Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kaitan Pasombala, Tanah Shambala, Sompa, dan Tabut Perjanjian

6 Juni 2020   14:07 Diperbarui: 30 Juni 2020   13:42 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gerbang wala suji (sumber: makassar.tribunnews.com)

Menarik untuk mencermati uraian sahabat Dhanang Pradipta dalam tulisan artikelnya berjudul "Nyombala, Tradisi Turun Menurun Masyarakat Selayar":

Bagi orang-orang yang melakukan perjalanan melalui laut untuk mencapai satu daerah ke daerah lain disebut sebagai nyombala. Pasombala sendiri biasanya digunakan untuk menyebut nama para nahkoda dan awak kapal (aktor.

Dapat dikatakan tradisi nyombala sudah berkembang sejak lama meskipun tidak diketahui secara pasti dan siapa dalang dibalik tradisi ini. Istilah ini juga masih sering terdengar sampai sekarang saat para orang tua memanggil anak mereka yang sedang pergi ke Makassar.

Para pedagang yang keluar masuk dari Selayar ke Makassar juga dapat dikategorikan sebagai pasombala atau tau nyombala. Tetapi,  bagi para nelayan yang melakukan perjalanan laut untuk mencari ikan tidak bisa dikaegorikan sebagai pasombala.

Konsep pengistilahan kegiatan melaut seperti "Pasombala" di komunitas orang Selayar, saya pikir identik dengan istilah "ma' tasik" dalam tradisi orang Luwu di masa lalu.

Seperti yang telah saya urai dalam beberapa tulisan sebelumnya bahwa, sebutan ma' tasik bisa jadi berasal dari kebiasaan melaut orang Luwu (Bugis) ke jazirah Arab masa kuno, yang pada masa itu Arab lebih dikenal dengan sebutan Tasi (oleh orang Cina), Tazik atau Tajik ( oleh orang-orang di wilayah Asia Selatan hingga wilayah Asia Tengah).

Sedemikian sering dan biasanya kegiatan melaut itu dilakukan, sehingga sebutan ma'tasik dalam rentang waktu yang panjang lambat laun menjadi sebutan umum untuk semua kegiatan melaut dalam tradisi Luwu (Bugis).

Demikianlah, sebutan 'pasombala' dalam tradisi orang Selayar bisa jadi berasal dari nama wilayah yang rutin mereka datangi dan berlangsung terus menerus dalam rentang waktu yang sangat lama.

Wilayah itu bisa jadi bernama 'Sombala', karena suku kata 'pa-' di depan kata 'pa-som-ba-la' nampaknya merupakan bentuk imbuhan, seperti imbuhan pe dalam bahasa Indonesia yang berfungsi menyatakan orang yang mengerjakan sesuatu atau pelaku.

Fakta bahwa istilah 'pasombala' digunakan orang Selayar untuk menyebut anak-anak mereka yang sedang ke Makassar (sebagaimana yang dijelaskan  sahabat Dhanang Pradipta) bisa jadi berlaku lebih luas, yakni juga ditujukan pada wilayah lain di pulau Sulawesi yang mereka datangi, seperti Bone, Pare-pare ataupun Luwu. Dengan kata lain, bisa jadi kata tersebut adalah sebutan mereka untuk pulau Sulawesi secara umum..

Jika orang Selayar menyebut pelaut sebagai 'Pasombala' berasal dari kata 'sombala' yang berarti layar, maka dalam bahasa Bugis Makassar seorang pelaut biasa disebut 'Pasompe'. Bentuk Pasombala dan Pasompe jelas memiliki keterkaitan fonetis. Yang menarik karena bentuk fonetis 'Pasompe' terkait pula dengan sebutan nama pulau Sulawesi di masa kuno yakni 'Sempena' atau 'Sempe 'yang artinya "piring".

Yang mesti dipahami di sini adalah bahwa orang-orang di masa lalu di Sulawesi Selatan nampaknya biasa menganalogikan perahu sebagai sebuah piring, dan sebaliknya piring sebagai sebuah perahu. 

Hal ini misalnya dapat kita temukan pada kata 'Baku' dan 'Waku' (yang secara tinjauan fonetis, huruf b dan w yang sama-sama merupakan fonetis artikulatoris labial, memang sering menunjukkan pertukaran. Misalnya: Wanua dan Banua).

Dalam bahasa Tae', kata 'baku' adalah sebutan wadah tempat makan atau piring yang dibuat dari daun atau kertas yang bentuknya menyerupai perahu (kata 'baku' ini bisa dikatakan identik dengan kata 'bakul' dalam bahasa Indonesia). Sementara itu, kata 'waku' atau 'waka' berarti 'kapal' dalam bahasa Bugis kuno. Ini telah saya bahas dalam tulisan sebelumnya (Asal Usul Kata "Bahtera" ini Menyingkap Gambaran Tentang Kapal Nabi Nuh yang Sesungguhnya).

Demikianlah, dari perbendaharaan bahasa orang Selayar ('Sombala') kita dapat temukan penguatan hipotesis saya sebelumnya (Petunjuk Menemukan Tanah Suci "Shambala") bahwa di masa lalu pulau Sulawesi memang disebut tanah Shambala.

Asal usul kata Sombala atau Shambala

Besar dugaan saya jika kedua kata ini (Sombala dan Shambala) berasal dari kata 'Sompa' yang dalam tradisi Bugis Makassar hari ini lebih dimaknai sebagai 'mahar' dalam prosesi perkawinan.

Dengan mempertimbangkan bahwa kata 'Sompa' identik dengan kata 'Sompe' atau 'Sempe' yang berarti 'piring' dan atau 'perahu' dalam bahasa kuno di Sulawesi, maka saya melihat jika yang disebut wala suji hari ini dalam tradisi Bugis Makassar sebenarnya lebih tepat disebut 'Sompa'.

Berikut ini gambar 'wala suji' yang digunakan dalam prosesi adat penyerahan mahar perkawinan dalam tradisi Bugis Makassar. Biasanya wala suji di isi beberapa jenis buah-buahan.

seorang pengrajin membuat wala suji (sumber: www.antarafoto.com)
seorang pengrajin membuat wala suji (sumber: www.antarafoto.com)

Gerbang penyambutan tamu yang dibuat dari anyamana bambu (dalam prosesi perkawinan Bugis Makassar) juga disebut wala suji.

gerbang wala suji (sumber: makassar.tribunnews.com)
gerbang wala suji (sumber: makassar.tribunnews.com)

Penting untuk diketahui para pembaca sekalian bahwa, bentuk 'sompa' ini sangat identik dengan 'tabut perjanjian' atau ''Ark of the Covenant' yang sangat suci dalam tradisi Ibrani. Baik menurut bentuk, maupun motif anyaman yang digunakan.

tabut atau  Ark of the Covenant (sumber: www.foxnews.com)
tabut atau  Ark of the Covenant (sumber: www.foxnews.com)
Jika dalam tradisi Bugis Makassar benda ini disebut 'sompa' yang dapat bermakna 'perahu', maka dalam tradisi Ibrani benda ini (tabut perjanjian) disebut "Ark of the Covenant", yang mana kata 'Ark' jelas bermakna perahu atau bahtera.

Dari kesamaan makna perahu untuk kata 'sompa' dan 'Ark of the Covenant' inilah maka, saya pikir apa yang selama ini disebut wala suji dalam tradisi Bugis Makassar mestinya lebih tepat jika disebut 'sompa'. Sebutan 'wala suji' bisa dikatakan lebih merujuk pada model anyaman.

Misteri Keberadaan 'tabut perjanjian'

Setelah masa Nabi Musa, tabut perjanjian secara turun temurun diwarisi oleh Bani Israel. Hingga Pada 587 SM, ketika orang Babilonia menghancurkan Yerusalem dan Kuil Salomo, sejak itu letak keberadaan tabut perjanjian tidak diketahui lagi. 

Tidak ada catatan tentang apa yang terjadi pada tabut perjanjian di dalam Kitab Para Raja dan Tawarikh. Di sisi lain banyak versi yang muncul terkait silang pendapat, antara yang mengatakan bahwa tabut perjanjian dibawa oleh orang Babilonia ke Babel, dan yang mengatakan bahwa tabut perjanjian disembunyikan agar tidak dibawa ke Babel dan tidak pernah dibawa kembali ke Yerusalem.

Rabi Yehudah, yang tidak setuju pendapat yang mengatakan jika tabut dibawa ke Babel, mengatakan bahwa Tabut disimpan di suatu tempat di Bukit Bait Suci. Tapi apakah bukit bait suci yang dimaksud adalah "Temple Mount" di kota lama Yerussalem (yang selama ini dimuliakan sebagai tempat suci oleh Agama Yahudi, Kristen dan juga Islam) ataukah ada "bukit bait suci" lain yang telah terlupakan?

Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, 6 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun