Mohon tunggu...
Adesandi Detaq
Adesandi Detaq Mohon Tunggu... Freelancer - laki-laki

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Spiral of Silence" dalam Kasus Intoleransi di Indonesia

7 Januari 2019   18:00 Diperbarui: 6 Juli 2021   10:32 10821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 28E ayat 2 tentang hak asasi manusia berbunyi "setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya**". ini artinya kebebasan untuk memeluk agama atau kepercayaan tertentu seharusnya dilindungi oleh negara karena merupakan hak mendasar dari setiap orang. 

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2015, Indonesia berada di urutan tiga dengan negara yang mengatakan agama atau kepercayaan menjadi sangat penting dalam kehidupan mereka. 

Sebesar 95% orang-orang di Indonesia menyatakan agama sangat penting dalam hidup mereka. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita boleh berbangga mengatakan bahwa kita merupakan salah satu negara paling religious didunia.

Baca juga : Kejengkelan Gibran, Pendidikan, dan Intoleransi

Namun, hal ini berbanding terbalik dengan tingkat toleransi antar umat beragama. The 2015 legatum Institute's Prosperity Index, Dalam hal toleransi, Indonesia berada pada peringkat 123. 

Banyaknya kejadian kasus intoleran di Indonesia mungkin merupakan salah satu faktor mengapa peringkat intoleransi di Indonesia berbanding terbalik dengan hasil penelitian Pew Research Center. Beberapa kasus besar yang mengatasnamakan kepentingan agama atau aliran tertentu merupakan masalah serius yang harus diselesaikan. 

Menurut Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang dilansir oleh kompas.com, terdapat dua penyebab utama kasus intoleransi di Indonesia yaitu penafsiran mengenai kepercayaan atau agama tertentu yang disalahartikan, dan penolakan pendirian tempat ibadah di suatu wilayah tertentu. Misalnya pada suatu daerah dengan penduduk mayoritas beragama atau mempunyai kepercayaan tertentu, maka terjadinya kasus intoleransi akan menjadi semakin besar kemungkinannya.

Indonesia akan menyambut tahun pemilihan presiden dan legislatif di tahun 2019. Isu mengenai intoleransi antar umat beragama akan semakin sering diangkat menjadi isu nasional. 

Baca juga : Mari Berpuasa dari Kebencian, Provokasi dan Intoleransi

Hal ini akan menjadi semakin penting mengingat isu intoleransi sering menjadi bahan kampanye oknum-oknum tertentu demi kepentingan pribadinya. Mendulang suara yang sebesar-besarnya menjadi fokus utama setiap calon dengan menggunakan segala cara agar mendapatkan dukungan sebanyak mungkin. 

Politisasi agama dinilai akan sangat mudah berhasil melihat Indonesia merupakan salah satu dari negara yang paling religius didunia. Setiap hal yang berkaitan dengan kepentingan agama atau kepercayaan tertentu akan menjadi isu yang sering dibuat. Kampanye ide maupun gagasan tidak lagi dilihat sebagai suatu hal yang penting melainkan masalah apakah mempunyai kesamaan kepercayaan atau tidak.

Yang menjadi berbahaya iyalah isu mengenai agama atau kepercayaan tertentu sering digaungkan di daerah dengan mayoritas salah satu agama tertentu. Berkaca pada kasus pilkada DKI Jakarta dimana isu agama menjadi lebih substantif daripada ide atau gagasan mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang paling religius didunia. 

Akan menjadi keuntungan bagi kelompok mayoritas dan kerugian bagi kelompok minoritas. Selain itu banyak kasus mengenai intoleransi antar umat beragama seringkali berakhir dengan hilang begitu saja karena keengganan dari kelompok minoritas untuk melanjutkan masalah tersebut. 

Baca juga : Teroris, Intoleransi dan Ketidakbermaknaan Hidup

Kelompok minoritas lebih cenderung menghindari terjadinya konflik yang akan dihadapi karena ketakutan akan hal-hal yang akan terjadi dimasa depan. Padahal seperti yang telah dipaparkan pada bagian awal tulisan ini bahwa dalam undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 pasal 28E ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang berhak dan bebas untuk menyatakan sikap mengenai pendapat sesuai dengan hati nuraninya.

Spiral of Silence Theory atau Teori Spiral Keheningan berkaitan dengan rasa takut untuk mengurarakan pendapat, Apakah Teori Spiral keheningan juga berlaku di media sosial?

Dalam teori komunikasi, teori spiral keheningan atau Spiral of Silence Theory merupakan bagian dari kajian ilmu komunikasi yang berkaitan dengan politik. Teori Spiral Keheningan dikemukakan oleh Elisabeth Noelle Neuman. Beliau merupakan peneliti politik di jerman dan juga merupakan wartawan pada zaman Nazi. Teori spiral keheningan menganalisis dengan mendemonstrasikan bagaimana komunikasi interpersonal dan media bersama mengembangkan opini publik. 

Dalam teori spiral keheningan, terdapat asumsi bahwa spiral keheningan dapat terjadi ketika ada ketimpangan dominasi antara opini mayoritas dan minoritas. Sehingga banyak opini yang kemudian berkembang menjadi opini publik, dan disisi lain banyak individu yang memilih untuk tidak menyuarakan opininya. Hal ini yang disebut sebagai spiral keheningan. 

Teori ini mendasarkan asumsi pada peryataan bahwa pendapat pribadi bergantung pada apa yang dipikirkan dan apa yang diharapkan orang lain, atau apa yang orang rasakan atau anggap sebagai pendapat dari orang lain. Pada umumnya orang berusaha untuk menghindari isolasi, atau pengucilan atau keteransingan dalam komunitasnnya dalam kaitannya dengan mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu.

konsep utama dari teori spiral keheningan ini adalah bahwa opini publik yang erat kaitannya dengan teori komunikasi politik. Opini publik adalah pendapat kelompok masyarakat atau pihak yang memiliki kepentingan tertentu. dalam teori spiral keheningan, terdiri dari dua premis yaitu yang pertama, orang tahu akan opini yang lazim atau umum, dan dapat diterima. 

Setiap orang memiliki indera keenam atau "Quazi-statistical sense" (indera semi statistik) yang digunakan untuk menentukan opini mana yang dapat disetujui dan mana yang tidak dapat disetujui. 

Dan premis yang kedua adalah orang akan menyesuaikan pernyataan opini mereka berdasarkan sebuah persepsi atau tafsiran. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengekspresikan opini kita dengan berbagai cara, tak selalu harus membicarakannya, kita mengenakan pin atau bros, atau menempelkan stiker dibelakang mobil kita. Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa orang lain pun dapat menerima pendapat kita.

Teori spiral keheningan menggambarkan fenomena yang melibatkan baik saluran komunikasi antarpribadi maupun komunikasi massa. Media menyebarkan opini publik, yang kemudian diperjelas opini mana yang lebih menonjol. berikutnya, orang-orang akan memberikan pendapat mereka (atau tidak, tergantung dari sudut pandang yang lebih menonjol). 

Selanjutnya, media kemudian melibatkan diri kedalam opini yang diekspresikan tersebut, dan lingkaran itu terus berlanjut. Beberapa peristiwa, teori spiral keheningan juga dapat menjelaskan bagaimana sebuah ancaman-ancaman kritik dari orang lain merupakan suatu kekuatan yang ampuh dalam membungkam seseorang. 

Setelah diberi sedikit gambaran mengenai teori spiral keheningan, berikut ini beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan intoleransi di Indonesia dan teori spiral keheningan ini.

Kasus undang-undang poligami yang dinilai merugikan perempuan. Dalam praktiknya banyak sekali kasus kekerasan rumah tangga yang terjadi dikarenakan adanya undang-undang poligami ini. Namun karena alasan kepercayaan tertentu banyak orang cenderung untuk tidak terlalu membahas masalah ini karena takut bersinggungan dengan orang lain atau untuk menghindari konflik yang mungkin akan sampai pada kekerasan fisik yang mungkin terjadi. 

Disini media memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk opini publik. Misalnya ketika ada suatu artikel di surat kabar atau kolom berita tertentu yang menyatakan bahwa seseorang ahli A (contoh) berpendapat bahwa poligami itu dapat dilakukan karena dianjurkan dalam agama. 

Bagi seorang pembaca mungkin ada yang tidak setuju dengan peryataan tersebut namun, karena takut ataupun untuk menghindari konflik tertentu, pembaca cenderung untuk diam daripada mengutarakan pendapat yang ingin dia kemukakan.

Kasus mengenai penolakan musolah dan masjid di Jayapura Papua. Dalam kasus ini Persekutuan Gereja-gereja Kabupaten Jayapura (PGGI) menolak jika didirikan masjid ataupun musolah di kota jayapura. Hal ini dilakukan sebagai pernyataan sikap perlawanan terhadap kepercayaan lain yang dianggap memperlakukan dengan serupa gereja-gereja di luar papua. 

bahkan menurut artikel yang ditulis oleh tirto.id (20/03/18), terdapat 8 poin yang ditentukan seperti toa masjid, Menara masjid, pembatasan dakwah, pelarangan pemakaian seragam agama tertentu, musolah, dan pelarangan lainnya.

Contoh lain misalnya mengenai kasus pemotongan Nisan Salib di salah satu makam di Yogyakarta baru-baru ini. Dalam kasus ini yang menjadi menarik seperti yang dilansir dalam tirto.id (18/12/18) ialah pernyataan oleh tokoh masyarakat.

Yang menyatakan bahwa aksi mereka tersebut sudah merupakan "kesepakatan bersama" namun pada akhir artikel disebutkan bahwa "kalau umat lingkungan [GAS] enggak ada yang protes. Hanya kalau ada kejadian tertentu lapor ke gereja, nanti gereja yang menangani. 

Kami menyadari, Kami ini minoritas. Lebih baik mengalah". Kata "kami ini minoritas, lebih baik mengalah", mengindikasikan bahwa sang pemberi pernyataan terakhir lebih memlih untuk tidak memperpanjang masalah untuk menghindari konflik yang mungkin saja akan memperparah situasi yang ada. 

Hal ini sejalan dengan asumsi dari teori spiral keheningan yang menyatakan bahwa pendapat pribadi bergantung pada apa yang dipikirkan dan apa yang diharapkan orang lain, atau apa yang orang rasakan atau anggap sebagai pendapat dari orang lain.

Kedua kasus yang sudah dipaparkan didalam tulisan ini akan berbeda implementasi teori spiral keheningan ketika sudah masuk ke dalam lingkungan media sosial. 

Ketika kasus ini sudah masuk didalam media sosial, kaum minoritas yang dianggap takut untuk berbicara justru melawan dan mulai berpendapat di dalam kolom komentar media sosial mereka, ada yang berupa Caption di Instagram mereka atau komentar di Twitter mengenai pandangan mereka mengenai kasus ini. 

Hal ini tentu menjadi menarik ketika kelompok yang dianggap tidak berani bersuara justru mulai menyampaikan pendapat atau pandangan mereka kasus tersebut. Teori spiral keheningan menjadi lebih menarik ketika berada dalam lingkungan media sosial. Pembeda antara kelompok minoritas dan mayoritas semakin sulit ditemukan karena sama -- sama memiliki kesempatan yang sama untuk berkomentar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun