Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Beyond Sexism" (Sebuah Orasi)

28 Maret 2018   10:47 Diperbarui: 28 Maret 2018   10:59 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bila kita perhatikan, seksisme tampil mengenakan dua macam topeng: hostile sexismdan benevolent sexism. Hostile sexismcenderung langsung dan vulgar. Dengan satu visi-misi, untuk mendiskreditkan gender yang berlawanan dari dirinya. Lebih jelasnya, seperti yang dikatakan Allport "antipati berdasarkan kesalahan dan generalisasi yang tidak fleksibel"[5].

Lain halnya dengan benevolent sexism, ada kesan baik yang tersurat tapi merendahkan secara tersirat. Dari kacamata laki-laki, seksisme ini mengerucutkan perempuan pada stereotipe bernada positif diikuti peran tertentu yang menjadi keharusan. Lebih jauh lagi, menjelma sebagai sistem justifikasi yang didasari gambaran kelemah-lembutan perempuan[6].

Dan tampaknya harus diakui bahwa kedua jenis seksisme tersebut telah mengalir dalam denyut nadi peradaban sampai hari ini. Di mana terdapat pola yang membagi kompetensi: laki-laki dalam sektor publik, dan perempuan menangani sektor domestik. Apabila dilihat lebih jauh lagi, tepatnya secara kolektif, terdapat pembagian budaya menjadi patriaki dan matriarki. Masing-masing menonjolkan karakter jenis kelamin tertentu, patriarki mengunggulkan maskulinitas, sedang femininitas diutamakan oleh budaya matriarki.

Sebagai suatu budaya, keduanya menyediakan perspektif terhadap suatu hal secara khas. Di mana interpretasi kita terhadap sesuatu, penilaian dan etika, berada dalam kerangka berpikir menurut budaya. Secara langsung dan tak langsung, dalam budaya segala sesuatu menjadi objeknya. Kegiatan pengobjekan ini menjadi titik tolak untuk mengungkapkan gagasan, dengan cara merujuk bagian dari suatu hal ke bagian lainnya.

Dalam tindak pengobjekan, ada dikotonomi subjek-objek. Baik pria atau wanita pada diri masing-masing merupakan subjek, barulah salah satunya menjadi objek bagi yang lain ketika saling berhadapan. Secara fenomenologis, Karl Jasper menerangkan bahwa untuk mengetahui diri, sebagian diri itu harus menjadi objek, yang kemudian merunut ke objek lainnya[7].

Berdasarkan keterangan tersebut, cara individu saling mengenal satu sama lain diniscayakan dalam tindak pengobjekan. Tepatnya di dalam keterkaitan antarobjek yang abstrak, yang belum tentu menyingkap individualitas dari seorang laki-laki ataupun perempuan. Das Umgreifende[8], demikian diistilahkan oleh Jasper, yang merujuk pada pencerapan menyeluruh bila ingin memahami esensi dari sesuatu[9].

Jangan-jangan, selama ini kehidupan tak lebih daripada drama pengobjekan?

Bicara soal drama, tentu pertunjukan tersebut menarik manakala menghadirkan konflik antara protagonis dan antagonis. Di mana dalam konflik kekuasaan antartokoh dipertanyakan. Seiring berlalunya cerita, tersingkaplah mana tokoh yang superior dan inferior. Secara tersirat, narasi kemudian bercerita tentang golongan inferior yang menjadi objek bagi golongan superior.

Sampai hari ini, laki-laki masih dibilang superior daripada perempuan. Dunia masih menunggu kapan perempuan muncul ke panggung utama, menunaikan misi kesetaraan, atau malah menjadi dominan. Tapi, apa yang membuat posisi perempuan secara relatif di bawah laki-laki? Mari kita lihat sisi lain dari pengobjekan, yaitu objektifikasi yang secara khusus ditujukan pada diri sendiri.

Dalam kasus ini menurut Fredrickson & Robert, perempuan memperlakukan tubuh sendiri sebagai objek untuk dilihat dan dievaluasi[10]. Konsekuensinya, nilai dari cara melihat dan evaluasi tersebut diinternalisasikan sehingga menjadi keyakinan mengenai diri sendiri. Inilah yang memperpanjang kondisi ketaksetaraan perempuan atas laki-laki.

Di samping itu, status istimewa pada pria menjadi andil dalam mempertahankan ketakadilan gender[11]. Posisi pria dalam kontribusi kesetaraan gender menjadi penting bila mempertimbangkan persepsi mereka terhadap benevolent sexism. Di mana pria cenderung tidak peka terhadap konsekuensinya, dan berkeinginan mempertahankannya. Barangkali seperti yang diilustrasikan oleh Glick, "wanita adalah mahkluk luarbiasa tetapi juga rentan sehingga harus dilindungi dan dipenuhi oleh laki-laki"[12], telah menjadi semacam manifesto bagi laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun