Mohon tunggu...
Adesandi Detaq
Adesandi Detaq Mohon Tunggu... Freelancer - laki-laki

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Spiral of Silence" dalam Kasus Intoleransi di Indonesia

7 Januari 2019   18:00 Diperbarui: 6 Juli 2021   10:32 10821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori spiral keheningan menggambarkan fenomena yang melibatkan baik saluran komunikasi antarpribadi maupun komunikasi massa. Media menyebarkan opini publik, yang kemudian diperjelas opini mana yang lebih menonjol. berikutnya, orang-orang akan memberikan pendapat mereka (atau tidak, tergantung dari sudut pandang yang lebih menonjol). 

Selanjutnya, media kemudian melibatkan diri kedalam opini yang diekspresikan tersebut, dan lingkaran itu terus berlanjut. Beberapa peristiwa, teori spiral keheningan juga dapat menjelaskan bagaimana sebuah ancaman-ancaman kritik dari orang lain merupakan suatu kekuatan yang ampuh dalam membungkam seseorang. 

Setelah diberi sedikit gambaran mengenai teori spiral keheningan, berikut ini beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan intoleransi di Indonesia dan teori spiral keheningan ini.

Kasus undang-undang poligami yang dinilai merugikan perempuan. Dalam praktiknya banyak sekali kasus kekerasan rumah tangga yang terjadi dikarenakan adanya undang-undang poligami ini. Namun karena alasan kepercayaan tertentu banyak orang cenderung untuk tidak terlalu membahas masalah ini karena takut bersinggungan dengan orang lain atau untuk menghindari konflik yang mungkin akan sampai pada kekerasan fisik yang mungkin terjadi. 

Disini media memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk opini publik. Misalnya ketika ada suatu artikel di surat kabar atau kolom berita tertentu yang menyatakan bahwa seseorang ahli A (contoh) berpendapat bahwa poligami itu dapat dilakukan karena dianjurkan dalam agama. 

Bagi seorang pembaca mungkin ada yang tidak setuju dengan peryataan tersebut namun, karena takut ataupun untuk menghindari konflik tertentu, pembaca cenderung untuk diam daripada mengutarakan pendapat yang ingin dia kemukakan.

Kasus mengenai penolakan musolah dan masjid di Jayapura Papua. Dalam kasus ini Persekutuan Gereja-gereja Kabupaten Jayapura (PGGI) menolak jika didirikan masjid ataupun musolah di kota jayapura. Hal ini dilakukan sebagai pernyataan sikap perlawanan terhadap kepercayaan lain yang dianggap memperlakukan dengan serupa gereja-gereja di luar papua. 

bahkan menurut artikel yang ditulis oleh tirto.id (20/03/18), terdapat 8 poin yang ditentukan seperti toa masjid, Menara masjid, pembatasan dakwah, pelarangan pemakaian seragam agama tertentu, musolah, dan pelarangan lainnya.

Contoh lain misalnya mengenai kasus pemotongan Nisan Salib di salah satu makam di Yogyakarta baru-baru ini. Dalam kasus ini yang menjadi menarik seperti yang dilansir dalam tirto.id (18/12/18) ialah pernyataan oleh tokoh masyarakat.

Yang menyatakan bahwa aksi mereka tersebut sudah merupakan "kesepakatan bersama" namun pada akhir artikel disebutkan bahwa "kalau umat lingkungan [GAS] enggak ada yang protes. Hanya kalau ada kejadian tertentu lapor ke gereja, nanti gereja yang menangani. 

Kami menyadari, Kami ini minoritas. Lebih baik mengalah". Kata "kami ini minoritas, lebih baik mengalah", mengindikasikan bahwa sang pemberi pernyataan terakhir lebih memlih untuk tidak memperpanjang masalah untuk menghindari konflik yang mungkin saja akan memperparah situasi yang ada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun