Menarik untuk mencermati uraian sahabat Dhanang Pradipta dalam tulisan artikelnya berjudul "Nyombala, Tradisi Turun Menurun Masyarakat Selayar":
Bagi orang-orang yang melakukan perjalanan melalui laut untuk mencapai satu daerah ke daerah lain disebut sebagai nyombala. Pasombala sendiri biasanya digunakan untuk menyebut nama para nahkoda dan awak kapal (aktor.
Dapat dikatakan tradisi nyombala sudah berkembang sejak lama meskipun tidak diketahui secara pasti dan siapa dalang dibalik tradisi ini. Istilah ini juga masih sering terdengar sampai sekarang saat para orang tua memanggil anak mereka yang sedang pergi ke Makassar.
Para pedagang yang keluar masuk dari Selayar ke Makassar juga dapat dikategorikan sebagai pasombala atau tau nyombala. Tetapi, Â bagi para nelayan yang melakukan perjalanan laut untuk mencari ikan tidak bisa dikaegorikan sebagai pasombala.
Konsep pengistilahan kegiatan melaut seperti "Pasombala" di komunitas orang Selayar, saya pikir identik dengan istilah "ma' tasik" dalam tradisi orang Luwu di masa lalu.
Seperti yang telah saya urai dalam beberapa tulisan sebelumnya bahwa, sebutan ma' tasik bisa jadi berasal dari kebiasaan melaut orang Luwu (Bugis) ke jazirah Arab masa kuno, yang pada masa itu Arab lebih dikenal dengan sebutan Tasi (oleh orang Cina), Tazik atau Tajik ( oleh orang-orang di wilayah Asia Selatan hingga wilayah Asia Tengah).
Sedemikian sering dan biasanya kegiatan melaut itu dilakukan, sehingga sebutan ma'tasik dalam rentang waktu yang panjang lambat laun menjadi sebutan umum untuk semua kegiatan melaut dalam tradisi Luwu (Bugis).
Demikianlah, sebutan 'pasombala' dalam tradisi orang Selayar bisa jadi berasal dari nama wilayah yang rutin mereka datangi dan berlangsung terus menerus dalam rentang waktu yang sangat lama.
Wilayah itu bisa jadi bernama 'Sombala', karena suku kata 'pa-' di depan kata 'pa-som-ba-la' nampaknya merupakan bentuk imbuhan, seperti imbuhan pe dalam bahasa Indonesia yang berfungsi menyatakan orang yang mengerjakan sesuatu atau pelaku.
Fakta bahwa istilah 'pasombala' digunakan orang Selayar untuk menyebut anak-anak mereka yang sedang ke Makassar (sebagaimana yang dijelaskan  sahabat Dhanang Pradipta) bisa jadi berlaku lebih luas, yakni juga ditujukan pada wilayah lain di pulau Sulawesi yang mereka datangi, seperti Bone, Pare-pare ataupun Luwu. Dengan kata lain, bisa jadi kata tersebut adalah sebutan mereka untuk pulau Sulawesi secara umum..
Jika orang Selayar menyebut pelaut sebagai 'Pasombala' berasal dari kata 'sombala' yang berarti layar, maka dalam bahasa Bugis Makassar seorang pelaut biasa disebut 'Pasompe'. Bentuk Pasombala dan Pasompe jelas memiliki keterkaitan fonetis. Yang menarik karena bentuk fonetis 'Pasompe' terkait pula dengan sebutan nama pulau Sulawesi di masa kuno yakni 'Sempena' atau 'Sempe 'yang artinya "piring".
Yang mesti dipahami di sini adalah bahwa orang-orang di masa lalu di Sulawesi Selatan nampaknya biasa menganalogikan perahu sebagai sebuah piring, dan sebaliknya piring sebagai sebuah perahu.Â
Hal ini misalnya dapat kita temukan pada kata 'Baku' dan 'Waku' (yang secara tinjauan fonetis, huruf b dan w yang sama-sama merupakan fonetis artikulatoris labial, memang sering menunjukkan pertukaran. Misalnya: Wanua dan Banua).