Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyebutan Palung Filipina (Philippine Trench) di dalam Naskah I La Galigo (Seri Analisa Filologi Naskah I La Galigo - 1)

2 Februari 2019   16:03 Diperbarui: 2 Februari 2019   16:12 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah bagian pertama dari seri analisa filologi yang kami lakukan pada naskah I La Galigo. Sebelum memasuki topik utama pembahasan pada seri ini, ada baiknya untuk terlebih dulu mengurai secara singkat profil, dan beberapa hal yang sejauh ini telah berlangsung dalam khazanah penelitian naskah I La Galigo.

Sebagai Manuskript yang telah masuk dalam daftar memori dunia UNESCO, dan dengan reputasinya sebagai karya sastra terbesar dan terpanjang, sebagaimana yang diungkap R. A. Kern dalam Catalogus Van de Boegineesche Tot De I La Galigocyclus Behoorende Handscriften Der Leidsche Universiteitbibliotheek yang diterbitkan tahun 1939  oleh Universiteitbibliotheek Leiden, naskah I La Galigo menjadi subjek penelitian dari banyak akademisi dan ilmuwan dari seluruh penjuru dunia.

Menurut Sirtjof Koolhof, Naskah I La Galigo merupakan naskah terpanjang di dunia - mencapai sekitar 300.000 baris, jauh melampaui Epos Mahabarata (160.000 - 200.000 baris).

Namun demikian, pada tataran tertentu, beberapa ilmuwan jelas-jelas mengungkapkan penolakan mereka, bahwa agar I La Galigo tidak dijadikan bahan historis.

Pelras misalahnya, dalam buku Manusia Bugis (Nalar: 2005), pada catatan kaki di halaman 55 - 57, mengurai beberapa ungkapan keberatan dari Ilmuwan. Berikut ini catatan kaki tersebut kami kutip secara utuh:

Sesuai dengan apa yang telah saya bayangkan lebih dulu, sejumlah rekan (antara lain Andaya, Caldwell, dan Koolhof) mengecam saya karena saya memakai La Galigo sebagai bahan historis. - Koolhof (158 [3], 2002; 157) misalnya menyatakan keberatannya atas alasan bahwa La Galigo "Is more of ideological than of historical significance". 

Pendapat ini saya setujui memang; namun tidak berarti bahwa teks ini, secara tidak sengaja, tidak mengandung butir-butir yang mencerminkan suatu keadaan yang berlaku pada masa karya itu dijadikan naskah tertulis, atau bahkan suatu keadaan yang sudah tidak berlaku lagi pada masa itu tetapi masih bertahan dalam tradisi lisan; sedangkan kesenjangan yang nyata antara ideologi, sistem pemerintahan dan geografi politik yang digambarkan dalam La Galigo dengan apa yang tergambar dalam pasal-pasal awal dari kronik-kronik sejarah tetap perlu dijelaskan.

Adapun Andaya juga meragukan bahwa "Through the use of the I La Galigo and other tradition (...) it is possible to obtain a picture of the political situation an state of civilization in South and Central Sulawesi and the surrounding World before the fourteenth century" : kalau "political situation" diartikan sebagai suatu geografi politik dan suatu gambaran mengenai hubungan antara kerajaan yang pernah terwujud dalam wilayah itu, saya setuju; namun jika diartikan dari sudut pandang sistem pemerintahan dan pelapisan masyarakat, ini masih bisa diperdebatkan.

Katanya lebih lanjut: "At this stage of South Sulawesi studies, it would have been better if Pelras had avoided the temptation to "fill the gap" ; sebenarnya "godaan" tersebut tidak timbul secara spontan pada diri saya, tetapi termasuk "pesanan" penerbit yang, pada tahun 1989, minta supaya saya menulis tentang prasejarah, sejarah, keadaan masyarakat dan kebudayaan tradisional orang Bugis sebelum disentuh oleh pengaruh luar, dan gejala modernisasi yang mereka alami sebagai akibat pengaruh itu.

Bagi saya, jelaslah: saya harus menjelaskan bahwa masyarakat Bugis sejak dulu tidak pernah tertutup dan saya harus memperlihatkan kesinambungan interaksi antara mereka dengan dunia luar dari semula sampai dewasa ini.

Untuk itu saya tidak bisa mengosongkan sama sekali periode antara prasejarah dan abad ke-15, dengan mengabaikan bahan-bahan berharga yang tertanam dalam La Galigo; sekurang-kurangnya, cara bagaimana sebagian besar cendikiawan Bugis masa kini masih membayangkan masa lampau bangsa mereka tidak boleh diabaikan.

Caldwell (The Journal of Southeast Asian Studies, 30 (2), 1999 : 380-81) juga tidak seberapa percaya ... "the possibility of seeking in these texts a credible picture of Bugis civilization (...) in the times before reliably established texts become available".  Namun, selanjutnya dia tulis: "In setting out his interpretation clearly and in detail, Pelras has provided a valuable service to scholars who do not agree with him, by providing a number of testable hypotheses, which he hopes archeologists will address" (...)

Demikianlah beberapa catatan Pelras terkait keberatan yang dialamatkan beberapa pihak terhadapnya, karena menggunakan I La Galigo sebagai bahan rujukan historis.

Di tempat lain, pandangan kritis mengenai studi naskah I La Galigo dapat kita temukan dalam artikel "Negeri Besi: Tafsir Historis Leluhur Masyarakat Kompleks di Sulawesi Selatan" (Ian Caldwell, David Bulbeck). Dalam artikel ini, Ian Cadwell mengatakan: 

"[Menggunakan teks La Galigo sebagai bahan sejarah] akan membutuhkan metodologi yang berbeda dari yang digunakan untuk catatan genealogi atau toponim, dan, dengan membandingkannya dengan kajian tentang epik-epik Yunani kuno, prospeknya tidak begitu menjanjikan.

Finlay (1964) memaparkan masalah-masalah besar dalam mencoba menggunakan catatan Iliad tentang perang Troya untuk menjelaskan hancurnya Troya VIIa." (Caldwell 1995: 418, catatan kaki 47.)

Lebih lanjut dalam Artikel tersebut Cadwell dan Bulbeck mengatakan: Menafsir bahan-bahan dari La Galigo harus dimulai dengan melihat La Galigo sebagai "komposisi lisan" seperti yang diperlihatkan Koolhof (Koolhof 1992). Keahlian yang dibutuhkan untuk kerja ini tidak berasal dari ilmu sejarah tetapi dari kajian khusus sastra epik yang digubah secara lisan (mis. Lord 1960). (...)

Argumen ini ditarik dari studi syair epik Eropa, seperti Nibelungenlied (Thomas 1995), Chanson de Roland (Brault 1978) dan Iliad (Mueller 1984), yang telah dievaluasi secara hati-hati dengan bantuan catatan arkeologis dan  sejarah, serta melewati uji internal yang ketat. Kajian terhadap epik-epik ini dan karya non-Eropa sejenis telah memperlihatkan bahwa komposisi teks-teks semacam ini dalam sebuah "pemilahan" kandungan teks yang bersifat informasi.

Meskipun plot secara keseluruhan tetap konsisten - umumnya terdapat konsistensi mengagumkan dalam hal struktur dan hubungan personal - para penggubah menggunakan beragam formula dan alat linguistik lain untuk menuturkan cerita.

Maka seseorang, benda atau praktik dari satu periode dapat muncul berdampingan dengan individu, benda dan praktik dari masa yang benar-benar berbeda, dalam hubungan yang bersifat kausalitas maupun temporal. Hasilnya adalah, kecuali kita tahu, dari sumber historis tertentu, kita kemungkinan besar akan disesatkan oleh teks yang kelihatan utuh.

Fakta menyebutkan bahwa kita hanya bisa menilai kebenaran sebuah epik lisan dengan bantuan sumber-sumber lain, dan ini menurut Mackhight (1993: catatan kaki 107) adalah sebuah paradoks, bahwa seseoarng hanya bisa tahu mana yang benar bila dia telah mengetahuinya dari sumber lain. Jika memperhatikan metode yang digunakan, kita akan sepakat dengan Macknight (1993:35) bahwa 'konsep "Zaman Galigo" harus dilawan dengan ketat.' (...) 

Demikianlah kurang lebih, Ikhtisar yang dapat kami urai terkait polemik yang berlangsung dalam khazanah penelitian naskah I La Galigo sejauh ini.

Salah satu pertanyaan yang mungkin timbul kemudian dalam pemikiran kita adalah, apakah memang benar bahwa La Galigo tidak bisa menjadi bahan rujukan dalam penentuan sejarah?

Untuk pertanyaan ini, bisa dikatakan kita tidak dapat menjawabnya secara eksplist antara jawaban "ya atau tidak" - hal yang paling mungkin diajukan adalah bentuk kajian secara parsial, bahwa untuk sisi tujuan dengan sudut pandang tertentu, ia akan dapat memberi jawaban positif, sementara pada sisi yang lain bersifat negatif atau tidak begitu menjanjikan (seperti yang katakan Cadwell dan Bulbeck di atas).

Apa pun itu, kami melihat bahwa hal yang penting yang perlu dipahami dalam kegiatan menginterpretasi Naskah sastra kuno seperti I La Galigo, adalah bahwa kita mestilah membiasakan diri untuk secara imajinatif melihat adanya figur "benang merah" dalam analisa tersebut, yang tentunya menuntut kreatifitas, ketajaman akal dan intuitif, serta didukung luasnya wawasan atau cakrawala pandang.

Dalam upaya kami menganalisa naskah I La Galigo dengan metode filologi, Kami telah menemukan beberapa bagian dari naskah tersebut yang pada dasarnya dapat menunjukkan perkiraan waktu kapan naskah tersebut di susun - ini dapat dimungkinan dengan mencermati etimologi dari suatu toponim terkait, yang lebih lanjut, jika disinkronkan dengan kronik dari Cina dan kronik dari beberapa tempat lainnya di Asia Tenggara, akan memungkinkan kita menghasilkan suatu pertimbangan yang dapat digunakan sebagai pembanding terhadap susunan genealogi Raja-raja Luwu yang selama ini banyak dikritisi oleh berbagai pihak.

Namun untuk pembahasan mengenai hal itu akan kami urai pada seri berikutnya, karena Pada seri pertama ini, sesuai judul, kami akan mengungkap adanya keunikan dalam naskah I La Galigo yang menyiratkan informasi tentang topografi bawah laut. Fenomena yang baru diketahui pada masa kini, melalui pemanfaatan teknologi modern.

Dalam Buku I La Galigo (R. A. Kern. Gadjah Mada University Press, 1993. hlm. 52) diungkap kisah perjalanan pelayaran Bataralattu' menuju negeri Tompo'tikka, untuk menemui calon istrinya, We Datusengeng (anak dari penguasa Tompo'tikka Turu'belae dengan permaisurinya We Padauleng). Berikut kutipannya: "Setelah tujuh hari tujuh malam berlayar tibalah mereka pada (pohon) PAO JENGKI, dekat lubang tempat air samudera terjun ke bawah." (...) - kalimat inilah yang kami maksudkan sebagai bagian dalam naskah I La Galigo yang menyebutkan informasi tentang topografi bawah laut

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Secara intuitif, kami langsung dapat mencermati bahwa kalimat "lubang tempat air samudera terjun ke bawah"tentulah merujuk sebuah palung atau parit bawah laut. Di wilayah Asia Tenggara, palung yang terdekat dari pulau sulawesi adalah Palung Filipina dan Palung Mariana.

Di antara kedua palung tersebut, dugaan kami kuat pada Palung Filipina, dengan pertimbangan alasan adanya penyebutan "Pao Jengki" yang disebutkan dekat dari lubang tempat air samudera terjun ke bawah.

Kami menganggap bahwa "Pao Jengki" yang dimaksudkan adalah sebuah toponim (nama wilayah), dengan demikian kami menganggap itu bukanlah nama pohon sebagaimana yang diduga berbagai pihak sebelumnya. Kami dapat memahami bahwa dugaan pemaknaan "Pao Jengki" sebagai pohon, timbul dari merujuk pada pertimbangan makna "Pao" dalam Bahasa daerah di Sulawesi Selatan yang berarti buah mangga.

"Pao Jengki" yang kami maksudkan sebagai suatu toponim merujuk pada keberadaan nama wilayah "Davao" di dekat palung Filipina. Pada peta yang kami lampirkan, terlihat bahwa kota Davao (Davao City) berada dalam teluk Davao, tetapi, bagian yang kami lingkari merah pun juga masih disebut sebagai pantai Davao timur (berada di Davao Timur). Dan dapat kita lihat pula bahwa tidak jauh dari partai Davao Timur terdapat Palung Filipina.

peta-pantai-timur-davao-5c5558b2c112fe1bbe242434.jpg
peta-pantai-timur-davao-5c5558b2c112fe1bbe242434.jpg
Dapat kita cermati bahwa secara tinjauan fonetis, antara kata "Pao" dan "Da-vao" jelas memperlihatkan adanya keidentikan.

Kami juga menduga bahwa suku kata da- di depan da-vao merupakan bentuk yang sama dengan "da" dalam bahasa Portugis, atau "da" / "de la" dalam bahasa Spanyol. Dugaan ini dapat dimungkinkan dengan mempertimbangkan bahwa Filipina adalah merupakan bekas jajahan Spanyol di masa lalu.

Sayangnya, pada Wikipedia kami mendapatkan etimologi Davao dijelaskan sebagai nama yang asal usulnya berasal dari Bagobo, yakni penduduk Asli Filipina. Dijelaskan bahwa kata Davao berasal dari campuran fonetik dari tiga nama subkelompok Bagobo yang bermukim pada sungai Davao.

Penduduk asli Obos yang mendiami daerah pedalaman wilayah itu, menyebut sungai "davah" (dengan akhir yang lembut, meskipun kemudian pengucapannya dengan huruf v atau b); kelompok Clatta (atau Giangan/Diangan) menyebutnya Dawaw, dan kelompok Tagabawas menyebutnya Dabo.

Penjelasan Etimologi yang tidak spesifik sebenarnya, karena jika dicermati, nama Davao dimaksudkan sebagai berasal dari nama sungai yang melintasi wilayah tiga subkelompok penduduk asli Filipina tersebut -- dengan demikian, jika dihadapkan pada teori Wilhelm von Humboldt : "...Suara-suara tidak menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya, dan makna ini mewujudkan pemikiran suatu komunitas." Maka bisa dikatakan bentuk penjelasan etimologi tersebut belumlah menyentuh makna mendasarnya.

Sementara itu, pertimbangan kami bahwa kalimat "...lubang tempat air samudera terjun ke bawah," merujuk pada palung Filipina, didasari pemahaman bahwa topografi palung ini merupakan parit bawah laut yang memiliki kedalaman hingga mencapai 10.540 meter, panjang sekitar 1.320 kilometer, dan lebar sekitar 30 km. (Deschamps, A.; Lallemand, S. (2003). "Geodynamic setting of Izu-Bonin-Mariana boninites". In Larter, R.D.; Leat, P.T. Intra-Oceanic Subduction Systems: Tectonic and Magmatic Processes. Geological Society, London, Special Publications. 219. pp. 163--185.)

Dengan topografi bawah laut yang demikian, dan dengan keberadaan Indonesia Throughflow; yakni arus laut yang bergerak dari samudera pasifik ke Samudera Hindia, disebabkan topografi permukaan laut yang lebih tinggi di Pasifik barat dari pada di Samudera Hindia - menggerakkan air dari pasifik utara melalui rute barat selat Makassar untuk langsung keluar melalui selat Lombok atau mengalir ke timur menuju laut Banda, maka rasanya dapatlah kita memahami mengapa naskah I La Galigo mengilustrasikannya dengan kalimat "...lubang tempat air samudera terjun ke bawah." --bahwa tentulah arus laut lintas Indonesia ini yang dimaksudkan sebagai yang "...terjun ke bawah."

 

Illustrasi Indonesian Throughfow. Sumber: jamstec.go.jp
Illustrasi Indonesian Throughfow. Sumber: jamstec.go.jp
Yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana proses orang-orang di zaman Naskah I La Galigo ditulis, dapat mengetahui bahwa di dasar laut tersebut terdapat palung. Yang dapat kita bayangkan tentulah orang-orang di masa itu telah terbiasa menyelam di wilayah palung tersebut.

Besar kemungkinan bahwa orang-orang Bajaulah pelaku penyelaman tersebut. Yang oleh Hui-lin  seorang leksikografer Buddhis dari Dinasty Tang, yang hidup sekitar tahun 649 M, membahas orang bajau dalam tulisannya:. "...Mereka adalah orang-orang barbar di pulau-pulau besar dan kecil, dari Laut Selatan (...) Mereka juga disebutkan unggul ketika mereka masuk ke air, karena mereka dapat tetap di sana sepanjang hari dan tidak mati" (Ketahanan di dalam air semacam ini sangat tepat dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang Bajau).

Kutipan selanjutnya yang penting untuk dibahas, dan kami anggap memang memiliki korelasi dengan analisa dia atas, adalah kalimat: "Kedua anak yatim puatu mengembara keliling dalam hutan belantara di Tompo'tikka. Tibalah mereka pada suatu sungai besar, yang memisahkan negerinya dari kerajaan Wewangriu', akan tetapi sungai itu terlampau lebar untuk dapat diseberangi oleh mereka..."

