah pola-pola yang berkaitan erat dengan perkembangan mode atau fashion. Penilaian terhadap suatu komoditi—dalam hal ini adalah busana muslimah—ditentukan oleh pola-pikir masyarakat yang berkembang pada saat itu yang dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media sehingga mengembangbiakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, makna-makna konotatif. Inilah ideologi.
Hijab atau jilbab sebagai busana muslim kini mengalami deviasi dalam bentuk yang lebih halus. Dia tidak lagi dikaitkan sebagai praktek tahayul yang naïf, tidak pula dengan tabu, akan tetapi dengan image [semata] atau dalam bentuk yang lebih sophisticated, wacana dekonstruktif [syari’at]. Seperti yang terjadi pada hippies, punk dan lainnya, jilbab pun tak lepas dari sentuhan “raja midas” kapitalisme yang mengubahnya menjadi kode-kode komoditi yang bebas dikonsumsi. Misalnya, dalam acara-acara religius di televisi, setelah syarat utama sang presenter terpenuhi—cantik, gaul abis, terkenal, artikulatif dan memiliki image ramah dan mampu improvisasi gesture—maka dilengkapilah dengan jilbab sebagai kode acara tersebut. Hal serupa tidak selalu “diberlakukan” pada presenter pria. Pada kesempatan lain, bisa saja sang presenter tampil dalam suatu acara bernuansa pantai atau kolam renang dengan tuntutan swimsuit baik one-piece maupun two-piece sebagai kodenya.
Permainan semiotis dari simbol-simbol keagamaan tidak hanya terjadi pada jilbab saja, contoh lainnya adalah seperti penggunaan peci haji yang secara sintagmatik dipadukan dengan kode busana gaul lainnya, yang tentu saja, menghilangkan image spiritualitasnya. Digantikan dengan image yang baru sama sekali. Atau janggut yang pernah terdeviasi menjadi simbol dari para penganut Islam fundamentalis, kini dijungkir balikkan menjadi kode milik anak gaul dengan diberi warna-warni yang menyolok. Makna-makna kebudayaan yang adiluhung dan dalam, tampak terlalu canggih untuk bisa dipahami oleh gaya hidup pop (habitus), apalagi makna-makna spiritual. Bukankah jenis-jenis pakaian tertentu akan menciptakan suatu citra diri sang pemakai dalam pandangan orang lain?
Orang bisa saja mengabaikan peringatan ini. Namun kemudian ia harus menjalani konsekuensi dari citra yang diciptakannya di dalam benak-benak orang lain yang melihatnya. Tidak jarang bahwa citra yang diciptakan dari suatu gaya berpakaian yang asing biasanya memang bertujuan untuk menarik perhatian orang lain. Seperti, gaya punk, yang “menantang” orang lain dengan pearching, peniti, rantai dan kalung anjing. Atribut-atribut tersebut sangat riskan untuk menimbulkan rasa sakit bagi para pemakainya. Sangat mudah bagi orang lain untuk menyakitinya dengan memegang dan menarik atribut-atribut tersebut dari tubuh mereka. Tapi, pada kenyataannya tidak ada orang yang iseng melakukannya.
Jilbab : Dekonstruksi Kedalaman Niat
Menjadi sesuatu yang “wajar” karena pakaian cenderung dikenakan sebagai representasi ideologi yang seakan dijajakan dalam suatu etalase, dalam suatu “demokrasi selera” dari sekian banyak tawaran pilihan gaya hidup yang disediakan terutama dalam “dunia gemerlap”. Jilbab hanyalah salah satu dari sekian daftar pakaian yang kudu dikenakan dalam menjalani profesi sebagai “jema’at party”.
“Jilbab Britney” tampaknya secara terang-terangan ingin mengajukan suatu citraan mengenai modernitas yang bersatu dengan religiusitas, atau suatu teka-teki yang memaksa masyarakat untuk mencari kaitan antara religiusitas dan ke-seksi-an yang mereka gabungkan dalam style fashion-nya. Pakaian adalah ekspresi dari suatu jalan hidup, jilbab merupakan representasi spiritualitas. Namun, simbol bagaimanapun dapat dipandang sebagai suatu entitas kosong yang dapat diisi dengan petanda apapun. Oleh karena itu, jilbab merupakan personal symbol yang membawa makna baik ditingkat personal maupun kebudayaan, karena tidak semua orang memakainya.
Begitulah ketika semua produk telah di-“kapital”-kan. Dan agama pun menjadi komoditi yang tak luput dari jeratan mata rantai kapitalistik (sangat terasa sekali dampaknya di negara dunia ketiga), atau dalam bahasa gaul-nya, Mc.Donaldisasi Agama.Dan simbol-simbol agama seperti jilbab telah menjadi sebuah trend gaya hidup yang sengaja diciptakan oleh pasar, dengan bumbu doktrin-doktrin agama agar lebih “sesuai” syari’at sebagai penutup aurat. Fenomena sama juga merambah pada pengajian gaul plus ustadz-ustadz yang funky pula, yang dikonsumsi oleh kalangan jetset dan artis. Jilbab dengan berbagai bentuk dan jenisnya—yang dari waktu ke waktu [pasar] terus mendikte para pemakainya—menjadi sangat permukaan sekali. Sekali lagi ini terlepas dari niatan terdalam si pemakai dalam ber-jilbab. Jilbab yang telah menjadi bagian dari gaya hidup pop ini pada akhirnya ”bersujud” pada kepentingan pasar, yaitu pasar yang kapital.
Secermat dan secanggih apapun semiotika dalam menguraikan wacana jilbab tetaplah sulit untuk bisa mewakili keseluruhan fenomena jilbab yang ada hari ini. Karena, hal tersebut selalu berkaitan antara kepribadian sipemakai dan pemaknaan subjektifnya. Jilbab dalam basis teologinya kini senantiasa berada dalam dilema ketika berhadapan dengan media dan gaya hidup pop secara diametral dengan persimpangan jalan antara nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai gaul.
Tampaknya pola sejarah manusia memang berjalan kearah yang makin halus. Tak ada lagi perbudakan manusia secara fisik di dunia ini, yang kemudian berganti pola menjadi apa yang biasa dikenal sebagai hegemoni. Tak ada lagi fethisisme terhadap berhala, yang ada berganti menjadi pemberhalaan terhadap komoditi dan citra yang dikandungnya. Begitu pun dengan jilbab sebagai simbol keagamaan, deviasi yang dialaminya bukan lagi berupa tahayul-tahayul yang naïf, tabu-tabu yang menekan perempuan, tapi bergerak kearah yang makin halus dan lembut berupa deviasi semiotik atau pembacaan berbasis wacana yang makin sophisticated.
Dalam garis tipis, halus dan licin itulah, kini manusia diuji dan disaring ihwal kemurnian niatnya dalam mencari Zat Tanpa Batas, bernama Tuhan. Bersiapkah mendekonstruksi niat pemakaian simbol-simbol keagamaan-mu? Bismillah…..wa Allahu a’lamu bi ash-shawaab..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H