Fakta ini jelas berkorelasi dengan identitas Kedatuan Luwu yang identik dengan simbol 'payung'. Dalam tata pemerintahan Kedatuan Luwu, sebutan 'Pajung' adalah nomenkelatur yang mengacu pada Raja atau Datu Luwu.
Adapun mengenai kata 'bhauma' (pada kata 'sArva-bhauma'), saya melihat ini identik dengan kata 'Beuma', yaitu sebuah nama wilayah yang berada di kaki gunung Sinaji, kecamatan Basse Sang tempe, Kabupaten Luwu (Sulawesi selatan).
Wilayah ini (sekitar kaki gunung Sinaji) dalam beberapa tulisan sebelumnya telah saya identifikasi sebagai pusat kerajaan Holing (ini salah satu tulisan saya yang membahas hal tersebut: Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Ho-ling Terletak di Sulawesi).Â
Dan memang, terdapat cerita turun temurun yang berkembang di Luwu, Toraja, serta beberapa wilayah lainnya di Sulawesi bahwa, leluhur kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi, berasal dari kaki gunung Sinaji ini.
Daerah Ledan yang saya identifikasi terkait dengan nama Li-dan suami Ratu Sima, berada di wilayah Beuma ini.
Hari ini, toponim 'Beuma' tidak digunakan lagi oleh pemerintah setempat sebagai nama wilayah administrasi secara resmi (apakah itu untuk nama desa atau pun kecamatan), tetapi masyarakat lokal masih menggunakan nama 'Beuma' untuk menyebut wilayah sekitar kaki gunung Sinaji ini, meliputi beberapa desa yang ada disekitarnya.Â
Ketiga
Nubuat yang diucapkan Buddha Sakyamuni (Siddhartha Gautama), bahwa akan hadir seorang Chakravarti perempuan yang akan memerintah Jambudvipa sebagai reinkarnasi Vimalaprabha, terekam dalam Mahameghasutra (di Cina dikenal sebagai Dayun jing, dan oleh sejarawan hari ini dikenal dengan sebutan 'The Great Cloud Sutra').Â
Ucapan Buddha bahwa Chakravarti perempuan tersebut akan hadir sekitar seribu tahun setelah ia parinirvana (kematiannya), menjadi acuan bahwa masa kedatangan Chakravarti perempuan tersebut berada di sekitar abad ke 6 M, oleh karena kisaran tahun kematian Buddha menurut negara-negara Theravada adalah 544 atau 545 SM.Â
Dalam tradisi Buddhis Burma misalnya, tanggal kematian Buddha adalah 13 Mei 544 SM, sedangkan dalam tradisi Thailand adalah 11 Maret 545 SM. (Eade, JC: Â The Calendrical Systems of Mainland South-East Asia, 1995)Â
Di sekitar masa itu (abad ke 6 hingga abad ke 7), ada permaisuri Wu Zetian yang mengklaim dirinya sebagai sosok Chakravartin yang diramalkan sang Buddha. Namun, dengan mencermati rekam jejak Wu Zeitan yang dipenuhi intrik dan tindakan-tindakan keji selama hidupnya, maka saya pikir sangat tidak mungkin untuk menganggap Wu Zetian sebagai sosok Chakravarti sekaligus Bodhisattva yang dimaksudkan Buddha Sakyamuni.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!