Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ini Asal-Usul Nama "Jawa" Menurut Konsep Lokapala (Penjaga Mata Angin)

15 Juli 2020   08:00 Diperbarui: 15 Juli 2020   08:10 3773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi lokapala (dokumen pribadi)

Ketika kita mencari tahu asal usul nama "Jawa", di Wikipedia kita dapat temukan sajian narasi bahwa "hal itu dapat dilacak pada kronik berbahasa Sanskerta yang menyebut adanya pulau bernama Yavadvip(a) (dvipa berarti "pulau", dan yava berarti "jelai" atau juga "biji-bijian"). 

Penjelasan tersebut merujuk pada apa yang disampaikan Thomas Stamford Raffles dalam bukunya "The History of Java" (1965: hlm. 3). Dan nampaknya ini adalah argumen asal usul ama "Jawa" yang paling banyak tersebar luas selama ini.

Ron Hatley memberikan dugaan lain bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia yang berarti "rumah" ("Mapping cultural regions of Java" in: Other Javas away from the kraton. pp. 1--32)

Selama ini, sebutan "Jawa" oleh para ilmuwan sejarah biasanya dianggap terkait dan merupakan bentuk perubahan fonetis dari kata "saba" yang memang banyak ditemukan dalam catatan-catatan kuno.

Kata 'saba' dianggap transliterasi dari sebutan 'She-po' yang merupakan sebuah toponim dalam kronik cina kuno untuk suatu negeri di wilayah laut selatan (nan hai) yang kita kenal sebagai nusantara atau Indonesia pada hari ini.

Senada dengan hal ini, Giovanni de Marignolli, seorang musafir katolik terkemuka dari Eropa yang berkelana ke Cina pada abad-14 Masehi, menyampaikan dalam catatan perjalanannya bahwa:

Dalam perjalanan pulang dari Cina untuk kembali ke Avignon (Italia), ia memutuskan menggunakan jalur laut, setelah sebelumnya menggunakan jalur darat untuk memasuki wilayah Cina, yang dengan demikian, memungkinkan ia untuk dapat mampir di Nusantara dan India. 

Dalam perjalanan pulang ini ia mengatakan menyempatkan diri mengunjungi negeri Saba yang disebut dalam kitab suci, yang ia temukan masih dipimpin oleh seorang ratu. 

Ia menyebut kerajaan itu terletak di pulau paling indah di dunia. Dinding istana dihiasi dengan gambar-gambar historis yang bagus; kereta dan gajah banyak digunakan, terutama untuk para wanita; ada gunung yang sangat tinggi, yang disebut Gybeit atau "Yang Terberkati." 

Ratu memperlakukan dengan baik para pelancong dengan menghadiahkan mereka ikat pinggang emas; ada beberapa orang-orang Kristen di sana.

Mencermati catatan Marignolli ini, dapat diduga bahwa negeri  'saba' yang ia datangi tersebut adalah jawa, dan kerajaan yang ia kunjungi adalah majapahit yang pada saat itu dipimpin oleh Tribhuwana Tunggadewi segera setelah Raja Jayanagara mangkat. 

Hal ini sejalan dengan fakta yang ditunjukkan dalam piagam Berumbung yang dikeluarkan oleh Rani Tribhuwana Tunggadewi pada tahun Saka 1251 bulan Bhadra atau sekitar Agustus-September 1329 Masehi. Waktu ini sesuai dengan kisaran tahun perjalanan Marignolli di asia. (Piagam Berumbung, 1329, disinggung oleh N.J. Krom _dalam "Epigraphisce Aanteekeningen XIII", T.B.G. LVIII, hlm. 161; diumumkan pada tahun 1915 dalam O.V., no. 2, hlm. 68; dibahas oleh F.H. van Naerssen dalam B.K.I. 1933, hlm. 239-258). 

Dr. Maharsi dalam kamus Jawa Kawi Indonesia (Pura Pustaka, 2009) menganggap bahwa kata "Saba" berasal dari kata bahasa Jawa kawi yaitu 'Saba' yang berarti "pertemuan" atau "rapat". Dengan demikian kata itu menurutnya dapat diartikan sebagai "tempat bertemu".

Senada dengan pernyataan Dr. Maharsi, Fahmi Basya dalam bukunya "Indonesia Negeri Saba", lebih menginterpretasikan bahwa kata tersebut berarti "tempat bertemu", "tempat berkumpul", atau "tempat berkumpulnya bangsa-bangsa". 

Demikianlah informasi yang sejauh ini mengemuka dalam khasanah literatur kita terkait asal usul nama "Jawa".

Jawi dan Jawa

Mengenai sebutan 'jawi', William Edward Maxwell memberi penjelasan dalam "A Manual of the Malay Language: With an Introductory Sketch of the Sanskrit Element in Malay" bahwa, 'jawi' berasal dari bahasa Arab, dibentuk sesuai dengan aturan tata bahasa Arab dari kata benda Jawa / Java.  Sama seperti 'Makkah', 'Meccah', yang memunculkan derivasi 'Makk-i' atau 'maki'.

Hubungan 'Makki' / 'maki' dengan 'Makkah' atau 'Meccah' ini ditunjukkan Maxwell melalui etimologi kata 'senamaki' yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dijelaskan: pohon yang daunnya dibuat untuk obat cuci perut; "Cassia angustifolia". 

Pohon Senamaki dahulunya disebut "Mecca Senna" (Senna Mekah), sementara di Indonesia populer dengan sebutan "Dau Jati Cina". 

Tanaman senna dianggap salah satu tanaman penting dalam dunia pengobatan. Tercantum dalam farmakope Eropa, Amerika, India, dan Cina. Terkenal sebagai tanaman pengobatan yang aman dari efek samping.

Begitu mujarabnya tanaman ini sehingga dalam tradisi Islam, dapat ditemukan dibahas dalam beberapa hadist Nabi Muhammad. Antara lain dari Abdullah bin Ummi Haram berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Hendaklah kalian (berobat) dengan senna dan sannut. Sesungguhnya pada keduanya terdapat penyembuh segala penyakit kecuali kematian. (Shahih Al-JamiAsh-Shaghir).

Dari Asma binti Umais berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Seandainya ada obat yang bisa mengobati kematian, pastilah itu senna. (Al-Jami Ash-Shaghir).

Yang menarik, terkait fenomena sebutan 'Jawi', Maxwell mengatakan bahwa di masa kuno ada koloni Melayu dan Jawa yang cukup besar di Mekah, di mana semua orang Mekah dikenal tanpa pandang bulu sebagai Jawi. 

Ini tentunya selaras dengan Hipotesis saya dalam banyak tulisan sebelumnya yang mengatakan bahwa di masa kuno, orang-orang dari wilayah timur (atau dapat disebut secara spesifik sebagai orang Nusantara), yang merupakan bangsa pelaut ulung, telah melakukan migrasi dan membuat koloni-koloni di wilayah barat. 

Selain jejak mereka dapat ditemukan di wilayah timur tengah hari ini (seperti yang disampaikan Maxwell di atas), jejak lainnya dapat pula ditemukan di Asia tengah, dan terutama di Madagaskar. Hal ini telah saya bahas dalam artikel "Jejak Pedagang Nusantara di Asia Tengah pada Masa Kuno".

Keberadaan koloni Melayu dan Jawa yang cukup besar di Mekkah pada masa kuno yang disebut Maxwell, kuat dugaan saya terkait dengan hipotesis yang saya bahas dalam artikel "Nusantara sebagai 'Negeri Saba' Menurut Beberapa Catatan Kuno". 

Dalam artikel tersebut saya mengulas bahwa klaim Nusantara sebagai "Negeri Sabah" yang hanya didasari pertimbangan adanya beberapa toponim di Nusantara yang dianggap mirip dengan nama "Saba atau Sabah", seperti "Wonosobo, sabah, dan masih banyak lagi," akan menemukan kesulitan serius ketika dihadapkan pada sanggahan dan klaim serupa bahwa terdapat pula toponim atau etnonim yang identik dengan Saba di wilayah belahan bumi lain, yang "bahkan" didukung dengan bukti-bukti yang lebih konkrit berupa manuskript kuno dan berbagai artefak lainnya.

Contohnya "kebra nagast". Sebuah catatan kuno dari abad ke-14, yang berisi penjelasan tentang bagaimana Ratu Syeba (Ratu Makeda dari Ethiopia) bertemu Raja Salomo dan tentang bagaimana Tabut Perjanjian datang ke Etiopia dengan Menelik I (Menyelek). Terkait hal ini, David Allan Hubbard menjelaskan Dalam tulisannya "The Literary Sources of the Kebra Nagast" (Dissertation. University of Saint Andrews,1956).

Juga terdapat temuan arkeologis di wilayah Yaman (Arab selatan) mengenai eksistensi kerajaan Saba di wilayah tersebut pada masa kuno. Sebagaimana yang dijelaskan Israel Finkelstein dan Neil Asher Silberman (2007) dalam buku "David and Solomon: In Search of the Bible's Sacred Kings and the Roots of the Western Tradition" yang menegaskan negeri Saba letaknya di Arabia Selatan.

Menghadapi fakta-fakta yang lebih kronkrit seperti itu, akan menyebabkan klaim "Nusantara sebagai Negeri Sabah" rentan dipandang sebelah mata, atau pun dianggap sebagai "pseudosains" yang secara sarkastis biasanya disebut dengan istilah "cocokologi" oleh netizen di dunia maya. 

Dan hal ini pula yang saya lihat membuat para ilmuwan sejarah di Indonesia "terkesan" tidak terlalu tertarik untuk membahas tema ini. 

Bisa dikatakan bahwa mereka ada di posisi yang menganggap bahwa klaim "Nusantara sebagai Negeri Sabah"  adalah hal yang tidak ilmiah, pseudosains, dan bahwa membahas hal itu berpotensi dapat menyebabkan rusaknya "reputasi keilmiahan atau reputasi scientist" mereka... :)

Tapi sebenarnya, klaim "Nusantara sebagai Negeri Sabah" bukanlah sebuah klaim yang lemah. Ada banyak sumber literatur dari masa kuno yang menunjukkan Nusantara sebagai negeri Sabah.

Sebutan Nusantara sebagai Sabah atau Saba, Selain dapat kita temukan bentuk transliterasinya dalam banyak kronik Cina (yakni She-po atau Cho-po), dapat pula kita temukan dibahas dalam catatan "The Geography" Ptolemy yang menyebutkan wilayah ini sebagai Sabadeiba. 

Begitu pula dalam catatan perjalanan Giovanni de Marignolli (yang sudah saya bahas di atas). 

Bahkan, dengan pertimbangan merujuk pada kisah yang diriwayatkan dalam kitab suci bahwa, negeri saba adalah negeri Ratu Balkis (istri Nabi Sulaiman), maka, keterkaitan Negeri Saba dengan wilayah nusantara dapat pula kita temukan diungkap dalam catatan "Tuhfat al-Nafis" Raja Ali Haji Ibn Ahmad, yang kemudian diterjemahkan oleh Virginia Matheson and Barbara Watson Andaya (1982) dengan judul "The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis) Raja Ali Haji Ibn Ahmad".

Dalam buku tersebut terungkap bahwa ...Raja-raja Bugis yang melakukan perjalanan ke barat dari tanah Bugis berasal dari Sitti Mallangkik, Ratu dari sebuah negara bernama Luwu. Beberapa tradisi Bugis menduga bahwa ia berasal dari Puteri Balkis, Ratu Sheba, yang merupakan istri dari Nabi Sulaiman. 

Penentuan Zona Waktu di masa kuno menguatkan klaim Nusantara sebagai Negeri Saba

Terlepas dari kesemua sumber literatur tersebut, saya pribadi menganggap bahwa hipotesis adanya pembagian zona waktu di masa kuno adalah fakta yang tak terbantahkan untuk klaim "Nusantara sebagai Negeri Sabah". Pembahasan mengenai hal ini telah saya ulas dalam artikel "Pembagian Zona Waktu di Masa Kuno" yang saya publikasi pada bulan Mei 2019.

Dalam tulisan tersebut saya mengurai hipotesis bahwa di masa kuno telah ada konsep pembagian zona waktu di muka bumi menurut posisi matahari di langit. Hal tersebut dbuktikan dengan adanya jejak toponim yang maknanya bisa dikatakan identik dengan nama waktu (pagi, siang, sore, dan maghrib), dan terletak pada posisi garis bujur yang terbagi rata, yakni masing-masing berjarak 45 derajat (atau berjarak 3 jam).

Dengan asumsi bahwa gerak semu matahari pada siang hari dari timur ke barat membentuk sudut 180 derajat (setengah sisi bola bumi), dan dengan merujuk pada penentuan titik meridian 0  derajat berada di Greenwich (sebagaimana kesepakatan yang berlaku di dunia modern sekarang ini), maka pembagian zona waktu di masa kuno tersebut dapat kita lihat tersusun sebagai berikut: 

  • Zona jam 06.00 (terbit fajar paling awal) berada di garis bujur 180 derajat - posisinya di negara Tuvalu di Pasifik; 
  • Zona jam 09.00 (pagi) berada di garis bujur 135 derajat - posisi Waktu Indonesia Timur; 
  • Zona jam 12.00 (siang) berada di garis bujur 90 derajat - posisi Bangladesh/ wilayah teluk Benggala, dan sekitarnya; 
  • Zona jam 15.00 (sore) berada di garis bujur 45 derajat - posisi Mesir, Irak, dan sekitarnya; 
  • Zona jam 18.00 (terbenam matahari) berada di garis bujur  0 derajat, posisi Maroko ataupun Greenwich dan sekitarnya. 

Penjelasannya sebagai berikut...

Setelah matahari terbit di ujung timur, lalu bergerak ke arah barat, matahari butuh waktu 3 jam untuk tiba atau terbit di Wilayah Indonesia Timur (WIT), butuh waktu 4 jam untuk tiba dan terbit di Wilayah Indonesia Tengah (WITA), dan butuh waktu 5 jam untuk tiba dan terbit di Wilayah Indonesia Barat (WIB). 

Jadi, ketika matahari terbit di ketiga wilayah Indonesia ini, pada saat yang bersamaan di ujung timur bumi (Tuvalu) jam telah menunjukkan pukul: 9, pukul 10, dan pukul 11. Hal inilah yang mendasari orang-orang di masa kuno menyebut wilayah Nusantara sebagai "Negeri Sabah", yang berarti "Negeri Pagi". Kita ketahui, dalam bahasa Arab "sabah" berarti "pagi, yang mana identik dengan kata Subuh dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, Sabah atau Subuh pada dasarnya sama-sama berarti: Awal Hari, atau pagi.

Selanjutnya, Matahari butuh 6 jam bergerak ke arah barat untuk tiba dan terbit di wilayah bergaris bujur 90 derajat (wilayah Bangladesh dan sekitarnya), sehingga pada saat yang sama, di Tuvalu telah menunjukkan tepat pukul 12 siang. Wilayah Bangladesh ini kemudian disebut sebagai "Negeri Siang" atau "Negeri tengah hari" oleh orang-orang di masa kuno.

Hal ini dibuktikan dengan adanya toponim "Madyanagar bazar" yang terletak tepat di garis bujur 90 derajat di wilayah Bangladesh.

Toponim Madyanagar bazar di Bangladesh (dokpri)
Toponim Madyanagar bazar di Bangladesh (dokpri)

Madyanagar bazar tepat berada di garis bujur 90 derajat (dokpri)
Madyanagar bazar tepat berada di garis bujur 90 derajat (dokpri)

Dalam bahasa Sanskrit kata "madhyAhna" berarti siang atau tengah hari. Dengan demikian dapat diduga bahwa bentuk etiomologi Madhyanagar berasal dari kata "madhyAhna" yang berarti "siang" atau "tengah hari"; dan "nagar" yang berarti  "Negeri". Jadi, kemungkinan pada masa lalu daerah ini disebut: "Negeri madhyAhna" atau "Negeri Siang" atau "Negeri Tengah Hari". 

Adapun kata 'bazar' pada toponim "Madyanagar bazar" adalah bermakna "pasar". Jadi, secara keseluruhan, makna "Madyanagar bazar" kurang lebih adalah: "Pasar Negeri Tengah".

Dalam ulasan artikel yang lain "Temuan Jejak Orang Madyan, Aikah, dan Rass yang Disebut dalam Al-Quran", saya telah mengungkap pula jika kaum Nabi Syuaib yang bernama Madyan, yang dalam kitab suci diriwayatkan diazab oleh Allah akibat melakukan kecurangan dalam kegiatan perdagangan atau jual beli, sesungguhnya berasal dari wilayah ini. Strategisnya negeri mereka yang tepat berada di tengah antara timur dan barat, menjadikan wilayah mereka kemudian dijadikan pusat pasar yang melayani pedagang yang datang dari arah timur maupun barat.

Selanjutnya, matahari Butuh 9 jam bergerak ke arah barat untuk tiba dan terbit di wilayah bergaris bujur 45 derajat (wilayah Mesir, Irak, dan sekitarnya), sehingga pada saat yang sama, di Tuvalu telah menunjukkan jam 15 sore; dan, Butuh 12 jam bergerak ke arah barat untuk tiba dan terbit di garis bujur 0 derajat (wilayah Maroko, atapun Greenwich, dan sekitarnya), sehingga pada saat yang sama, di Tuvalu telah menunjukkan jam 18 petang/ Maghrib.

Agar lebih ringkas, untuk mendapatkan pembahasan lebih rinci mengenai wilayah bergaris bujur 45 derajat dan wilayah bergaris bujur 0 derajat, silahkan anda baca pada artikel "Pembagian Zona Waktu di Masa Kuno", dan juga kembali saya ulang dalam artikel "Temuan Jejak Orang Madyan, Aikah, dan Rass yang Disebut dalam Al-Quran".

Demikianlah, ada banyak fakta dari masa kuno yang dapat menjadi rujukan dan sekaligus penguat klaim "Nusantara sebagai Negeri Sabah" yang sesungguhnya.

Secara pribadi saya berpandangan bahwa keberadaan Kerajaan Saba di Yaman (Arab Selatan) dan Kerajaan Saba di Ethiopia, merupakan wujud dari migrasi atau penyebaran orang-orang Nusantara pada masa kuno ke wilayah barat, yang membangun koloni baru disana, dengan tetap menggunakan nama atau identitas awalnya. 

Hal inilah sebenarnya yang diungkap Maxwell bahwa "di masa kuno ada koloni Melayu dan Jawa yang cukup besar di Mekah, di mana semua orang Mekah dikenal tanpa pandang bulu sebagai Jawi". Koloni tersebut menduduki wilayah Yaman (Arab Selatan) di mana kerajaan Saba memang pernah berdiri.

Wilayah Arab Selatan ini adalah tempat bermukim "Orang Thay" orang-orang yang bermigrasi dari Asia Tenggara yang membawa budaya bertanam padi di jazirah Arab di masa kuno. Hal ini telah saya bahas dalam artikel "Thay, Suku Kuno di Asia Tenggara dan Jazirah Arab: Pionir Pertanian Padi".

Konsep Lokapala yang menunjukkan asal usul nama "Jawa"

Dalam tradisi Hindu dikenal konsep "Lokapala" yaitu tentang dewa-dewa penjaga arah mata angin. Dewa-dewa tersebut adalah: 

  1. Indra (Timur)
  2. Kubera (Utara)
  3. Varuna (Barat)
  4. Yama (Selatan)

Dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya banyak menekankan bahwa yang disebut sebagai dewa dalam banyak mitologi kuno, sesungguhnya adalah merupakan bentuk personifikasi orang-orang besar, orang suci, atau bahkan para nabi yang hidup di masa kuno. 

Upaya pengidentifikasian atau penafsiran Personifikasi semacam ini, bahkan telah mulai dilakukan sejak masa Yunani kuno. Hal itu dikenal dengan periode sinkretisme - atau "interpretatio graeca" artinya "terjemahan Yunani" atau "interpretasi dengan menggunakan [model] Yunani".

Yang pada dasarnya merupakan upaya menafsirkan atau mencoba memahami mitologi dan agama dari budaya lain, dengan membandingkannya dengan konsep Yunani kuno dalam hal praktik keagamaan, dewa, dan mitos, untuk melihat kesetaraan dan karakteristik yang sama. [Mark S. Smith: God in Translation: Deities in Cross-Cultural Discourse in the Biblical World, 2008: 39]

Interpretasi semacam ini telah pula saya bahas dalam artikel "Sosok Nabi Idris di Berbagai Tradisi Agama dan Mitologi, serta Rahasia yang Meliputinya".

Dalam artikel tersebut saya mengulas bahwa pada masa kuno, Nabi Idris dikenal sebagai Changjie dalam mitologi Cina, Dewa Varuna dalam mitologi India, Dewa Thoth dalam mitologi Mesir kuno, dan Dewa Hermes dalam mitologi Yunani kuno.

Interpretasi kesamaan tersebut, salah satunya disampaikan oleh Abu'l-Faraj (Abulpharagius) Seorang uskup Syria, filsuf, penyair, sejarawan, dan teolog, yang mengatakan dalam bukunya Ta'rih muhtasar ed-duwal (ed. Salhani, hal. 11) bahwa, Henokh (Idris) adalah identik dengan Hermes Trismegistus, yang oleh sementara orang Arab menyebutnya Idris. (Untuk lebih lengkapnya silahkan membaca artikel ini "Sosok Nabi Idris di Berbagai Tradisi Agama dan Mitologi, serta Rahasia yang Meliputinya").

Jika Dewa Varuna adalah personifikasi nabi Idris, lalu siapakah yang diinterpretasi sebagai Indra, Kubera, dan Yama?

Dewa Indra Penjaga Arah Timur

Dalam tradisi Hindu disebutkan bahwa Graha (benda langit) yang diduduki oleh Dewa Indra adalah Matahari (Surya). 

Sementara itu, dalam banyak literatur Surya disebut sinonim atau terkait dengan Batara Guru, dan bahwa Batara Guru adalah sebutan lain dari Dewa Siwa.

Dalam Himne tertua Veda, seperti himne 1.115 dari Rgveda, disebutkan, Surya sebagai penghormatan khusus untuk "matahari terbit" dengan simbolismenya sebagai penghilang kegelapan, orang yang memberdayakan pengetahuan, kebaikan dan semua kehidupan. (Samuel D. Atkins, A Vedic Hymn to the Sun-God Surya. 1938, hlm. 419). 

Bisa dikatakan bahwa filosofi "bagai matahari pagi yang datang menghilangkan gelap malam" inilah sebenarnya mendasari prinsip konsep spiritual bangsa matahari atau wangsa surya di masa kuno.

Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period (1966, hlm. 129-131), mengatakan bahwa dalam kitab Jawa kuno, Tantu Panggelaran, Bhattara Guru digambarkan sebagai guru pertama kali dari sekolah yang paling awal (paling tua), ia dikatakan sebagai guru para dewa (divine teachers). Dia direpresentasikan sebagai guru berbicara (speech) dan guru bahasa (language).

Dari uraian ini, dapat diduga jika Indra atau Surya atau Siwa atau pun Batara Guru, adalah personifikasi dari Nabi Adam, Nabi terawal yang dihadirkan Allah di muka bumi. Pembahasan lebih detail mengenai interpretasi ini telah saya bahas dalam tulisan berjudul "Interpretasi Kesamaan Adam, Fuxi, dan Batara Guru".

Mengenai Penempatan Nabi Adam sebagai penjaga arah timur, ada banyak hal yang dapat menjadi pertimbangan. 

Salah satunya adalah bahwa karena ia diturunkan di timur. Kehadirannya yang pertama kali membawa cahaya (pencerahan atau ilmu pengetahuan) di sisi timur inilah yang dimaknai secara metafora oleh wanga Surya dengan ungkapan: "bagai matahari pagi yang datang menghilangkan gelap malam". 

Kemunculan atau terbitnya ilmu pengetahuan  atau peradaban manusia di sisi paling timur ini, dimaknai secara filosofi seperti matahari yang terbit di timur lalu bergerak ke arah barat. 

Jadi, ketika Wangsa Surya atau Bangsa Matahari melakukan migrasi atau penyebaran ke barat untuk membawa peradaban, itu memang didasari oleh semangat spiritualitas yang mereka usung sebagai bangsa yang pertama mendapatkan pencerahan, dan mereka percaya mengemban tanggung jawab untuk menyebarkan pencerahan tersebut ke barat seperti arah gerak matahari.

Fakta bahwa Wilayah pagi sebagai wilayah awal terbitnya matahari, pada dasarnya sangat terkait dan bisa dikatakan merupakan etimologi dari kata "Timur".

Kuat dugaan saya jika kata "Timur" atau "Timor" atau "Temor" sesungguhnya berasal dari kata "Mori" yang berarti: Pagi. Suku kata "ti" atau "te" di depan kata "ti (te) - mor" pada dasarnya sama dengan bentuk "the" dalam bahasa Inggris, atau "de" dalam bahasa Belanda, yang fungsinya digunakan untuk merujuk pada seseorang, tempat, atau hal yang unik.

"Te-luk" adalah kata dalam bahasa Indonesia yang juga menggunakan atribut "te" seperti yang terdapat pada kata "Te-mor".

Kita ketahui, kata "teluk" dalam bahasa Indonesia hari ini didefinisikan sebagai: bagian laut yang menjorok ke darat - atau dapat pula dideskripsikan sebagai lengkungan atau cekungan yang terbentuk diantara sisi daratan dan lautan. Kata lengkung atau cekung ini bentuk sinonimnya adalah "luk".

kata "Luk" adalah kata yang sudah sangat kuno. Pada hari ini penerapan kata "luk" umumnya hanya dapat kita temukan ketika menyebut lengkungan pada keris. Demikianlah, kata "teluk" berasal dari kata dasar "luk" yang mendapat bentuk "te" atau "the" atau "de" di depannya.

Kita lanjut...

Kata "mori" yang berarti "pagi" adalah kata yang sudah sangat kuno. hadir di masa-masa awal peradaban manusia di muka bumi.

Makna "mori" yang berarti "pagi" dapat kita temukan jejaknya pada kata "Murai" yang  artinya adalah burung yang berkicau pagi hari, atau pun pada ucapan "Mrena" yang merupakan ucapan selamat pagi dalam bahasa orang Maori (penduduk asli Selandia Baru).

Bahkan, kata "morning" dalam bahasa Inggris bisa dikatakan berasal dari bentuk "mori" ini. Dalam situs merriam-webster.com dijelaskan bahwa bentuk dasar kata "morning" adalah: "morn" yang mendapat suffix -ing.

Melalui metode pencermatan morfologi Bahasa dengan menggunakan pendekatan fonetik altikulatoris, kita dapat melihat bahwa variasi bentuk yang dapat muncul dari morfologi kata "Mori" adalah: poni - poli - pori - podi - poti - boni - boli - bori - bodi - boti - woni - woli - wori - wodi - woti - moni - moli - mori - modi - moti. (Metode pendekatan fonetik altikulatoris telah saya ulas dalam tulisan lain. di artikel "Formula Kunci Mengurai Sejarah" dan juga di artikel Genetik Aksara Nusantara, Formula Kunci Mengurai Sejarah)

Salah satu variasi tersebut adalah "poni" yang merupakan bentuk dasar dari nama bangsa Phonecia.

Bentuk nama Phoenicia dalam Yunani kuno adalah "Phoinikes", sementara dalam Latin adalah "Poeni". Dari kedua bentuk ini, dapat kita asumsikan bentuk sederhananya adalah "Poni". 

Identitas Bangsa Phoenicia yang terkait dengan "citra matahari pagi" tergambar jelas pada pengistilahan nama kawasan mereka bermukim di ujung timur Laut Mediterranean, yang menghadap ke arah barat, yang disebut sebagai "Sea of the Rising Sun" (Laut Matahari Terbit). 

Teluk Boni yang terletak di pulau Sulawesi pun pada dasarnya terkait dengan makna "pagi". Namun untuk lebih lengkapnya silahkan anda baca dalam artikel saya yang lain: "Negeri Pagi", Identitas Nusantara di Masa Kuno.

Demikianlah, Nabi Adam atau dalam tradisi Lokapala dipersonifikasi sebagai Dewa Indra, sebagai dewa penjaga arah timur, sisi "pagi hari" peradaban manusia di muka bumi.

Dewa Kubera Penjaga Arah Utara

Dalam tradisi Lokapala Dewa Kubera menduduki Graha (benda langit) atau planet Mercury. sementara di sisi lain, dalam mitologi Mesir kuno dikenal ada nama Dewa Set, yang menurut astronomi Mesir kuno, umumnya dikaitkan dengan planet Merkurius. Sama-sama menempati Mercury atau Merkurius ini mengindikasikan kesamaan antara Kubera dan Set.

Adapun mengenai nama Set ini, saya perkirakan terkait dengan nama putra Nabi Adam, yaitu Nabi Seth.

Yang menarik karena jika saya mengidentifikasi nama Seth menurut aksara Hanzi, hasilnya terdiri dari tiga huruf yaitu: "se" artinya "warna"; "tu" artinya "bumi"; dan "huang" yang artinya "kuning". (lihat image berikut)

Hasil identifikasi nama
Hasil identifikasi nama "Seth" menurut aksara Hanzi (dokpri)

Identifikasi nama "Seth" yang kurang lebih menunjukkan makna "bumi warna kuning" setidaknya memiliki keterkaitan dengan identitas Dewa Kubera yang dalam mitologinya akrab dengan identitas warna kuning atau emas. 

Bahkan dalam buku Vettam Mani "Puranic Encyclopaedia: A Comprehensive Dictionary With Special Reference to the Epic and Puranic Literature (1975: 434) disebutkan bahwa Kubera memiliki nama Ekaksipingala yang artinya "orang yang memiliki satu mata kuning".

Dari beberapa fakta ini, saya menduga jika Dewa Kubera adalah personifikasi dari Nabi Seth (putra Nabi Adam).

Dengan mempertimbangkan bahwa Kubera adalah penguasa atau penjaga arah utara, lalu, arti nama Seth (yakni "bumi warna kuning"), serta arti nama lain kubera (Ekaksipingala  = "orang yang memiliki satu mata kuning"), maka, kuat dugaan saya jika negeri di utara yang dimaksud adalah Negeri Cina. Karena kita ketahui, kaisar pertama, atau kaisar mitologis Cina, dikenal dengan sebutan "Huang Di" artinya "kaisar kuning". 

Dari nama Kaisar Kuning inilah muncul sebutan Yellow River (sungai kuning). Dan nampaknya, besar kemungkinan jika Kaisar Huang Di ini gelar lain dari Kubera atau Nabi Seth.

Dewa Varuna Penjaga Arah Barat

Sebagaimana telah saya sebutkan di atas, Varuna adalah personifikasi Nabi Idris. Hal ini telah saya bahas panjang lebar dalam artikel "Sosok Nabi Idris di Berbagai Tradisi Agama dan Mitologi, serta Rahasia yang Meliputinya", karena itu untuk pembahasan mengenai Varuna atau Nabi Idris silahkan membaca artikel tersebut.

Dalam bahasa Indonesia, kata "barat" kita kenal sebagai salah satu arah mata angin. Namun sebenarnya, "bharat" merupakan nama kuno untuk wilayah yang berada di asia selatan, yang hari ini kita kenal dengan sebagai India.

Dewa Yama Penjaga Arah Selatan

Dalam agama Hindu, Yama juga disebut sebagai Yamaraja. Merupakan salah satu nama dewa dalam naskah Rigveda. Ia dikenal sebagai penguasa alam kematian.

Statusnya dalam Lokapla sebagai Penjaga Arah yang mewakili arah selatan, bisa dikatakan selaras dengan arah selatan yang dalam konsep kosmologi kuno merepresentasi alam bawah atau alam kematian atau neraka. Bahkan banyak sejarawan menganggapnya merupakan analogi dari Hades, dewa Yunani yang menguasai dunia bawah. 

kuat dugaan saya jika wilayah selatan yang menjadi wilayah kekuasaan dewa Yama, tidak hanya dimaknai sebagai "dunia bawah", lebih dari pada itu, ia merujuk suatu wilayah geografis tertentu, sebagaimana dewa Kubera yang menempati negeri Cina di Utara, dan Dewa Varuna yang menempati Bharat yang kita kenal sebagai India pada hari ini.

Untuk Mengidentifikasi wilayah Selatan milik Dewa Yama ini, ada beberapa informasi dari masa lalu yang bisa menjadi dasar pertimbangan kita.

salah satunya adalah sebutan orang "Celate" atau "Cellate" yang diberikan oleh orang-orang di barat bagi pelaut-pelaut yang datang dari Nusantara pada masa kuno. Kata "celate" atau "Cellate" ini jelas identik dengan kata Selat.

Dalam Ilmu geografi kita mengenal istilah "Paparan Sunda" untuk nama landasan benua wilayah Indonesia bagian barat (meliputi Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera). Tapi tahukah anda apa arti nama "sunda" yang sebenarnya?

Dalam bahasa Norse Kuno (Bahasa Skandinavia Kuno atau bahasa Jermanik Utara yang dituturkan oleh orang-orang Skandinavia di sekitar abad ke-7 hingga abad ke-15. ), kata "sund" bisa berarti "sebuah selat". (Penjelasannya bisa dibaca di sini)

Di masa kuno, orang di Cina daratan menyebut wilayah nusantara dengan nama "nan-hai" yang berarti "laut selatan".

Demikianlah, kata "selatan" yang kita kenal hari ini sebagai salah satu nama arah mata angin, pada dasarnya berasal dari kata "selat" yang mendapat akhiran -an. 

Dan nampaknya sebutan "Cellate" (bagi orang Portugis), ataupun "Saleeters" (bagi orang Inggris), merujuk pada "Orang-orang Selat", yakni "orang laut", atau "orang Bajou" yang memang banyak bermukim di berbagai perairan laut di wilayah Nusantara sejak masa kuno.

Kaitan antara Dewa Yama sebagai penguasa arah Selatan, dengan Orang Bajou yang mendapat sebutan "orang selat" di masa kuno, akan kita temukan hubungannya setelah kita menggali beberapa layer (lapisan) lebih dalam terkait jati diri keduanya.

Dalam bahasa Sanskrit, Yama berarti "kembar" atau bisa juga berarti "sama". [Thomas Egenes. Introduction to Sanskrit - Part 2, 2000: hlm. 132]

Suku Bajo atau Bajau menyebut diri mereka "Orang Sama". [Adrian B. Lapian. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 2009: hlm. 80]

Salah satu alasan yang muncul diberikan atas asal usul nama "sama" tersebut, adalah bahwa mereka percaya merupakan keturunan dari Sam bin Nuh.

Demikianlah, Yama bisa jadi memang personifikasi dari Sam bin Nuh. 

Dalam suatu riwayat, ketika Nabi Isa menghidupkan Sam bin Nuh, Isa bertanya mengenai usia hidup Sam. Sam menjawab bahwa ia hidup selama 4000 tahun, dan terangkat menjadi nabi di usia 2000 tahun. Sehingga dari riwayat ini, kita dapat mengetahui jika Sam bin Nuh juga adalah seorang nabi.

Perubahan fonetis antara bentuk 'sama' dan 'saba' memang sangat dimungkinkan, dimana m dan b adalah bagian dari kelompok fonetis artikulatoris labial yang dalam banyak kasus bahasa sering kita jumpai saling bertukar satu sama lain. Seperti nama Raja Namrud yang dalam bahasa Ibrani disebut Nimrod, sementara bentuk Yunaninya adalah Nebrod.

Perubahan fonetis antara 'sama' dan 'yama' pun dapat kita lihat berpeluang terjadi. Transisinya melalui fonem /s/ yang kadang dibunyikan /c/ dan /j/, dan /j/ yang kadang dibunyikan /y/.

Dengan demikian, variasi perubahan fonetis yang dapat terjadi pada kata 'yama' antara lain: 

yama, jama, cama, sama

yaba, jaba, caba, saba

yawa, jawa, cawa, sawa

yapa, japa, capa, sapa

Diantara variasi di atas dapat kita lihat terdapat kata 'saba' dan 'jawa'.

Dari hal ini, dapat kita simpulkan jika nama 'jawa' nampaknya berasal dari nama Dewa Yama. Status Dewa Yama sebagai penguasa selat-an, sejalan dengan kenyataan bahwa arti nama sunda di masa kuno sebenarnya adalah "selat". Sementara itu, kita ketahui pulau Jawa juga disebut "sunda besar".

Salah satu bentuk variasi lain dari 'yama' yang perlu mendapat perhatian adalah 'jama'. 

Saya melihat ada kemungkinan jika bentuk 'jama' adalah bentuk anagram dan terkait erat dengan bentuk kata 'maja'. Ini bisa jadi jawaban mengapa ada banyak toponim di pulau Jawa yang menggunakan kata 'maja'. Seperti: Majalengka, Majalaya, Mojokuto, Mojokerto, dan banyak lagi. 

Toponim Mojokuto dan Mojokerto yang secara harfiah bermakna "kota maja", tentunya menggelitik pemikiran kita untuk berasumsi bahwa bisa jadi wilayah di pulau Jawa yag bertoponim demikian, di masa yang sangat kuno mungkin merupakan tempat Yama atau Sam bertahta. 

Adanya tokoh Yamadipati dalam pewayangan Jawa tentunya sejalan atau katakanlah mendukung asumsi tersebut. Kata 'Dipati' dapat berarti "penguasa", Jadi Yamadipati kurang lebih berarti: Penguasa Yama.

Aspek lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah nama Yama yang berarti "kembar" dalam sanskerta, bisa dikatakan sinonim dengan makna kata 'sama' yang dalam bahasa Indonesia berarti "serupa". 

Yang jika kita tinjau dalam bahasa daerah di Nusantara, kata "sama" disebut "padha" dalam bahasa Jawa juga bahasa Tae yang digunakan orang Sulawesi Selatan.

Yang menarik karena kata "padha" terdapat dalam konsep mitologi Jawa yang menyebutkan bahwa ada 3 dunia, yaitu: Mayapada (dunia para dewa atau surga), Madyapada (dunia manusia atau bumi), Arcapada (dunia bawah atau neraka). 

Makna Arcapada sebagai dunia bawah atau neraka tentunya sejalan dengan status Yama sebagai penguasa dunia bawah, alam kematian, atau Neraka dalam konsep Lokapala. 

demikianlah, uraian makna kata "Yama, Sama, dan Padha" di atas, jelas menunjukan adanya terkaitan satu sama lain. 

Siklus keterkaitan semacam ini bisa dikatakan sebagai sebuah fakta "kesatuan kosmologi". Ini mengajarkan kepada kita bahwa: "Suatu puzzle mitologi yang berasal dari bangunan "kesatuan kosmologi" yang sama, akan senantiasa menunjukkan hubungan genetik dengan cara seperti ini."

***

Demikianlah, dari kesemua uraian di atas dapat kita lihat jika empat Dewa dalam konsep Lokapala adalah personifikasi dari 4 orang nabi di masa kuno. Yang menarik karena susunan dari posisi Timur (Adam), Utara (Seth), Barat (Idris), dan Selatan (Sam), Selain searah siklus terbit matahari (berlawanan arah jarum jam), formasi tersebut juga terlihat tersusun menurut urutan generasi di antara mereka.

Sekian apa yang wajib saya sampaikan. Semoga bermanfaat. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun