Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Politik

Parpol Post-Democracy dalam Perspektif

31 Maret 2018   11:53 Diperbarui: 3 April 2018   14:53 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh mashable.france24

Keberadaan dan Kondisi PartaiPost-Democracy

Mari bayangkan kembali Pilpres 2014, apakah yang dapat Anda kenang pada momen pesta demokrasi tersebut? Ada yang menjawab 'drama', katanya persaingan dua kubu yang perankan lewat 'TV merah' dan 'TV biru'. Sebagian dari kita mungkin sudah tahu rahasia umum kalau dua TV tersebut adalah 'alat politik' milik elit suatu partai. Lalu pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa hal demikian bisa terjadi? Bila 'ya', kami ucapkan selamat datang di era partai 'post-democracy'.

Kehadiran partai post-democracypernah terjadi di Italia. Partai tersebut bernama Forza Italia, didirakan oleh Berlusconi yang berlatar belakang sebagai pengusaha yang disegani di negeri asalnya. Dinamika internal Forza Italia menunjukan karakter post-democracy dengan adanya 'firma politik' melalui orang kepercayaan yang ditempatkan pada kedudukan strategis (Noor, 2017). Dalam kasus Berlusconi dia menempatkan Cesare Previti dan Marcello Dell'Utri yang bekerja di perusahaan iklan naungan Finivest.

Kehadiran post-democracy terjadi dalam lembaga pemerintahan yang sudah ada. Semula, partisipasi masyarakat dari golongan menengah yang membentuk lembaga tersebut berorientasi pada penegakan keadilan dan kebajikan dalam masyarakat. Namun, muncul golongan baru yang mengalihkan orientasi tersebut pada kebutuhan populis, sebagai dalih untuk mengamankan dan menjalankan kepentingan sesamanya. 

Golongan ini dinilai mapan secara ekonomi dan berhasrat mempertahankannya. Maka dari itu, kebijakan praktis yang dibuat seringkali diklaim sebagai 'kepentingan umum' melalui penggiringan opini dan pandangan publik (Noor, 2017). Lebih jelasnya, partai post-democracy memiliki karakteristik berikut, 1) firma politik, 2) self-sufficient, 3) pragmatis-personal, 4) Top-Downagenda, 5) formal shell

Pembahasan dalam essai ini berangkat dari hasil analisis Noor (2017) mengenai partai post-democracy di Indonesia yang terdiri atas partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), Nasdem (Nasional Demokratis), dan Perindo (Persatuan Indonesia). Partai tersebut tergolong sebagai post-democracy lantaran sejarah kemunculannya yang dilandasi oleh sekelompok pengusaha yang menjadi tokoh penting dalam partai, dan dinamika partai yang bergantung pada eksistensi pengusaha dan jaringan korporat. 

Meskipun terbilang mapan secara finansial, partai post-democracy menghadapi tantangan tersendiri yang mana merupakan konsekuensi dari karakteristiknya. Menurut Noor (2017), terdapat dua tantangan yaitu perlembagaan yang problematis dan kecenderungan oligarki.

Setelah melihat sekilas mengenai apa itu partai post-democracy dan alasan kemunculannya, terdapat beberapa hal yang masih perlu dipertanyakan kembali terutama pada mengenai berbagai peran yang mendukung partai untuk melampaui statusnya sebagai post-democracy

Ambilah contoh kasus kemenangan suara Gerindra di Jawa Barat, bila partai berjarak dengan masyarakat dan dinilai tidak berkontribusi, lantas bagaimana perolehan suara itu menjadi mungkin? Apakah karena didukung penggunaan figur populis untuk menodongkrak popularitas partai? Bila ditarik lebih jauh lagi, apa yang membuat partai post-democracy tetap dapat memiliki dukungan masyarakat, dan bagaimana karakteristik masyarakat yang memberi dukungan suara pada partai tersebut. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu dijelaskan secara singkat perspektif yang menjadi pisau analisis di sini, ilmu kompleksitas dan psikologi politik.

Mengenal Ilmu Kompleksitas

Ilmu kompleksitas menanggapi kondisi keilmuan modern yang memisahkan aspek kehidupan individu dari berbagai hal yang berkaitan dengannya. Salah satu alasannya, sifat reduksionistik a la Cartesian yang tidak lagi cocok dengan kompleksitas masa kini (Situngkir, 2006). 

Ilmu kompleksitas menawarkan alternatif untuk menjelaskan fenomena dalam kehidupan sosial tanpa mereduksinya ke dalam kerangka teoritis disiplin tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menunjukan adanya relasi antarentitas yang saling memengaruhi, bagaimana interaksinya, dan seperti apa perwujudannya di tingkat kolektif. Dengan kata lain, bagian-bagian partikular yang berperan di tingkat mikro secara bersama-sama membangun sistem sosial dalam skala makro.

Ilmu kompleksitas menjelaskan bahwa hubungan sebab akibat dalam proses tersebut terjadi secara nonlinear (Situngkir, 2006). Lebih jelasnya, bayangkan tren berpakaian remaja kekinian misalnya, bila mengikuti cara berpikir ilmiah konvensional kita akan mendefinisikan siapa itu remaja, apa saja yang terjadi di tahap perkembangannya, variabel apa yang relevan antara teori remaja dengan fenomena tersebut -- konformitas dan konsep diri misalnya -- maka dari itu kita akan mencari tahu apakah asumsi tersebut menunjukan adanya korelasi ataupun kecederungan tertentu. Singkatnya, di sini kita menjelaskan fenomena tren sebagai konstruk tentang remaja dan berbagai variabel yang terkait. 

Lain halnya dengan jawaban ilmu kompleksitas, kita mesti kembali pada seperti apa remaja kekinian itu mengekspresikan tren tersebut, di mana lingkungan tempat tinggalnya, menyelidiki setiap media dan informasi yang diakses, dan melihat bagaimana pola dalam kumpulan data membentuk kluster di tingkat makro dan apa kekhasannya. Apa yang diperoleh dari hal itu? Bagaimana data menunjukan bahwa tren berpakaian remaja kekinian dapat terkait dengan gaya hidup di belahan bumi lain, tren dalam industri tertentu, budaya populer, strategi marketing, dan lain-lain.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, tepatnya bagaimana data dan informasi yang menjadi titik tolak penelitian, ilmu kompleksitas perlu didukung dengan pemahaman tentang ilmu data. Kalau dalam penelitian konvensional data dikumpulkan dengan mengikuti kaidah tertentu dan bergantung pada populasi serta teknik sampling, lain halnya dengan data dalam pemahaman ilmu data. Dalam ilmu data, data itu sendiri beranjak dari gabungan antara komputasi, pengetahuan terapan dan kemampuan substantif (Situngkir, 2015). 

Data yang dimaksud adalah berbagai bentuk informasi (teks, suara, gambar) yang didapat dari kemajuan teknologi informatika dewasa ini. Kemudian di analisis dengan metode statistik nonlinear dan diviluasisasikan dalam bentuk pemetaan ataupun dengan matriks yang menunjukan bagaimana keterkaitan antara satu data dengan data lainnya sehingga terlihat seperti apa cara kerja sistem sosial yang berlangsung.

Psikologi Politik

Psikologi politik merupakan penerapan hasil penelitian dan teori psikologi pada ranah politik. Bagaimana kepribadian, perkembangan manusia, kognisi, dan hubungan antarkelompok dapat menjelaskan fenomena dunia politik seperti mobilisasi, kemunculan gerakan politik, konflik antarkelompok massa pendukung pemerintahan dan oposisinya, ataupun proses pengambilan keputusan dalam membuat kebijakan. Dalam essai ini, teori yang menjadi fokus untuk menjelaskan fenomena partai post-democracy adalah bagaimana proses kognisi individu dalam mengolah informasi.

Asumsi aliran gestalt mengenai kebutuhan individu untuk memahami sesuatu secara teratur dari observasi mengenai ketakteraturan objek yang secara spontan menghasilkan kognisi dan persepsi, berkontribusi dalam mengembangkan teori-teori kognisi manusia (Sears, Huddy, & Jervis, 2003). Poin penting dari asumsi tersebut adalah keterbatasan kognisi manusia dalam memproses kondisi dunianya. Sehingga berkembang berbagai asumsi mengenai cara kerja mental dalam memproses informasi, seperti dalam teori cognitive economy, mengenai kecenderungan untuk membuat penyederhanaan karena kemampuan memproses yang terbatas. Lalu dikembangkan lagi menjadi cognitive consistency dan cognitive shortcuts. Melalui teori cognitive consistency, kita belajar bahwa manusia memerlukan kebutuhan akan konsistensi, yang kalau tidak dipenuhi maka menimbulkan ketidaknyamanan. Sedangkan, cognitive shortcuts memberi penjelasan mengenai penilaian yang menyederhanakan permasalahan dalam proses pengambilan keputusan.

Penjelasan mengenai proses kognitif di atas masih terlalu kognitifistik bila hendak dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan yang terkadang rumit karena adanya berbagai motivasi dan perasaan, juga situasi di mana keputusan itu dibuat. Peran emosi dan kognitif dalam pengambilan keputusan dapat dijelaskan melalui ‘hot cognition’. Studi mengenai hot cognition menemukan bahwa terdapat keterkaitan antara rasa suka dan tidak suka, motivasi pada tujuan tertentu, dan situasi yang dialaminya (Simon, Stenstrom, & Read, 2015). Secara singkat, proses terjadinya hot cognition berlangsung ketika informasi yang diterima dihubungkan dengan perasaan batin dan menjadi referensi untuk informasi selanjutnya (Redlawsk, 2002).

Di samping teori mengenai proses kognisi di tingkat individual, adapun teori sosial balance yang disertakan untuk menjelaskan bagaimana kondisi di tingkat mikro dan makro saling terkait.

Dalam interaksi sosial, tak jarang ditemui adanya dua orang memiliki yang memiliki pandangan berbeda. Perbedaan pandangan tersebut salah satunya karena sentimen, antara suka dan tidak suka. Perbedaan pandangan ini juga menunjukan kondisi tak seimbang (imbalance) menurut psikolog sosial Fritz Heider. Untuk dikatakan seimbang (balance), maka perlu adanya kesamaan sentimen baik sama-sama suka, atau tidak suka (Khanafiah & Situngkir, 2004). Berdasarkan sentimen individu tersebut, ilmu kompleksitas menjelaskan bagaimana hubungan antara tingkat makro dengan tingkat mikro.

Teori social balance Heider berdasar pada asumsi 'psikologi naif' mengenai kemampuan seseorang untuk menerjemahkan stimulus, bertindak, dan memprediksi perilaku orang lain (Khanafiah & Situngkir, 2004). Dalam proses mental tersebut, niat individu berperan penting karena menunjukan bagaimana seseorang mengarahkan perilakunya ataupun bagaimana situasi, orang lain dan hubungan dipahami.

Secara mendasar individu mengekspektasikan kondisi seimbang dalam relasi sosialnya (Khanafiah & Situngkir, 2004), hal tersebut sejalan dengan asumsi teori konsistensi kognitif, di mana kondisi kognisi yang berkonsonan satu sama lainnya tidak menimbulkan tekanan. Oleh karena itu, upaya individu untuk mencapai kondisi seimbang dilakukan sebagai cara untuk mengurangi ketaknyamanan. Dari titik ini, dapat dilihat bagaimana sentimen mengubah perilaku. Proses ini bergulir tidak hanya di antara individu dengan individu lain, tetapi juga pada tingkat antarkelompok sehingga membentuk kondisi di tingkat makro.

Peninjauan Kembali Partai Post-Democracy

Sekarang, mari kita tempatkan fenomena partai post-democracy di bawah mikroskop dan melihat bagaimana keadaannya dari lensa ilmu kompleksitas, lalu di-zoom-in melalui lensa psikologi politik. Pertanyaan “apa yang membuat partai post-democracy tetap dapat memiliki dukungan masyarakat?” akan dijawab melalui perspektif ilmu kompleksitas – sebagai kondisi di tingkat makro. Sedangkan pertanyaan “dengan cara apa dukungan tersebut dapat terealisasikan?” Pertama-tama dijelaskan melalui psikologi politik (terutama bila berkaitan dengan individu dan persepsinya) dan kembali pada ilmu kompleksitas.

Kondisi di Tingkat Makro

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, menurut ilmu kompleksitas, kondisi di tingkat makro bermula dari interaksi antarindividu dalam kelompok, kemudian antara kelompok dan kelompok lain. Bila suatu kelompok tidak berinteraksi dengan kelompok lain, bisa dipastikan kelompok itu tidak terpengaruh untuk memberi dukungan suara misalnya, dan mengembangkan pola masyarakat yang berbeda. Seperti yang dilansir dalam BFI News tentang penyebaran dukungan pada pilkada DKI Jakarta 2016 lalu, memadamkan dukungan tidak mesti dengan menyiramkan ‘counter argument’, tetapi dengan mengisolasi satu wilayah dari pengaruh luar. Sekarang, mari kita lihat lebih jauh seperti apa interasi antarkelompok dalam masyarakat membentuk sistem sosial dan kondisi di tingkat makro.

Sistem perpolitikan mengandung ketidakpastian, meskipun pemerintahan bediri di pusat kehidupan masyarakat, proses dalam sistem tersebut seringkali luput dari perhatian. Terdapat dua penjelasan untuk itu, pertama sistem politik bergantung pada abstraksi kognitif yang seringkali berubah, dan kedua kemunculannya sendiri yang didasari pada pola kognitif (Khanafiah, Sartika, & Situngkir, 2004). Singkatnya, bergantung pada apa yang dipikirkan oleh individu, lalu disebarkan dan terbentuk secara kolektif. Perbedaan di tingkat individual yang kemudian berelasi secara nonlinear itulah yang menimbulkan ketidakpastian.

Lantas bagaimana sistem dengan ketakpastian yang berkontingensi pada kognisi tiap individu memperoleh kondisi yang setimbang secara berangsur-angsur? Pada 1976 dan 1982, Richard Dawkins mengusulkan konsep 'memetics' yang menunjukan evolusi kultural sebagaimana evolusi genetik Darwin. Sebagai unit terkecil dalam kultur, meme membentuk semacam jaringan yang dijembatani oleh allomeme memuat opsi 'ya' atau 'tidak' pada tiap pernyataan 'jika, maka' yang benada politis (Khanafiah dkk, 2004). Misalnya, 'jika harus memilih dalam pilpres, maka saya memilih A'. Sekumpulan meme yang membentuk kelompok di sebut 'memeplex'. Selain itu, meme mengalami replikasi di tiap interaksi dan tindakan yang dilakukan aktornya. Sayangnya, ketika data memetics ini disimulasikan secara komputasional tidak ditemukan kemungkinan untuk stabil (Situngkir, 2004), tampaknya ketakpastian yang kompleksitas memang kondisi inheren dalam sistems politik.

Berdasarkan penelitian Khanafiah, dkk, (2004), diketahui bagaimana kondisi makro dapat terbentuk melalui memeplex berdasarkan data pemilihan umum tahun 2004. Diketahui pula bahwa setiap meme memiliki fitness value (dengan rentang 0-1) yang dapat memprediksi pemenang dalam pemilihan. Sekali lagi, terdapat kompleksitas karena tiap meme tidak berhenti pada kelompok sejenisnya, tetapi berinteraksi dengan jenis meme lain. Membentuk semacam koalisi, sebagaimana partai yang berhaluan agamis dan nasionalis berkoalisi. Dalam penelitian tersebut, terdapat kategorisasi latar belakang partai yang terdiri atas 'Democratic', 'Religious', 'Secular', dan 'Other'. Memeplex yang dominan menunjukan bahwa latar belakang ideologis tersebut menjadi preferensi publik, yang ditunjukan oleh temuan penelitian sebagai kategori Religious-Other. Terdapat alasan mengapa kategori tersebut dominan, pertama, dengan mengusung religiusitas masyarakat mengharapkan adanya stabilitas sosial; kedua, other merupakan 'titik konvergensi' dari gabungan partai berhaluan 'religious-democratic-other' dengan 'secular-religious-other'.

Kondisi di Tingkat Mikro

Partai-partai post-democracy yang disebutkan dalam pendahuluan mulai menunjukan perkembangan menjadi seperti partai konvensional. Misalnya dalam situs partai gerindra dan perindo dapat ditemukan berita mengenai kegiatan partai yang melibatkan komunitas. Di media sosial, facebook contohnya, terdapat bukti yang menunjukan bahwa partai post-democracy mendekatkan diri pada masyarakat umum yang dapat dilihat melalui jumlah banyaknya jumlah pengikut, Gerindra + 3,6 juta, perindo 125 ribu, dan terdapat banyak halaman partai Nasdem dengan jumlah pengikut rata-rata di atas ratusan. Namun, karakteristiknya seperti self-sufficient, formal shell, pragmatis personal, dan agenda yang bersifat top-down, masih tidak dapat diketahui secara bagaimana perkembangannya sekarang ini. Sehingga kita tidak dapat mengetahui apa yang menjadi alasan bagi individu yang menyadari karakteristik tersebut. Kita harus kembali pada apa yang dikabarkan media bila ingin tahu mengapa seseorang memberikan dukungan pada partai post-democracy, tepatnya melalui informasi tentang kebijakan atau ungkapan bernada populis yang pernah tersiar.

Misalnya pada wacana mengenai ‘jargas’ (jaringan gas) pada tahun ini, kebijakan ini menuai kritik karena masih dipertanyakan efesiensi anggaran dan produksi tabung gas. Apa yang didapat dari informasi ini adalah bagaimana seseorang memprosesnya sehingga mempunyai keyakinan, menggantinya, ataupun mengintegrasikan keyakinan dengan informasi tersebut, untuk kemudian diaktualisasikan dalam tindakan politis (Sears dkk, 2003), misalnya dengan memilih atau mendiskusikannya. Andaikan wacana tersebut dikeluarkan oleh Gerindra, Nasdem, atau Perindo misalnya, pada saat yang sama terdapat kelangkaan gas, maka akan masuk akal bila seseorang tertarik untuk mendukung partai dan wacana kebijakan yang akan dikeluarkannya. Selanjutnya, orang-orang mulai ikut beropini sebagai bentuk tanggapan positif pemberitaan tersebut.

Secara terperinci, pembentukan opini dapat dijelaskan secara proses kognitif yang mekanistik dan heuristik (jalan pintas mental). Alasannya adalah karena ada peran afeksi yang diikursertakan dalam pemprosesan informasi sebagai hot cognition. Di samping afeksi yang menentukan suka atau tidak suka, hot cognition tak dapat dilepaskan dari struktur ingatan jangka panjang (Sears et al., 2003). Secara garis besar, afeksi membuat perasaan menjadi informasi, memprosesnya sampai selesai, dan apakah hasilnya menjadi pilihan atau sekedar preferensi (Lodge & Taber, 2016).

Proses yang serupa dapat terjadi pada orang-orang yang memberi dukungan untuk partai post democracy. Berita tentang partai akan memenuhi kebutuhan populis seperti pada paragraf sebelumnya, cenderung disukai publik sehingga orang mempertimbangkan apakah dirinya perlu memberi dukungan. Hebatnya, informasi semacam itu memengaruhi perasaan dengan cepat, terjadi priming dalam hitungan milidetik sebelum diproses secara sadar dalam working memori (Lodge & Taber, 2016). Sederhananya dapat diilustrasikan sebagai berikut, Partai A dikabarkan membuat kebijakan jargas yang menurunkan harga gas, pendengar berita kemudian menyukai informasi tersebut, kemudian perasaan sukanya dan informasi tersebut menjadi tak terbedakan dan diproses. Bila dianalogikan secara silogisme, terdapat premis “saya menyukai kebijakan penurunan harga gas”, lalu “Partai A akan menurunkan harga gas”, hasilnya “saya (akan) menyukai partai A”, pada titik ini informasi dapat integrasikan dengan keyakinan sebelumnya untuk kemudian dijadikan referensi dalam pembuatan opini, atau sekedar menjadi preferensi sebelum masa pemilihan.

Interaksi dari Mikro ke Makro

Kondisi di tingkat mikro yang melibatkan pemprosesan informasi politik menunjukan bahwa status parpol sebagai partai post-democracy yang dikatakan berkecenderungan oligarki, self-sufficient, dan memiliki loyalitas superfisial di dalam keanggotaannya, tampaknya tidak relevan bagi publik. Di sini baik partai konvensional ataupun post-democracy, seakan-akan berada dalam ‘kotak hitam’. Publik hanya tahu dan terlibat dalam memasukan ‘input’, dan melihat seperti apa ‘output’-nya, tapi mekanisme dan sistem yang dijalankan oleh partai sama sekali tidak diketahui. Sehingga tak jadi soal apakah partai berstatus post-democracy atau tidak.

Namun, bagaimana dengan keberjarakan antara partai post-democracy dengan komunitas dalam masyarakat? Bukankah melalui poin ini kita dapat mengerti karakteristik partai post-democracy yang self-sufficient dan memiliki loyalitas superfisial (formal shell), yang dengan kata lain untuk memberikan dukungan pada partai post-democracy adalah sesuatu yang mesti dipikirkan secara matang, apalagi masyarakat itu sendiri merasa bahwa partai telah mengecewakan dan tidak memberikan manfaat pada kehidupan mereka. Dari sini, kita mulai meraba-raba bagian dalam ‘kotak hitam’ melalui pintu masuk berupa pembuatan opini oleh individu yang bermula dari pencarian informasi politik.

Sebagai opini hasil pemprosesan sebelumnya, bila individu menggunakan opini tersebut untuk meyakinkan dirinya, maka opini tersebut hanya miliknya seorang. Namun, manakala disebarkan lewat media (dalam forum facebook misalnya) atau pada orang sekitarnya, opini tersebut menjadi opini publik. Meskipun opini tersebut tidak bersifat absolut dan individu akan memprosesnya dengan kapasitas kognitif masing-masing, terdapat kemungkinan bahwa melalui pertukaran opini terbentuk jaringan yang mengelompokan individu berdasarkan penilaian dan sentimen terhadap berbagai opini tersebut.

Lebih lanjut lagi, pembentukan kelompok dan subkelompok berbasis sentimen tersebut pada dasarnya merupakan relasi triadik ‘pox’ antara individu (dua orang aktor: ‘p’ dan ‘x’) dan informasi politik (o) sebagai objeknya (Khanafiah & Situngkir, 2004). Di dalam relasi ini, individu hendak mencapai kondisi balance daripada imbalance, dengan kata lain memiliki penilaian yang sama atas informasi politik tersebut, baik itu sama-sama suka atau tidak suka. Relasi triadik ini merupakan subkelompok, dan dalam interaksi sesungguhnya terdapat kompleksitas di mana pertukaran terjadi di antara sekelompok orang dalam tempat dan situasi yang sama. Dalam keadaan tersebut, relasi diadik dibangun dapat dibayangkan seakan aktor A pada B, atau juga C, dan D dalam satu waktu; B pada D dan E; dan, C pada D dan E. Seandainya terjadi imbalance pada subkelompok A: ” A = +”, namun “B = -“; maka A mencari relasi yang sepemahaman agar terjadi balance, misal bersama C yang juga positif. Begitu pula yang terjadi pada B, sehingga membentuk sebuah kelompok dengan subkelompok balance semua positif dan balance semua negatif.

Kurang lebih begitulah gambaran secara teoritis bagaimana oper-mengoper opini dapat membentuk kelompok berdasarkan sentimen masing-masing. Namun, penulis tak bisa mengatakan apakah jarak antara partai post-democracy dengan masyarakat atau komunitas menjadi berkurang atau tetap jauh. Akan lebih tepat kalau dikatakan bahwa jurang pemisah antara partai post-democracy dan masyarakat masih dapat terjembatani, hanya saja tidak melalui jembatan yang linear, namun dijembatani berbagai kelompok sebagai elemen dalam masyarakat, yang bisa jadi perlu dihubungkan terlebih dahulu melalui anak tangga dan lewat perantara kelompok lain. Sungguh permasalahan yang komplek.

Kesimpulan

Partai politik yang berstatus sebagai post-democracy memiliki tantangan di mana mereka perlu bekerja ekstra untuk mendapat dukungan dari masyarakat walau mapan secara finansial. Kemapanan disokong oleh jaringan korporat dalam internal partai, yang dibayar dengan keberjarakan partai pada masyarakat karena dapat mendanai dirinya sendiri. Di saat yang sama, partai juga perlu memperoleh kepercayaan masyarakat yang merasa kecewa pada kurangnya kontribusi partai politik terhadap kesejahteraan bersama. Lain dengan partai konvensional yang tumbuh bersama dukungan masyarakat dan komunitasnya. Namun bukan berarti akan hampir mustahil bagi partai post-democracy untuk memperoleh dukungan suara yang menyaingi partai konvensional. Bila melihat kembali pada kondisi di masyarakat, dukungan tersebut ditumbuhkan lewat informasi yang disiarkan oleh media dan pertukaran opini di antara individu dalam masyarakat. Di tingkat makro terlihat bahwa masyarakat terbagi atas beberapa kluster yang memiliki preferensi haluan politik yang didukungnya, yang tidak stabil dan terus mengalami perkembangan dan perubahan. Kondisi di tingkat makro pada saat yang sama dipengaruhi kondisi di tingkat mikro: proses kognitif individu dan relasinya dengan kelompok. Ketika menerima informasi politik, individu cenderung menginternalisasikannya dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya, dan sentimen. Karena di dorong oleh sentimen tersebut, maka individu mencari orang lain yang memiliki sentimen serupa, hingga terbentuk jaringan dan kelompok sosial.  Dengan demikian, melalui berbagai opini dan sentimen yang mengarahkan individu untuk berkelompok dan sampai membentuk preferensi kolektif, partai post-democracy berpeluang mendapat tempat dan dukungan masyarakat.

Daftar Pustaka

Khanafiah, D., Sartika, T. D., & Situngkir, H. (2004). EVOLUTIONARY STABLE PROPERTIES OF POLITICAL PARTIES IN INDONESIA Towards General Election ( PEMILU ) 2004 : A Case Study, 1–22.

Khanafiah, D., & Situngkir, H. (2004). Social balance theory: Revisiting heider’s balance theory for many agents, 12. Retrieved from http://arxiv.org/abs/nlin/0405041

Lodge, M., & Taber, C. S. (2016). The Automaticity of Affect for Political Leaders , Groups , and Issues : An Experimental Test of the Hot Cognition Hypothesis. Political Psychology, 26(3), 455–482.

Noor, F. (2017). Fenomena Post Democracy Party Di Indonesia : Kajian Atas Latar Belakang, Karakteristik dan Dampaknya. Jurnal Penelitian Politik, 14(2), 109–126.

Redlawsk, D. P. (2002). Hot cognition or cool consideration? Testing the effects of motivated reasoning on political decision making. Journal of Politics, 64(4), 1021–1044. https://doi.org/10.1111/1468-2508.00161

Saroh, N. I. (2018, February 14). Wacana Jargas Satu Harga Disebut Kebijakan Populis di Tahun Politik. Rilis.Id [Jakarta]. Retrieved from http://rilis.id/Wacana-Jargas-Satu-Harga-Disebut-Kebijakan-Populis-di-Tahun-Politik

Sears, D. O., Huddy, L., & Jervis, R. (Eds.). (2003). Oxford Handbook of Political Psychology. New York: Oxford University Press.

Simon, D., Stenstrom, D. M., & Read, S. J. (2015). The Coherence Effect : Blending Cold and Hot Cognitions. Journal of Personality and Social Psychology, 109(3), 369.

Situngkir, H. (2004). On Selfish Memes: Culture as complex adaptive system. Journal of Social Complexity, 2(1), 20–32.

Situngkir, H. (2006). What can we do with the Research Institute for Social Complexity Sciences in Indonesia?

Situngkir, H. (2015). Indonesia Embraces the Data Science. SSRN Electronic Journal, 1–10. https://doi.org/10.2139/ssrn.2641757

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun