Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Politik

Parpol Post-Democracy dalam Perspektif

31 Maret 2018   11:53 Diperbarui: 3 April 2018   14:53 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilmu kompleksitas menjelaskan bahwa hubungan sebab akibat dalam proses tersebut terjadi secara nonlinear (Situngkir, 2006). Lebih jelasnya, bayangkan tren berpakaian remaja kekinian misalnya, bila mengikuti cara berpikir ilmiah konvensional kita akan mendefinisikan siapa itu remaja, apa saja yang terjadi di tahap perkembangannya, variabel apa yang relevan antara teori remaja dengan fenomena tersebut -- konformitas dan konsep diri misalnya -- maka dari itu kita akan mencari tahu apakah asumsi tersebut menunjukan adanya korelasi ataupun kecederungan tertentu. Singkatnya, di sini kita menjelaskan fenomena tren sebagai konstruk tentang remaja dan berbagai variabel yang terkait. 

Lain halnya dengan jawaban ilmu kompleksitas, kita mesti kembali pada seperti apa remaja kekinian itu mengekspresikan tren tersebut, di mana lingkungan tempat tinggalnya, menyelidiki setiap media dan informasi yang diakses, dan melihat bagaimana pola dalam kumpulan data membentuk kluster di tingkat makro dan apa kekhasannya. Apa yang diperoleh dari hal itu? Bagaimana data menunjukan bahwa tren berpakaian remaja kekinian dapat terkait dengan gaya hidup di belahan bumi lain, tren dalam industri tertentu, budaya populer, strategi marketing, dan lain-lain.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, tepatnya bagaimana data dan informasi yang menjadi titik tolak penelitian, ilmu kompleksitas perlu didukung dengan pemahaman tentang ilmu data. Kalau dalam penelitian konvensional data dikumpulkan dengan mengikuti kaidah tertentu dan bergantung pada populasi serta teknik sampling, lain halnya dengan data dalam pemahaman ilmu data. Dalam ilmu data, data itu sendiri beranjak dari gabungan antara komputasi, pengetahuan terapan dan kemampuan substantif (Situngkir, 2015). 

Data yang dimaksud adalah berbagai bentuk informasi (teks, suara, gambar) yang didapat dari kemajuan teknologi informatika dewasa ini. Kemudian di analisis dengan metode statistik nonlinear dan diviluasisasikan dalam bentuk pemetaan ataupun dengan matriks yang menunjukan bagaimana keterkaitan antara satu data dengan data lainnya sehingga terlihat seperti apa cara kerja sistem sosial yang berlangsung.

Psikologi Politik

Psikologi politik merupakan penerapan hasil penelitian dan teori psikologi pada ranah politik. Bagaimana kepribadian, perkembangan manusia, kognisi, dan hubungan antarkelompok dapat menjelaskan fenomena dunia politik seperti mobilisasi, kemunculan gerakan politik, konflik antarkelompok massa pendukung pemerintahan dan oposisinya, ataupun proses pengambilan keputusan dalam membuat kebijakan. Dalam essai ini, teori yang menjadi fokus untuk menjelaskan fenomena partai post-democracy adalah bagaimana proses kognisi individu dalam mengolah informasi.

Asumsi aliran gestalt mengenai kebutuhan individu untuk memahami sesuatu secara teratur dari observasi mengenai ketakteraturan objek yang secara spontan menghasilkan kognisi dan persepsi, berkontribusi dalam mengembangkan teori-teori kognisi manusia (Sears, Huddy, & Jervis, 2003). Poin penting dari asumsi tersebut adalah keterbatasan kognisi manusia dalam memproses kondisi dunianya. Sehingga berkembang berbagai asumsi mengenai cara kerja mental dalam memproses informasi, seperti dalam teori cognitive economy, mengenai kecenderungan untuk membuat penyederhanaan karena kemampuan memproses yang terbatas. Lalu dikembangkan lagi menjadi cognitive consistency dan cognitive shortcuts. Melalui teori cognitive consistency, kita belajar bahwa manusia memerlukan kebutuhan akan konsistensi, yang kalau tidak dipenuhi maka menimbulkan ketidaknyamanan. Sedangkan, cognitive shortcuts memberi penjelasan mengenai penilaian yang menyederhanakan permasalahan dalam proses pengambilan keputusan.

Penjelasan mengenai proses kognitif di atas masih terlalu kognitifistik bila hendak dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan yang terkadang rumit karena adanya berbagai motivasi dan perasaan, juga situasi di mana keputusan itu dibuat. Peran emosi dan kognitif dalam pengambilan keputusan dapat dijelaskan melalui ‘hot cognition’. Studi mengenai hot cognition menemukan bahwa terdapat keterkaitan antara rasa suka dan tidak suka, motivasi pada tujuan tertentu, dan situasi yang dialaminya (Simon, Stenstrom, & Read, 2015). Secara singkat, proses terjadinya hot cognition berlangsung ketika informasi yang diterima dihubungkan dengan perasaan batin dan menjadi referensi untuk informasi selanjutnya (Redlawsk, 2002).

Di samping teori mengenai proses kognisi di tingkat individual, adapun teori sosial balance yang disertakan untuk menjelaskan bagaimana kondisi di tingkat mikro dan makro saling terkait.

Dalam interaksi sosial, tak jarang ditemui adanya dua orang memiliki yang memiliki pandangan berbeda. Perbedaan pandangan tersebut salah satunya karena sentimen, antara suka dan tidak suka. Perbedaan pandangan ini juga menunjukan kondisi tak seimbang (imbalance) menurut psikolog sosial Fritz Heider. Untuk dikatakan seimbang (balance), maka perlu adanya kesamaan sentimen baik sama-sama suka, atau tidak suka (Khanafiah & Situngkir, 2004). Berdasarkan sentimen individu tersebut, ilmu kompleksitas menjelaskan bagaimana hubungan antara tingkat makro dengan tingkat mikro.

Teori social balance Heider berdasar pada asumsi 'psikologi naif' mengenai kemampuan seseorang untuk menerjemahkan stimulus, bertindak, dan memprediksi perilaku orang lain (Khanafiah & Situngkir, 2004). Dalam proses mental tersebut, niat individu berperan penting karena menunjukan bagaimana seseorang mengarahkan perilakunya ataupun bagaimana situasi, orang lain dan hubungan dipahami.

Secara mendasar individu mengekspektasikan kondisi seimbang dalam relasi sosialnya (Khanafiah & Situngkir, 2004), hal tersebut sejalan dengan asumsi teori konsistensi kognitif, di mana kondisi kognisi yang berkonsonan satu sama lainnya tidak menimbulkan tekanan. Oleh karena itu, upaya individu untuk mencapai kondisi seimbang dilakukan sebagai cara untuk mengurangi ketaknyamanan. Dari titik ini, dapat dilihat bagaimana sentimen mengubah perilaku. Proses ini bergulir tidak hanya di antara individu dengan individu lain, tetapi juga pada tingkat antarkelompok sehingga membentuk kondisi di tingkat makro.

Peninjauan Kembali Partai Post-Democracy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun