Mohon tunggu...
Reza aka Fadli Zontor
Reza aka Fadli Zontor Mohon Tunggu... -

Bukan Siapa-siapa, Hanya seorang Pemerhati Masalah Politik dan Sosial Zonk.Fadli@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kontroversi Artikel “Waiting in The White House Looby”

8 November 2015   04:36 Diperbarui: 8 November 2015   05:29 1438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benarkah Jokowi membayar Konsultan Politik sebesar USD 80 Ribu Demi Bertemu Obama?

Sebenarnya isu-isu seputar berita yang menyebut Jokowi harus membayar makelar (konsultan politik) untuk kunjungannya ke AS beberapa waktu lalu itu jelas-jelas tidak masuk akal. Masa iya kunjungan resmi antara 2 kepala Negara membutuhkan Even Organizer ataupun perusahaan lobi?

Dari pernyataan resmi Kementrian Luar Negeri sudah menyatakan isu itu tidak benar. Presiden Jokowi nyata-nyata sudah 2 kali menerima surat undangan dari Presiden Obama untuk berkunjung ke Amerika Serikat. Tidak ada yang bisa diperdebatkan untuk hal ini akan tetapi isu-isu itu sudah terlanjur bertiup kencang sehingga gw berpikir untuk mencari asal-muasalnya. Salah satunya mungkin berasal dari artikel yang dipublish di Kompasiana oleh Imam Prasetyo yang berjudul Waiting in The White House Looby, Ketika Jokowi menggunakan Makelar Gedung Putih”. Tulisan ini dijadikan Headline oleh Admin.

Tentunya pembaca sudah paham betul bahwa Kompasiana ini adalah Blog Keroyokan atau Forum besar dari para Netizen dan Blogger dimana Kompasiana memang berinduk pada media Kompas tetapi Kompasiana bukanlah Media berita melainkan media social dalam bentuk Forum Diskusi yang beranggotakan ratusan ribu netizen maupun para Blogger.

Tulisan Imam Prasetyo itu secara garis besar terkesan sangat meyakinkan bahwa telah terjadi penggunaan jasa Calo (konsultan politik) untuk kepentingan lawatan Jokowi ke As untuk bertemu Presiden Obama beberapa waktu lalu. Calo atau konsultan politik ini katanya dibayar seharga USD 80 ribu (setara Rp.1,1 Milyar) dan diangsur sebanyak 4 kali.


Wah kalau benar seperti itu ya betapa memalukannya atau betapa rendahnya martabat bangsa ini dihadapan Negara Amerika Serikat. Gw jadi penasaran akan kebenaran isu-isu ini yang sudah heboh sekali di media-media social. Tetapi ada pikiran sepintas bahwa jangan-jangan isu-isu ini tidak benar sehingga perlu kiranya kita meneliti atau membedah artikel dari Imam Prasetyo ini.

Sekarang kita coba lihat apa yang ditulis Imam Prasetyo itu dimana dalam Aline Pertama menyatakan (gw kutip langsung ya): “Michael Buehler, dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies tidak main-main mengatakan adanya praktek makelar untuk bisa mendapatkan kesempatan melakukan kunjungan ke Gedung Putih”. untuk kepentingan lobi-lobi politik kepada pemegang kebijaksanaan di Amerika Serikat.

Selanjutnya pada Alinea Kedua, Imam menerangkan Kunjungan Jokowi ke AS itu dianggap seluruh rakyat Indonesia sebagai kunjungan yang mendadak. (seluruh rakyat Indonesia? :D). Imam juga menyebut Penyambutan kepada Jokowi tidak hangat. Padahal Indonesia adalah Negara Muslim terbesar di dunia tetapi Amerika tidak menyambut Jokowi dengan Upacara Militer dan lainnya. (rupanya ini membuat Imam Prasetyo cukup tersinggung).

Tetapi pada Alinea Ketiga, tiba-tiba Imam Prasetyo menyebut ada kata Tuduhan. Nah loh. Siapa menuduh siapa nih? Yuk kita lihat kutipannya. Dimana Imam menulis di Alinea Ketiga :

“Tuduhan dari Buehler tentu saja menimbulkan banyak spekulasi terkait 'dinginnya' penyambutan Amerika Serikat dan sangat tergesa-gesanya keputusan untuk berkunjung tersebut dibuat”. Hanya 80 menit waktu yang diberikan Obama untuk Jokowi mempresentasikan hal-hal yang tidak signifikan kecuali tudingan adanya upaya 'cari muka' pemerintahan sekarang untuk memperpanjang kontrak karya Freeport yang tengah digaungkan untuk dapat segera dihentikan karena tidak memberikan manfaat yang berarti bagi Papua atau Indonesia pada umumnya”.

Nah sampai disini gw mulai bingung kemana arahnya ini artikel. Ini artikel aneh dan sepertinya Imam Prasetyo ingin menjelaskan bahwa Michael Buehler telah menuduh Jokowi membayar Calo agar dapat berkunjung ke Amerika dan bertemu Obama. Imam menyebut ada banyak spekulasi dan ada tudingan Jokowi cari muka, Jadi siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Imam sebagai pihak-pihak yang berspekulasi? Dan siapa sih pihak yang menuding Jokowi cari muka untuk memperpanjang Kontrak Freeport? Heheheee.. aneh.

Seluruh Indonesia juga tahu kok, yang ngemis-ngemis minta perpanjangan Freeport itu ya Freeport sendiri. Rizal Ramli aja ditawarin uang Rp.2,6 Milyar agar bersedia memproses kontrak baru Freeport sementara masa kontraknya masih masih 6 tahun lagi, Loh kok malah dibalik dibilang Jokowi yang mengemis-ngemis minta Kontrak Freeport diperpanjang? Hahahaa.

Selanjutnya gw nggak bahas lagi artikel itu. Selain ingin focus darimana asal angka USD 80 ribu tersebut diatas, gw juga ingin tahu benarkah Michael Buehler telah menuduh Jokowi? Yang jelas arah artikel Imam hanya ingin mendiskreditkan Jokowi saja. Dan gw cek sumber tulisan yang ditautkan Imam Prasetyo ternyata berasal dari situs yang bernama New Mandala.

Situs New Mandala bukanlah sebuah situs Media Berita tetapi hanya merupakan sebuah Forum besar masyarakat seperti halnya Kompasiana yang sedang anda baca ini. New Mandala memberi ruang bagi para blogger, para akademisi, para pengamat politik dan lain-lainnya untuk menyampaikan opini mereka di situs ini, khususnya isu-isu yang sedang hangat di Negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Myanmar,Indonesia, Malaysia, Laos, Kamboja dan Singapura. Untuk Brunai, Timor Timur dan Vietnam kelihatannya situs ini tidak menyediakan. Jadi sekali lagi New Mandala adalah sebuah Forum dan bukan situs berita.

ISU BERAWAL DARI PENDAPAT SEORANG PENGAMAT POLITIK YANG DIPLINTIR?

Yang jadi pertanyaan gw adalah Imam Prasetyo itu sebenarnya membaca dan memahami tulisan yang ada di New Mandala atau tidak? Jangan-jangan dia nggak memahami tetapi hanya sekedar mengambil judul tulisannya dan membuat persepsi sendiri. Hehehee.

Gw udah baca artikel dari Michael Buehler, dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies, dan atas bantuan simbah Google gw jadi tahu terjemahannya yang kurang lebih menceritakan bahwa Michael Buehler membuat judul : “Waiting in The White House Looby” dengan sub judul : Mengapa Sebuah Konsultan Singapura Membayar USD 80 ribu pada Perusahaan Lobi Las Vegas Untuk Kepentingan Lobi Politik Indonesia?

Pengamat politik ini mengawali artikelnya dengan menyebut kunjungan Jokowi ke Amerika kurang bermanfaat selain hanya dalam tatanan Perdagangan, Kerja sama bilateral dan Pertahanan. Tetapi kemudian muncul berita mengejutkan bahwa Indonesia membayar perusahaan Lobi di Las Vegas untuk kunjungan Jokowi tersebut. Padahal kalau hanya pertemuan kedua Pemimpin dalam kapasitas pembicaraan biasa saja seharusnya hal itu dapat dilakukan oleh Kedutaan Besar Indonesia di Amerika tanpa harus melibatkan Perusahaan Lobi.

Buehler mengatakan dalam pengamatannya secara umum Kunjungan Jokowi disambut hangat dan sangat baik. (On all sides, the response to Widodo’s trip was lukewarm at best). Tetapi didalam negeri Jokowi diserang oleh Pihak Oposisi. Mereka mempertanyakan diversifikasi portofolio investasi asing di Indonesia senilai USD 13 Milyar dan Investasi asing untuk industry ekonomi kreatif sebesar USD 20 miliar. Sebelumnya juga pihak oposisi mempertanyakan bergabungnya Indonesia pada Kerjasama Trans-Pasific. Memang dalam setahun terakhir Pemerintahan Jokowi sering dikritik untuk berbagai kebijaksanaannya yang melindungi masyarakat. (mungkin maksud Buehler Kartu-kartu Jokowi).

Buehler melihat waktu yang diberikan Obama pada Jokowi terlalu singkat yaitu 80 menit. Sehingga tidak tercapai hasil yang maksimal dalam pertemuan tersebut. Begitu juga dengan pertemuan antar diplomat kedua Negara yang kurang berhasil karena tanpa persiapan yang matang sehingga tidak dapat menghasilkan sesuatu yang cukup berarti bagi kedua negara. Padahal kunjungan ini adalah kunjungan pertama Presiden RI dalam 10 tahun terakhir.

Buehler berpendapat ketidakberhasilan kunjungan Jokowi ke Amerika ini karena para bawahan Jokowi tidak mampu bekerja sama. Luhut Panjaitan sebagai Kepala Staff Presiden terlalu ambisius sehingga urusan Diplomatik yang sebenarnya merupakan teritori Departemen Luar Negeri yang dipimpin Retno Marsudi diambil alih Luhut. Luhut Panjaitan pada bulan Maret sebelumnya sudah ke Amerika untuk persiapan kunjungan Jokowi ini tetapi seharusnya persiapan seperti itu yang melakukannya adalah Retno Marsudi selaku Menteri Luar Negeri.

Ketidaksinkronan Luhut dan Retno akhirnya semakin rumit dengan beredarnya salinan Kontrak antara Perusahaan Konsultan Politik Singapura yaitu Pereira Internasional PTE LTD dengan Perusahaan Lobbi di Las Vegas yaitu R & R Partners, Inc. Kontrak itu ditanda-tangani oleh Sean Toner dari R&R Inc dan Derwin Pereira dari Pereira International. Pereira Singapura harus membayar sebesar USD 80.000 yang harus diangsur 4 kali sejak Juni hingga September 2015. Tagihan itu disebut berkaitan dengan kunjungan Jokowi ke AS beberapa waktu yang lalu.

Disisi lain setahu Buehler sebenarnya belum ada satupun bukti yang dimiliki oleh Pereira Internasional Singapur bahwa ada Pejabat Indonesia yang meminta layanan mereka untuk menghubungi R&R di Las Vegas yang terkait dengan Kunjungan Jokowi ke AS. Ini yang cukup mengherankan tetapi bukti kontrak antara kedua perusahaan itu memang ada.

Derwin Pereira sebagai pemilik Pereira International adalah lulusan London School of Economics and Political Science yang pernah bekerja di Singapura The Straits Times yang berkantor di Jakarta pada saat Jatuhnya Rezim Soeharto. Derwin kemudian sempat bekerja di Times Washington hingga akhirnya mendirikan perusahaan Pereira International, dimana Derwin mengklaim ke public bahwa dia sangat dekat dengan para petinggi-petinggi di Indonesia dan memiliki akses jauh ke dalam di Indonesia.

Derwin memang punya jaringan luas di Amerika dan dekat dengan pihak Kennedy School of Government Harvard, dimana jaringan mereka membantu mahasiswa Indonesia yang ingin belajar disana termasuk salah satu lulusannya adalah Agus Yudhoyono (anak SBY). Derwin juga pernah bekerja sama dengan Gita Wiryawan sewaktu masih menjadi Menteri Perdagangan dan bekerja sama dalam program Ancora Foundation.

Derwin Pereira juga ditengarai Buehler kenal baik dengan Luhut Panjaitan. Sewaktu kerja di The Straits Time Singapura Derwin pernah mewawancarai Luhut pada tahun 1999-2000 dan membuat beberapa artikel tentang tokoh-tokoh politik Indonesia.

Hal yang paling mencolok dari pengamatan Michael Buehler adalah Foto-foto yang ada di Situs Pereira International ternyata memiliki fitur Foto yang sama dengan Situs Toba Sejahtera yang merupakan situs perusahaan Tambang milik Luhut Panjaitan. Buehler meyakini antara Derwin Pereira dengan Luhut Panjaitan sudah berkali-kali bertemu.

Di sisi lain Michael Buehler menegaskan dalam Kontrak yang diajukan Pereira International ke Departemen Kehakiman AS tidak menyebut satupun pejabat Indonesia yang mempekerjakan Pereira International dan R & R Inc. begitu juga tidak ada bukti satupun bahwa Luhut Panjaitan pernah meminta Pereira International untuk membayar R & R inc di Las Vegas.

Dunia lobi taraf internasional setahu Buehler memang tidak akan pernah diketahui oleh public. Begitu juga dengan Las Vegas. Terlalu banyak yang tidak jelas di Kota Judi terbesar di Amerika ini.

KESIMPULAN

Bahwa tulisan dari Michael Buehler adalah Pendapat dari seorang Pengamat Politik Asia Tenggara dimana kebenaran dari informasi yang dimilikinya maupun analisis-analisisnya belum tentu benar. Tulisan itu ditulis di sebuah forum public dan bukan Situs Berita. Michael Buehler ini berstatus sebagai Penulis Tamu di New Mandala dan baru memposting dua artikel, yang pertama artikel Pilkada Langsung tanggal 30 September 2014 dan Waiting in The White House Looby tanggal 6 November 2015.

Michael Buehler tidak satupun memastikan ada pembayaran sebesar USD 80 ribu dari Pemerintah Indonesia kepada Perusahaan Singapura tersebut. Buehler juga memastikan tidak ada satupun nama pejabat Indonesia yang tertulis pada Kontrak lobi politik tersebut. Soal judul yang digunakan di artikel Buehler adalah Judul sebuah analisa. Michael Buehler sama sekali belum/tidak menuduh pemerintah Indonesia telah membayar USD 80 ribu kepada Pereira International tetapi hanya membicarakan analisa-analisanya.

Jelas sekali tulisan Kompasianer Imam Prasetyo itu mengada-ada. Kemungkinan besar Imam tidak membaca atau membaca tetapi tidak memahami artikel Michael Buehler sehingga membuat artikel yang tendensius. Bisa jadi Imam Prasetyo terpengaruh dengan Berita di Republika yang terkesan sama yaitu memastikan adanya pembayaran sebesar USD 80 ribu untuk lawatan Jokowi ke AS.

Demikian.

Sumber :

http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2015/11/06/waiting-in-the-white-house-lobby/

Berita Provokasi Republika

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/11/07/nxfh52334-bayar-80-ribu-dolar-as-jokowi-bertemu-obama-80-menit

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun