"Dirikanlah olehmu sembahyang ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam, dan (dirikanlah) sembahyang subuh sesungguhnya sembahyang subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)"
Dalam ayat ini secara spesifik disebutkan perintah shalat di waktu subuh. Sementara saat "tergelincir atau jatuhnya matahari" merujuk pada waktu asar (sore hari). "Waktu gelap malam" sangat mungkin merujuk pada waktu Maghrib atau pun Isya yang berdekatan waktunya.
QS Hud ayat 114:
"Dan dirikanlah sholat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat", (QS Hud: 114).
Makna frase "kedua tepi siang" dalam ayat ini merujuk pada waktu shalat Duha (waktu pagi) dan waktu Azar (waktu sore). Sementara makna frase "bahagian permulaan malam" merujuk pada waktu shalat Maghrib dan juga Isya.
QS Al Baqarah ayat 238:
"Peliharalah semua salat dan salat wustha. Dan laksanakanlah (salat) karena Allah dengan khusyuk."Â
Makna "shalat wustha" dalam ayat ini merujuk pada waktu shalat duhur (tepat tengah hari). Kata 'wustha' dalam bahasa Arab berarti: Â Pertengahan, Jari Tengah.Â
Sebenarnya, jika kita jeli mencermati, kata 'wustha' dalam surat Al Baqarah ayat 238 bisa dikatakan jawaban untuk polemik shalat 5 waktu yang sedang viral saat ini.Â
Oleh karena makna lain dari 'wustha' yaitu "jari tengah," tampaknya menjadi isyarat yang dipilih Allah bahwa jumlah shalat yang diwajibkan-Nya ada 5 sesuai jumlah jari pada tangan.Â
Jadi, jika Allah mengisyaratkan shalat duhur sebagai shalat pertengahan dengan analogi posisi waktunya sama seperti posisi jari tengah maka, lebih lanjut dapat diasumsikan jari kelingking analoginya mengacu pada shalat Subuh, jari manis mengacu pada shalat Duha, jari telunjuk pada shalat azar, dan ibu jari mengacu pada shalat Maghrib.