Dari samping dia perhatikan kalau akar pohon beringin ini hampir menutupi mulut got, kalau diingat lagi dulu biasa digunakan anak-anak untuk bersembunyi. Tentu saja, seingatnya pohon ini memiliki celah yang cukup bagi seorang anak untuk bersembunyi. Anggukan dahan dan ayunan lembut akar-akaran beringin seolah menginyakan dugaannya.
Saat menyusuri sisi-sisi pohon itu, dia hampir tidak menemukan celah yang dikiranya. Maka, Engkos terpaksa menyingkirkan akar dan batang baru yang tumbuh saat memeriksa.Â
Sesuatu menarik perhatiannya, dibalik batang baru yang disingkirkannya terdapat batang mati yang tampak tertebas secara serampangan. Apakah ada seseorang yang mencari sesuatu? Atau mungkin meninggalkan sesuatu, sebab di sela-sela yang lebih dalam Engkos melihat sebuah kertas berlipat. Tampak aman dari kelembapan sehingga pesan yang tertulis di situ masih cukup terbaca, tetapi Engkos memerlukan bantuan cahaya senter untuk memperhatikannya.
"Lupakan kami."
Senada dengan memuncaknya lagu perpisahan yang mendayu-dayu, Engkos semakin tergerak untuk meraih kertas itu. Baginya pesan tersebut tidak lagi berupa peringatan, melainkan bukti untuk mengakhiri misteri ini. Dia berusaha meraihnya sembari menahan jepitan batang-batang baru, sampai-sampai bahunya pun ikut masuk lebih dalam. Naas, bukan kertas itu yang didapatmya, tetapi malah sesuatu yang melilit seluruh lengannya. Dalam satu tarikan dia tersedot ke dalam celah itu.
Saat siuman, Engkos disambut oleh bau-bauan seperti kulit pohon kering dan campuran aroma kemenyan yang kuat. Satu-satunya sumber penerangan di sini adalah sinar matahari yang melewati celah-celah dari atas sana. Seisi pohon ini terasa membelitnya sampai hampir tidak mungkin untuk meronta-ronta. Engkos berusaha untuk berteriak, namun suaranya sebatas bergema dalam pikiran.Â
Sejenak dia menenangkan diri, memejamkan mata, lalu mulai terdengar bunyi-bunyi seperti tarikan nafas, dan gesekan-gesekan kasar yang samar-samar di sekelilingnya. Akhirnya, Engkos dapat reuni dengan teman-temannya, meskipun mereka tinggal kerangka dibalut kulit yang berlumuran getah pohon.
"Meungpeung deukeut, hayu urang sosonoan", demikian hal terakhir yang terlintas dalam pikirannya.
***
Lonceng angin di depan ruang kelas Dewi mengajar kembali berdenting. Kali ini dengan bunyi nyaring seperti pada dawai tegang yang langsung putus sekali dipetik. Ketika bel jam istirahat berbunyi, Bu Dewi mewanti-wanti, "Ingat anak-anak jangan main petak umpet di sekitar pohon beringin."