Menyadari ini secara holistik adalah titik dimana kita melihat bahwa pencerahan dari Sang Pencipta sebagai satu-satunya jalan. Memohon sembari terus berupaya memantaskan diri (memaksimalkan kemampuan analisa dan meluaskan cakrawala pandang) agar mendapatkan petunjuk-Nya adalah mutlak untuk dilakukan bagi setiap orang yang memilih jalan pencarian esensi ini.
Bukanlah suatu kebetulan jika orang-orang pandai di masa kuno selain memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam, ia juga memiliki ketinggian spiritual yang baik, karena memiliki kemurnian bathin adalah prasyarat untuk mengetahui hal-hal yang bersifat esensi.
Saya percaya bahwa informasi yang dikemas seperti makna sakral dibalik nama-nama angka yang baru saja kita urai adalah otentik, dan adalah merupakan buah karya seorang yang suci, yang memiliki visi tersendiri dalam menyimpan informasi dengan cara seperti itu. Visi tersebut bisa jadi merupakan bentuk penyesuaian dengan suatu mekanisme metafisika yang berlaku di alam semesta.
Dengan dikemas secara samar sedemikian rupa maka makna sakral yang ingin di jaga orisinalitasnya akan terhindar dari kondisi termanipulasi secara sengaja maupun tidak disengaja. Berikut ini konstruksi penyamarannya:
Memanfaatkan fitur gramatikal (sistem angka) dari bahasa tertentu sebagai medium penyimpanan. Pilihan ini strategis, dikarenakan himpunan lambang dasar pada sistem angka (yakni:1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10) secara tradisional merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan selain itu memiliki aturan susunan yang baku, sehingga kepingan-kepingan pesan dari informasi yang ingin disamarkan dapat dijaga urutan susunannya secara tepat dengan meletakkannya sesuai dengan susunan baku dalam sistem angka tersebut.
Metode peletakannya adalah dengan menjadikan nama dari masing-masing lambang dasar pada sistem angka (nama-nama angka) semacam bentuk double-entendre, yang makna dari bentuk gandanya  merupakan suatu ungkapan bentuk perandaian atau simbolik yang memuat rincian pesan yang dimaksudkan.
Nama-nama angka yang dibentuk sebagai suatu bentuk ungkapan perandaian atau simbolik kemudian diberi perubahan fonetik yang jalan pemecahannya adalah dengan mengacu pada sistem aksara Brahmik atau Abugida, yang telah mengelompokkan masing-masing unit aksaranya menurut indikasi pelafalannya.
- ka - ga - nga - ngka (guttural)
- pa - ba - ma - mpa (labial)
- ta - da - na - nra (dental)
- ca - ja - nya - nca (palatal)
- ya - ra - la - wa (semivowel)
- sa - a - ha (Sibilant)
contoh: pitu = bidu (p dan b sama-sama dalam kelompok fonetik labial, t dan d sama-sama dalam kelompok fonetik dental).
Jika seandainya dari semenjak dahulu kita menggunakan kata bidu untuk angka 7 kemungkinan kita akan dengan mudah menebak bahwasanya nama itu berasal dari nama formasi bintang biduk, yang mana bintang terang yang menyusun formasinya secara kebetulan memang berjumlah 7.
Penelusuran asal-usul berbagai nama angka dalam bahasa tradisional dan asal usul nama arah mata angin yang kita temukan sangat terkait dengan konsep kosmologi (makro kosmos dan mikro kosmos) semestinya menyadarkan kita betapa rapinya rekaman ingatan kolektif yang kita warisi dari masa lalu, serta yang tak kalah penting adalah menyadari bahwa bahasalah (khususnya bahasa tradisional) yang menjadi media pilihan penyimpan rekaman tersebut.
Mekanisme pewarisan bahasa pada manusia yang bekerja secara neurotik dalam otak manusia (yang kapasitas penyimpanannya bisa dikatakan tak terhingga) yang proses akuisisinya dimulai sejak lahir dan mencapai tingkat dapat diucapkan dengan fasih pada usia tiga tahun, yang kemudian di sisi lain, akumulasi jumlah manusia yang terlahir jika dihitung menurut basis periode masa kelahiran tertentu adalah bersifat kelipatan, menjadikan ingatan manusia secara kolektif sebagai media penyimpanan yang sangat efektif secara kapasitas maupun kontinuitas.
Sejarah membuktikan bahwa bahasa dapat bertahan hingga ribuan tahun, dan dengan sendirinya rekaman konsep filosofi yang tersimpan di dalamnya terjaga keotentikannya.Â
Distorsi pemahaman yang jika pun ada pada kenyataannya lebih bersifat fungsi sebagai selubung, yang untuk proses penguraiannya  kembali ke bentuk asli telah tersedia instrumennya pada ilmu tata bahasa dan aksara yang juga telah diwariskan kepada kita.Â
Pemahaman ini setidaknya ada keterkaitan dengan salah satu kutipan dari Pitagoras yang mengatakan:Â
"...angka merupakan sesuatu yang sakral, yang akan menyelesaikan atau membuka rahasia-rahasia tentang Alam"
Dari seluruh uraian di atas, terlihat betapa tatanan kosmologi kuno tersaji di hampir seluruh lini kehidupan manusia di masa lalu. Dari penamaan arah mata angin, susunan nama angka-angka, dan mungkin masih banyak lagi bentuk simbol-simbol beserta filosofinya yang belum berhasil kita ungkap.
Sebelum mengakhiri pembahasan ini, ada baiknya kita mencermati Pemahaman kosmologi orang-orang di masa kuno yang dapat kita temukan dalam bentuk hiasan symbol: Swastika.Â