Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Politik

Parpol Post-Democracy dalam Perspektif

31 Maret 2018   11:53 Diperbarui: 3 April 2018   14:53 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang, mari kita tempatkan fenomena partai post-democracy di bawah mikroskop dan melihat bagaimana keadaannya dari lensa ilmu kompleksitas, lalu di-zoom-in melalui lensa psikologi politik. Pertanyaan “apa yang membuat partai post-democracy tetap dapat memiliki dukungan masyarakat?” akan dijawab melalui perspektif ilmu kompleksitas – sebagai kondisi di tingkat makro. Sedangkan pertanyaan “dengan cara apa dukungan tersebut dapat terealisasikan?” Pertama-tama dijelaskan melalui psikologi politik (terutama bila berkaitan dengan individu dan persepsinya) dan kembali pada ilmu kompleksitas.

Kondisi di Tingkat Makro

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, menurut ilmu kompleksitas, kondisi di tingkat makro bermula dari interaksi antarindividu dalam kelompok, kemudian antara kelompok dan kelompok lain. Bila suatu kelompok tidak berinteraksi dengan kelompok lain, bisa dipastikan kelompok itu tidak terpengaruh untuk memberi dukungan suara misalnya, dan mengembangkan pola masyarakat yang berbeda. Seperti yang dilansir dalam BFI News tentang penyebaran dukungan pada pilkada DKI Jakarta 2016 lalu, memadamkan dukungan tidak mesti dengan menyiramkan ‘counter argument’, tetapi dengan mengisolasi satu wilayah dari pengaruh luar. Sekarang, mari kita lihat lebih jauh seperti apa interasi antarkelompok dalam masyarakat membentuk sistem sosial dan kondisi di tingkat makro.

Sistem perpolitikan mengandung ketidakpastian, meskipun pemerintahan bediri di pusat kehidupan masyarakat, proses dalam sistem tersebut seringkali luput dari perhatian. Terdapat dua penjelasan untuk itu, pertama sistem politik bergantung pada abstraksi kognitif yang seringkali berubah, dan kedua kemunculannya sendiri yang didasari pada pola kognitif (Khanafiah, Sartika, & Situngkir, 2004). Singkatnya, bergantung pada apa yang dipikirkan oleh individu, lalu disebarkan dan terbentuk secara kolektif. Perbedaan di tingkat individual yang kemudian berelasi secara nonlinear itulah yang menimbulkan ketidakpastian.

Lantas bagaimana sistem dengan ketakpastian yang berkontingensi pada kognisi tiap individu memperoleh kondisi yang setimbang secara berangsur-angsur? Pada 1976 dan 1982, Richard Dawkins mengusulkan konsep 'memetics' yang menunjukan evolusi kultural sebagaimana evolusi genetik Darwin. Sebagai unit terkecil dalam kultur, meme membentuk semacam jaringan yang dijembatani oleh allomeme memuat opsi 'ya' atau 'tidak' pada tiap pernyataan 'jika, maka' yang benada politis (Khanafiah dkk, 2004). Misalnya, 'jika harus memilih dalam pilpres, maka saya memilih A'. Sekumpulan meme yang membentuk kelompok di sebut 'memeplex'. Selain itu, meme mengalami replikasi di tiap interaksi dan tindakan yang dilakukan aktornya. Sayangnya, ketika data memetics ini disimulasikan secara komputasional tidak ditemukan kemungkinan untuk stabil (Situngkir, 2004), tampaknya ketakpastian yang kompleksitas memang kondisi inheren dalam sistems politik.

Berdasarkan penelitian Khanafiah, dkk, (2004), diketahui bagaimana kondisi makro dapat terbentuk melalui memeplex berdasarkan data pemilihan umum tahun 2004. Diketahui pula bahwa setiap meme memiliki fitness value (dengan rentang 0-1) yang dapat memprediksi pemenang dalam pemilihan. Sekali lagi, terdapat kompleksitas karena tiap meme tidak berhenti pada kelompok sejenisnya, tetapi berinteraksi dengan jenis meme lain. Membentuk semacam koalisi, sebagaimana partai yang berhaluan agamis dan nasionalis berkoalisi. Dalam penelitian tersebut, terdapat kategorisasi latar belakang partai yang terdiri atas 'Democratic', 'Religious', 'Secular', dan 'Other'. Memeplex yang dominan menunjukan bahwa latar belakang ideologis tersebut menjadi preferensi publik, yang ditunjukan oleh temuan penelitian sebagai kategori Religious-Other. Terdapat alasan mengapa kategori tersebut dominan, pertama, dengan mengusung religiusitas masyarakat mengharapkan adanya stabilitas sosial; kedua, other merupakan 'titik konvergensi' dari gabungan partai berhaluan 'religious-democratic-other' dengan 'secular-religious-other'.

Kondisi di Tingkat Mikro

Partai-partai post-democracy yang disebutkan dalam pendahuluan mulai menunjukan perkembangan menjadi seperti partai konvensional. Misalnya dalam situs partai gerindra dan perindo dapat ditemukan berita mengenai kegiatan partai yang melibatkan komunitas. Di media sosial, facebook contohnya, terdapat bukti yang menunjukan bahwa partai post-democracy mendekatkan diri pada masyarakat umum yang dapat dilihat melalui jumlah banyaknya jumlah pengikut, Gerindra + 3,6 juta, perindo 125 ribu, dan terdapat banyak halaman partai Nasdem dengan jumlah pengikut rata-rata di atas ratusan. Namun, karakteristiknya seperti self-sufficient, formal shell, pragmatis personal, dan agenda yang bersifat top-down, masih tidak dapat diketahui secara bagaimana perkembangannya sekarang ini. Sehingga kita tidak dapat mengetahui apa yang menjadi alasan bagi individu yang menyadari karakteristik tersebut. Kita harus kembali pada apa yang dikabarkan media bila ingin tahu mengapa seseorang memberikan dukungan pada partai post-democracy, tepatnya melalui informasi tentang kebijakan atau ungkapan bernada populis yang pernah tersiar.

Misalnya pada wacana mengenai ‘jargas’ (jaringan gas) pada tahun ini, kebijakan ini menuai kritik karena masih dipertanyakan efesiensi anggaran dan produksi tabung gas. Apa yang didapat dari informasi ini adalah bagaimana seseorang memprosesnya sehingga mempunyai keyakinan, menggantinya, ataupun mengintegrasikan keyakinan dengan informasi tersebut, untuk kemudian diaktualisasikan dalam tindakan politis (Sears dkk, 2003), misalnya dengan memilih atau mendiskusikannya. Andaikan wacana tersebut dikeluarkan oleh Gerindra, Nasdem, atau Perindo misalnya, pada saat yang sama terdapat kelangkaan gas, maka akan masuk akal bila seseorang tertarik untuk mendukung partai dan wacana kebijakan yang akan dikeluarkannya. Selanjutnya, orang-orang mulai ikut beropini sebagai bentuk tanggapan positif pemberitaan tersebut.

Secara terperinci, pembentukan opini dapat dijelaskan secara proses kognitif yang mekanistik dan heuristik (jalan pintas mental). Alasannya adalah karena ada peran afeksi yang diikursertakan dalam pemprosesan informasi sebagai hot cognition. Di samping afeksi yang menentukan suka atau tidak suka, hot cognition tak dapat dilepaskan dari struktur ingatan jangka panjang (Sears et al., 2003). Secara garis besar, afeksi membuat perasaan menjadi informasi, memprosesnya sampai selesai, dan apakah hasilnya menjadi pilihan atau sekedar preferensi (Lodge & Taber, 2016).

Proses yang serupa dapat terjadi pada orang-orang yang memberi dukungan untuk partai post democracy. Berita tentang partai akan memenuhi kebutuhan populis seperti pada paragraf sebelumnya, cenderung disukai publik sehingga orang mempertimbangkan apakah dirinya perlu memberi dukungan. Hebatnya, informasi semacam itu memengaruhi perasaan dengan cepat, terjadi priming dalam hitungan milidetik sebelum diproses secara sadar dalam working memori (Lodge & Taber, 2016). Sederhananya dapat diilustrasikan sebagai berikut, Partai A dikabarkan membuat kebijakan jargas yang menurunkan harga gas, pendengar berita kemudian menyukai informasi tersebut, kemudian perasaan sukanya dan informasi tersebut menjadi tak terbedakan dan diproses. Bila dianalogikan secara silogisme, terdapat premis “saya menyukai kebijakan penurunan harga gas”, lalu “Partai A akan menurunkan harga gas”, hasilnya “saya (akan) menyukai partai A”, pada titik ini informasi dapat integrasikan dengan keyakinan sebelumnya untuk kemudian dijadikan referensi dalam pembuatan opini, atau sekedar menjadi preferensi sebelum masa pemilihan.

Interaksi dari Mikro ke Makro

Kondisi di tingkat mikro yang melibatkan pemprosesan informasi politik menunjukan bahwa status parpol sebagai partai post-democracy yang dikatakan berkecenderungan oligarki, self-sufficient, dan memiliki loyalitas superfisial di dalam keanggotaannya, tampaknya tidak relevan bagi publik. Di sini baik partai konvensional ataupun post-democracy, seakan-akan berada dalam ‘kotak hitam’. Publik hanya tahu dan terlibat dalam memasukan ‘input’, dan melihat seperti apa ‘output’-nya, tapi mekanisme dan sistem yang dijalankan oleh partai sama sekali tidak diketahui. Sehingga tak jadi soal apakah partai berstatus post-democracy atau tidak.

Namun, bagaimana dengan keberjarakan antara partai post-democracy dengan komunitas dalam masyarakat? Bukankah melalui poin ini kita dapat mengerti karakteristik partai post-democracy yang self-sufficient dan memiliki loyalitas superfisial (formal shell), yang dengan kata lain untuk memberikan dukungan pada partai post-democracy adalah sesuatu yang mesti dipikirkan secara matang, apalagi masyarakat itu sendiri merasa bahwa partai telah mengecewakan dan tidak memberikan manfaat pada kehidupan mereka. Dari sini, kita mulai meraba-raba bagian dalam ‘kotak hitam’ melalui pintu masuk berupa pembuatan opini oleh individu yang bermula dari pencarian informasi politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun