Salah satu pertanyaan yang mungkin timbul kemudian dalam pemikiran kita adalah, apakah memang benar bahwa La Galigo tidak bisa menjadi bahan rujukan dalam penentuan sejarah?
Untuk pertanyaan ini, bisa dikatakan kita tidak dapat menjawabnya secara eksplist antara jawaban "ya atau tidak" - hal yang paling mungkin diajukan adalah bentuk kajian secara parsial, bahwa untuk sisi tujuan dengan sudut pandang tertentu, ia akan dapat memberi jawaban positif, sementara pada sisi yang lain bersifat negatif atau tidak begitu menjanjikan (seperti yang katakan Cadwell dan Bulbeck di atas).
Apa pun itu, kami melihat bahwa hal yang penting yang perlu dipahami dalam kegiatan menginterpretasi Naskah sastra kuno seperti I La Galigo, adalah bahwa kita mestilah membiasakan diri untuk secara imajinatif melihat adanya figur "benang merah" dalam analisa tersebut, yang tentunya menuntut kreatifitas, ketajaman akal dan intuitif, serta didukung luasnya wawasan atau cakrawala pandang.
Dalam upaya kami menganalisa naskah I La Galigo dengan metode filologi, Kami telah menemukan beberapa bagian dari naskah tersebut yang pada dasarnya dapat menunjukkan perkiraan waktu kapan naskah tersebut di susun - ini dapat dimungkinan dengan mencermati etimologi dari suatu toponim terkait, yang lebih lanjut, jika disinkronkan dengan kronik dari Cina dan kronik dari beberapa tempat lainnya di Asia Tenggara, akan memungkinkan kita menghasilkan suatu pertimbangan yang dapat digunakan sebagai pembanding terhadap susunan genealogi Raja-raja Luwu yang selama ini banyak dikritisi oleh berbagai pihak.
Namun untuk pembahasan mengenai hal itu akan kami urai pada seri berikutnya, karena Pada seri pertama ini, sesuai judul, kami akan mengungkap adanya keunikan dalam naskah I La Galigo yang menyiratkan informasi tentang topografi bawah laut. Fenomena yang baru diketahui pada masa kini, melalui pemanfaatan teknologi modern.
Dalam Buku I La Galigo (R. A. Kern. Gadjah Mada University Press, 1993. hlm. 52) diungkap kisah perjalanan pelayaran Bataralattu' menuju negeri Tompo'tikka, untuk menemui calon istrinya, We Datusengeng (anak dari penguasa Tompo'tikka Turu'belae dengan permaisurinya We Padauleng). Berikut kutipannya: "Setelah tujuh hari tujuh malam berlayar tibalah mereka pada (pohon) PAO JENGKI, dekat lubang tempat air samudera terjun ke bawah." (...) - kalimat inilah yang kami maksudkan sebagai bagian dalam naskah I La Galigo yang menyebutkan informasi tentang topografi bawah laut
Di antara kedua palung tersebut, dugaan kami kuat pada Palung Filipina, dengan pertimbangan alasan adanya penyebutan "Pao Jengki" yang disebutkan dekat dari lubang tempat air samudera terjun ke bawah.
Kami menganggap bahwa "Pao Jengki" yang dimaksudkan adalah sebuah toponim (nama wilayah), dengan demikian kami menganggap itu bukanlah nama pohon sebagaimana yang diduga berbagai pihak sebelumnya. Kami dapat memahami bahwa dugaan pemaknaan "Pao Jengki" sebagai pohon, timbul dari merujuk pada pertimbangan makna "Pao" dalam Bahasa daerah di Sulawesi Selatan yang berarti buah mangga.
"Pao Jengki" yang kami maksudkan sebagai suatu toponim merujuk pada keberadaan nama wilayah "Davao" di dekat palung Filipina. Pada peta yang kami lampirkan, terlihat bahwa kota Davao (Davao City) berada dalam teluk Davao, tetapi, bagian yang kami lingkari merah pun juga masih disebut sebagai pantai Davao timur (berada di Davao Timur). Dan dapat kita lihat pula bahwa tidak jauh dari partai Davao Timur terdapat Palung Filipina.