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)

Dalam kalimat ini disebutkan adanya sungai besar yang membatasi dua kerajaan yaitu antara Tompo'tikka dan Wewangriu'. Dengan mengasumsikan bahwa pao jengki adalah Davao dan lubang dibawah bawah laut yang dimaksud pada pada kalimat sebelumnya adalah palung/parit Filipina, maka selanjutnya kami mengasumsikan bahwa kedua wilayah kerajaan (Tompo'tikka dan Wewangriu') tentulah berada di dalam wilayah pulau Mindanao itu. Secara kebetulan terdapat beberapa sungai besar di Pulau Mindanao, seperti: 

1. Rio Grande de Mindanao
juga dikenal sebagai Sungai Mindanao. Membentang sepanjang sekitar 373 kilometer (atau 232 mil), berfungsi sebagai arteri transportasi penting di pulau itu. 

(sumber: https://triptheislands.com/)
(sumber: https://triptheislands.com/)

2. Sungai Agusan
Adalah sungai terpanjang ketiga di negara itu. Dari tenggara pulau, mengalir ke utara sejauh 350 kilometer untuk memasuki Teluk Butuan di Laut Bohol. Sungai melewati sejumlah komunitas termasuk Buenavista, Butuan dan Cabadbaran. dan mendukung kawasan hutan utama di Agusan.

(sumber: https://triptheislands.com/)
(sumber: https://triptheislands.com/)
3. Sungai Pulangi
Adalah sistem sungai yang luas di Bukidnon dan merupakan salah satu anak sungai Rio Grande de Mindanao. Itu berjalan melalui panjang 320 kilometer, berliku melalui Dataran Maapag di Kota Valencia dan banyak kota lainnya dari sumbernya di Barangay Kalabugao, Impasugong, Bukidnon. Sumber lainnya adalah Gunung Kalatungan, Pegunungan Kitanglad dan Gunung Dulang-dulang.

(sumber: https://triptheislands.com/)
(sumber: https://triptheislands.com/)
Namun, dengan mempertimbangkan sensitifnya perihal klaim tanah adat di pulau Mindanao antara orang Moro dan Lumad, maka kami memilih untuk tidak akan membahas batas wilayah antara kerajaan Tompo'tikka dan Wewangriu'.

Hal penting yang mungkin bisa disimpulkan dari uraian ini adalah bahwa kisah dalam naskah I La Galigo dapat diinterpretasikan sebagai penggambaran wujud kedekatan hubungan antara Luwu di Sulawesi, Wewangriu dan Tompotikka di Mindanao, dan Cina di daratan Cina.

Inilah empat toponim (nama wilayah) utama yang disebutkan dalam Naskah I La Galigo sebagai negeri di Dunia tengah yang penguasanya memiliki darah putih (sebagai turunan langsung dari dewata) yang sederajat satu sama lain.

Selama ini, dari ke empat nama wilayah utama yang disebut dalam Naskah I La Galigo (Luwu, Wewangriu, Tompotikka dan Cina) letak Wewangriu dan Tompotikka menjadi wilayah yang sangat kabur, tidak ada gambaran dimana letaknya.

Sementara letak Negeri Cina yang dimaksud dalam I La Galigo menjadi bahan perdebatan; antara pendapat bahwa negeri Cina yang dimaksud adalah yang ada daratan Asia, dan negeri Cina yang ada di pulau Sulawesi juga (yakni Cina Pammana).

Kedekatan hubungan Luwu Khususnya dan Nusantara pada umumnya dengan Pulau Mindanao di masa lalu dapat kita lihat dari adanya beberapa unsur budaya di pulau Mindanao dan pulau-pulau di sekitarnya yang memperlihatkan keidentikan dengan unsur budaya kita di Nusantara. Seperti dua diantaranya yang akan kami uraikan berikut ini... 

1. Pemukiman Tagalog yang bernama Tondo

Pemukiman Tondo ini memiliki bentuk fonetis dan makna yang sama dengan beberapa pemukiman kampung tua di Sulawesi Selatan yang juga menggunakan nama tersebut.

Dengan sejarah yang panjang sebagai pusat perdagangan, Tondo (Filipina) telah disebut dengan banyak bentuk nama dalam berbagai teks dan bahasa; disebut Tundo, Tundun, Tundok, Tung-lio, Tundaan, Tunduh, Tunda, serta Tong-Lao. Sementara itu, bentuk nama yang umum ditemukan di Sulawesi Selatan adalah; Tondo', Tondok atau pun Tondon.

Di Sulawesi Selatan, sebutan Tondok pada dasarnya dimaknai sebagai "kampung" yang umumnya berada di dataran tinggi.

Fakta untuk hal ini dapat kita lihat pada keberadaan letak kampung dengan nama Tondok di beberapa wilayah di Sulawesi Selatan berikut ini: Tondok di barat daya Bonoran, selatan Mengkepe dan sebelah barat Bone, berada di ketinggian 800 mdpl; Buntu Tondok, sebelah barat daya Bokin, utara Buntu Tallangsura dan selatan Buntu Pedamaran, Toraja utara, berada di ketinggian 1197 mdpl; Tondon di barat daya Tanete, di utara Saruran dan Tosik, Tana Toraja, berada di ketinggian antara 850-900 mdpl. 

Untuk nama Tondo di Filipina, Nick Joaquin, seorang penulis, sejarawan, dan jurnalis Filipina, mengusulkan bahwa itu mungkin referensi ke makna dataran tinggi, yang disebut "Tundok" (Joaqiun, Nick (1990). Manila, My Manila: A History for the Young. City of Manila: Anvil Publishing, Inc.), namun pemaknaan ini menjadi janggal karena Tondo berada tepat di tepi laut teluk Manila.

Catatan-catatan Spanyol yang paling awal menggambarkan Tondo sebagai "desa" yang lebih kecil, dibandingkan dengan pemerintahan Maynila yang dibentengi. (Blair, Emma Helen; Robertson, James Alexander, eds. 1903. Relation of the Conquest of the Island of Luzon. The Philippine Islands, 1493-1898. Ohio, Cleveland: Arthur H. Clark Company. p. 145.)

Secara budaya, orang-orang Tagalog di Tondo memiliki budaya Austronesia yang kaya (khususnya Melayu-Polinesia ), dengan ekspresi bahasa dan tulisan, agama, seni, dan musik sendiri yang berasal dari masyarakat paling awal di kepulauan ini ( Benitez-Johannot, Purissima: 2011).

Budaya ini kemudian dipengaruhi oleh hubungan perdagangannya dengan negara-negara Asia Tenggara Maritim lainnya. Terutama signifikan adalah hubungannya dengan dinasti Ming (Go, Bon Juan, 2005), Malaysia, Brunei, dan kekaisaran Majapahit , yang berfungsi sebagai saluran utama untuk pengaruh budaya India yang signifikan, terlepas dari lokasi geografis kepulauan Filipina di luar zona budaya India. (Osborne, Milton. Southeast Asia: An Introductory History. Australia: Allen & Unwin, 2004). 

Peta Tondo, dibuat oleh Francisco Xavier de Herrera lo Grab untuk Survei Tanah Manila, Tahun 1819. (Sumber: https://en.wikipedia.org)
Peta Tondo, dibuat oleh Francisco Xavier de Herrera lo Grab untuk Survei Tanah Manila, Tahun 1819. (Sumber: https://en.wikipedia.org)
2. Etimologi nama wilayah "Luzon"

Nama Luzon , yang dijelaskan oleh Potet adalah nama yang diberikan untuk daerah delta Sungai Pasig, diperkirakan berasal dari kata Tagalog lusong , yang merupakan lesung kayu besar yang digunakan untuk menumbuk beras... (Keat Gin Ooi, 2004. Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor).

Dalam Makalah penelitian PIDS 2008, Eulito Bautista dan Evelyn Javier memberikan illustrasi Lusong, dan menjelaskan bahwa: "Penggilingan tradisional dilakukan pada tahun 1900-an dengan menumbuk palay [beras] dengan alu kayu di batu atau mortir kayu yang disebut lusong .

Pukulan pertama melepas lambung dan selanjutnya menumbuk menghilangkan dedak tetapi juga merusak sebagian besar biji-bijian tetapi juga merusak sebagian besar biji-bijian. Menampi lebih lanjut dengan nampan bambu (bilao) memisahkan sekam/kulit dari butiran beras.

Tugas tradisional menumbuk dengan tangan ini, meskipun sangat melelahkan dan mengakibatkan banyak nasi pecah, membutuhkan dua hingga tiga pria dan wanita yang terampil untuk bekerja secara harmonis dan sebenarnya merupakan bentuk sosialisasi di kalangan anak muda. orang-orang di desa."

Sumber: wikimedia.org
Sumber: wikimedia.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun