Pekan ini, beredar isu hangat di jagad maya mengenai pernyataan kontroversi AA yang mengatakan perintah shalat 5 waktu tidak ada dalam Al Quran.
Sebelum memasuki pembahasan lebih jauh, terlebih dahulu saya ingin memperjelas etimologi kata 'shalat'. Ini penting. Karena salah satu masalah klasik kita di era ini adalah kebingungan memahami suatu hal, lalu salah kaprah, hanya karena disebabkan minimnya pengetahuan bahasa.
Kata 'shalat' dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab 'salaa' yang artinya: Berdoa. Dalam tradisi Yahudi dan Kristiani, Shalat atau salaa disebut 'pray' yang juga berarti: berdoa.
Jika 'shalat' artinya sama dengan"berdoa" lalu, mengapa ada lagi istilah 'doa' digunakan dalam tradisi Islam untuk makna yang berbeda?Â
Ini karena dalam Islam selama ini berkembang pemahaman bahwa shalat 5 waktu (shalat wajib dilaksanakan) atau pun shalat sunat (shalat yang tidak wajib dilaksanakan) adalah kegiatan ibadah menyembah kepada Allah. Sementara 'doa' yang secara harfiah berarti: seruan / permohonan, adalah hal yang sifatnya lebih spesifik.
Terkait makna doa ini, diriwayatkan oleh Sunan Tirmidzi bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda: Doa adalah inti dari ibadah (menyembah Allah). Kenyataannya, semua bacaan dalam shalat mulai dari Al Fatehah ketika berdiri, bacaan ketika ruku, sujud, dan duduk di antara dua sujud, semua bunyi bacaan tersebut adalah permohonan "doa".
Persamaan waktu ibadah dalam Islam, Kristiani dan Yahudi
Pembagian waktu menurut posisi matahari di langit sebagai petunjuk waktu ibadah yang pada masa sekarang umum terlihat pada pengikut Nabi Muhammad, pada dasarnya telah terdapat pula dalam tradisi keagamaan umat nabi-nabi terdahulu.
Telah banyak penelitian yang dilakukan para ahli untuk mengetahui pola siklus ibadah harian umat Yahudi dan Kristiani di masa-masa awal millennium pertama.
Seperti yang dilakukan oleh Paul F. Bradshaw misalnya. Ia adalah profesor Liturgi di Universitas Notre Dame di Amerika Serikat, dari tahun 1985 hingga 2013, dan telah banyak mendapatkan penghargaan. Salah satunya adalah dianugerahi berakah Award  oleh Akademi Luturgi Amerika Utara -- suatu penghargaan yang diberikan setiap tahun kepada seorang liturgis terkemuka "sebagai pengakuan atas kontribusi terhormat untuk pekerjaan liturgi profesional."
Dalam buku The Book of Acts in Its First Ceuntury Setting vol. 4, diungkap pendapat Bradshaw yang mengusulkan bahwa umat Kristiani paling awal mewarisi siklus doa harian Yahudi; pagi, siang dan malam, ditambah tengah malam, (...) Awalnya dipengaruhi oleh gerakan matahari, kemudian dihubungkan dengan pengorbanan bait suci.
Dia kemudian merevisi pandangannya atas dasar karya mahasiswa doktoralnya L.E. Phillips (1989), yang setuju bahwa pola doa harian Kristen yang paling awal adalah pagi, siang, sore dan malam.
Dalam praktik Christianity, jam kanonik (jadwal tradisional siklus monastik doa harian) terbagi dalam beberapa pembagian waktu, yaitu; Prime, Terce, Sexte, None, Vespers, and Compline.
Setiap jam ini mengacu pada ruang waktu di mana periode doa dimulai hingga ke jam di mana periode doa lainnya dimulai. Dengan demikian, "Prime" bisa berarti jam 6 pagi, atau periode dari jam 6 pagi sampai jam 9 pagi.
Berikut ini selengkapnya: Matins (Tengah Malam); Lauds (sekitar 3 AM); Prime: 6-9 AM (matahari terbit dan pagi hari); Underne (Terce): 9-12 AM (pagi); Sexte: 12-3 PM (siang); None: 3-6 PM (sore); Vesper (Senja/Maghrib): 6-9 PM (malam); Compline: 9 PM. (Jeffrey L. Forgeng. Will McLean. Daily Life in Chaucer's England, 2009)
Dari uraian singkat di atas, dapat kita lihat bahwa pembagian waktu-waktu ibadah yang terdapat dalam tradisi keagamaan Yahudi dan Kristiani -- nampak nyaris tidak ada bedanya dengan waktu-waktu shalat harian dalam tradisi Islam.Â
Pembagian waktu-waktu tersebut berinterval waktu 3 jam. Dimulai pada jam 6.00 (terbit matahari) -- jam 9.00 (pagi) -- jam 12.00 (siang) -- jam 15.00 (sore) -- jam 18.00 (terbenam matahari).Â
Hanya saja dalam tradisi Islam, terdapat pelaksanaan waktu shalat malam yang dilakukan beberapa jam setelah matahari tenggelam (dimulai sekitar jam 7 atau jam 8 malam) yang hukumnya wajib, yakni waktu Isya. Bisa dikatakan ini sama dengan waktu ibadah Compline (9 PM) dalam tradisi kristiani.Â
Sementara itu, waktu shalat di jam 9 pagi yaitu waktu shalat duha (menurut sebutan dalam tradisi Islam) menjadi waktu shalat sunat yang sifatnya tidak wajib dalam Islam. Namun demikian, beberapa kalangan ulama menyebut shalat Duha sebagai shalat yang sangat penting atau "nyaris wajib".
Jadi benarkah tidak ada perintah shalat 5 waktu dalam Al Quran?
Secara eksplisit memang tidak ada bunyi kalimat seperti itu dalam Al Quran, tetapi Allah menurunkan Al Quran untuk manusia yang dikarunia Allah fungis akal untuk dapat menelaah. Jika akal ini digunakan maka jawabannya, ada perintah shalat 5 waktu tersebut.
Berikut ini beberapa ayat dalam Al Quran yang menjawab pernyaataan tersebut:
QS Al Israa'ayat 78:
"Dirikanlah olehmu sembahyang ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam, dan (dirikanlah) sembahyang subuh sesungguhnya sembahyang subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)"
Dalam ayat ini secara spesifik disebutkan perintah shalat di waktu subuh. Sementara saat "tergelincir atau jatuhnya matahari" merujuk pada waktu asar (sore hari). "Waktu gelap malam" sangat mungkin merujuk pada waktu Maghrib atau pun Isya yang berdekatan waktunya.
QS Hud ayat 114:
"Dan dirikanlah sholat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat", (QS Hud: 114).
Makna frase "kedua tepi siang" dalam ayat ini merujuk pada waktu shalat Duha (waktu pagi) dan waktu Azar (waktu sore). Sementara makna frase "bahagian permulaan malam" merujuk pada waktu shalat Maghrib dan juga Isya.
QS Al Baqarah ayat 238:
"Peliharalah semua salat dan salat wustha. Dan laksanakanlah (salat) karena Allah dengan khusyuk."Â
Makna "shalat wustha" dalam ayat ini merujuk pada waktu shalat duhur (tepat tengah hari). Kata 'wustha' dalam bahasa Arab berarti: Â Pertengahan, Jari Tengah.Â
Sebenarnya, jika kita jeli mencermati, kata 'wustha' dalam surat Al Baqarah ayat 238 bisa dikatakan jawaban untuk polemik shalat 5 waktu yang sedang viral saat ini.Â
Oleh karena makna lain dari 'wustha' yaitu "jari tengah," tampaknya menjadi isyarat yang dipilih Allah bahwa jumlah shalat yang diwajibkan-Nya ada 5 sesuai jumlah jari pada tangan.Â
Jadi, jika Allah mengisyaratkan shalat duhur sebagai shalat pertengahan dengan analogi posisi waktunya sama seperti posisi jari tengah maka, lebih lanjut dapat diasumsikan jari kelingking analoginya mengacu pada shalat Subuh, jari manis mengacu pada shalat Duha, jari telunjuk pada shalat azar, dan ibu jari mengacu pada shalat Maghrib.
Jika merujuk analogi seperti ini maka, waktu shalat dalam tradisi Islam sama persis dengan waktu shalat (waktu berdoa) dalam tradisi Yahudi maupun Kristiani.
lalu bagaimana dengan waktu shalat Isya? Â untuk hal inilah maka, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa shalat Wustha merujuk pada shalat Azar. Mereka mengasumsikan shalat Subuh merujuk pada jari kelingking, shalat duhur sebagai jari manis, shalat Azar sebagai "wustha" atau jari tengah, shalat Maghrib sebagai jari telunjuk, dan Shalat Isya sebagai ibu Jari.
Apa pun itu, isyarat Allah yang menganalogikan jumlah shalat sama seperti jumlah jari pada tangan, dapat kita lihat sebagai jawaban bahwa memang hanya ada 5 waktu yang diwajibkan Allah dan itu diisyaratkan-Nya dalam Al Quran.
Demikianlah, seperti yang telah saya sebutkan di atas, Allah menurunkan Al Quran untuk manusia yang dikarunia Allah fungis akal untuk dapat menelaah ayat-ayat yang Dia turunkan. Jika engkau tidak menggunakan akalmu, atau akalmu "sebenarnya" dapat melihat hal itu namun engkau memilih untuk "menutup mata" maka, itu sama dengan engkau menghindarkan dirimu sendiri dari Petunjuk-Nya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H