Mohon tunggu...
Fadilla Nurfi Azzahrin
Fadilla Nurfi Azzahrin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya

Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

5 Cara Menghadapi Duck Syndrome, Berpura-Pura Bahagia di Balik Masalah yang Dihadapi

18 Oktober 2022   19:05 Diperbarui: 18 Oktober 2022   20:01 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika menjalani kehidupan sehari-hari, kita pasti dihadapkan dengan situasi lingkungan sekitar yang banyak sekali persaingan, konflik, maupun tekanan. Situasi tersebut memaksa kita untuk untuk bisa merespons dan beradaptasi dengan baik. 

Bagi dunia generasi anak muda milenial zaman sekarang, mereka sedang berada pada titik semangat untuk mengejar cita-cita, on-fire dalam kuliah, menjalankan organisasi, kerja untuk mencapai target dan sebagainya. Kondisi yang terjadi memungkinkan bagi para generasi muda mengalami duck syndrome.

Di awal tahun 2010, istilah duck syndrome ini pertama kali dikemukakan oleh Adina Glickman seorang mahasiswa praktisi sukses Stanford University, Amerika Serikat. Yang mana istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan kondisi mahasiswa disana yang sedang bekerja keras sekuat tenaga mengampu pendidikan di Stanford University namun terlihat cool, santai, berjalan sangat mulus dan lancar. 

Mereka terlihat menyembunyikan kenyataan kegagalan dan penolakan di dunia akademis, memberikan harapan yang tidak realistis yang bisa berujung meningkatkan kemungkinan kelelahan, dan menurunkan produktivitas. Duck syndrome merupakan kondisi ketika seseorang yang terlihat baik-baik saja, akan tetapi ia menyimpan banyak tekanan dan tuntutan yang tidak diketahui oleh orang lain disekitarnya. 

Kondisi ini diilustrasikan dengan seekor bebek yang terlihat lincah dan berenang kesana kemari di atas air, padahal di bawah air ia berusaha mengayuh kakinya dengan sekuat tenaga untuk menjaga keseimbanganya agar tetap bisa seimbang di atas air. 

Situasi tersebut menggambarkan keadaan yang dialami pada kebanyakan anak muda. Jika dilihat dari penampilan ekspresinya yang cool, tenang, ketawa, akan tetapi dibalik itu mungkin banyak masalah yang dihadapi. 

Duck syndrome memiliki efek positif namun tidak jika terlalu berlebihan. Mereka yang masih berusia muda baik itu siswa, mahasiswa, maupun yang sudah bekerja bisa mengalami duck syndrome. Seseorang yang mengalami keadaan ini masih bisa melakukan kegiatan yang produktif dan beraktivitas seperti orang lain pada normalnya.

Apabila kita lihat salah satu kasus suicide Madison Holleran pada tahun 2015 silam, Madison atlet perempuan berusia 19 tahun . Madison berkuliah di University of Pennsylvania dan menjadi pelari di Upenn. 

Di dalam sosial media, gadis tersebut terlihat aktif dalam mengupload beberapa momen kebahagiaan yang sedang dirasakan. Padahal dibalik postingan kebahagiaan di instagram tersebut, Gadis cantik itu merasa tertekan karena media sosial, tanggung jawab yang dia miliki sebagai seorang atlet lari, program yang dia lakukan dari kampus, dan juga beban akademik yang dia dapatkan. 

Duck syndrome pada gadis berusia 19 tahun ini semakin terlihat saat ia gagal meraih juara pertama dalam pertandingan lomba lari. Dikala pertandingan itu ia menempati urutan 44 dari kurang lebih 100 peserta. "Mom, I am just not happy, I am not Right, something is not right" itulah kalimat yang ia katakan kepada ibunya ketika ia tidak berhasil menjuarai pertandingan tersebut. Namun, perkataan yang diucapkan terlihat sangat berbeda dengan perilaku yang dilakukan. 

Pada saat itu juga ketika berfoto, gadis itu memancarkan senyuman terbaik selayaknya peraih dalam pertandingan itu dan seakan tidak ada masalah yang dihadapi. Akan tetapi, akhirnya gadis itu tidak sanggup menahan semua tekanan yang dirasakan. Gadis tersebut meninggalkan sebuah pesan,  "I love you all.. I am sorry, I love you" sebelum akhirnya mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai 9.

Kasus Medison mirip dengan kasus Tegar Sinar Ramadhan mahasiswa UGM pada bulan lalu tepatnya hari Sabtu, 8 Oktober 2022 sekitar pukul 15.00 WIB. Mereka melakukan yang terbaik untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi tanpa terlihat dari luar. Mereka sebenarnya jatuh bangun agar permasalahan yang ada dan dialami dapat cepat teratasi dengan baik. 

Dari penampilannya masih terlihat lincah dan ceria tanpa beban. Akan tetapi, apabila kondisi tersebut terus diulangi dikhawatirkan akan mempengaruhi dari hasil kinerja atas apa yang dilakukan nantinya. 

Mereka selalu dihantui oleh rasa takut yang terus-menerus, menghadapi hambatan yang tidak disadari dan tidak dapat menemukan solusi untuk masalah mereka.

Duck syndrome memang belum diakui sebagai gangguan mental. Namun, jika kondisi ini dirasakan dan disertai dengan gejala lain, seperti merasa panik dan cemas, maka tentunya perlu ditangani dengan serius. 

Kondisi seperti ini terasa seperti terjebak dalam lingkaran setan dan mungkin sulit untuk melihat bagaimana tekanan tersebut bisa berakhir dan masalah kesehatan mental dimulai. Berikut tanda-tanda seseorang mengalami gejala duck syndrome :

  1. Tidak jelas dan bisa menyerupai gangguan mental lain, seperti depresi dan gangguan cemas

  2. Sering membandingkan diri dengan orang lain

  3. Menganggap dirinya sedang diperhatikan atau diamati dan diuji sehingga berusaha untuk menunjukan kemampuan yang dimiliki dengan sebaik mungkin

  4. Sering mengalami susah tidur, pusing, dan sulit untuk berkonsentrasi

  5. Merasa bahwa hidup orang lain sangat sempurna dan lebih baik

  6. Tertekan secara mental, tetapi memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja di depan umum.

Karena umumnya gejala duck syndrome ini terjadi pada seseorang yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya, masalah dan konflik dapat muncul ketika seseorang tersebut menunjukkan perasaan mereka yang sebenarnya. 

Selain itu, seseorang dengan gejala duck syndrome ini cenderung tidak mau untuk meminta bantuan kepada orang lain. Karena mereka akan merasa apabila bercerita dan meminta bantuan kepada orang lain akan dianggap gagal dan tidak mampu menyelesaikan masalah. Ada beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya duck syndrome, antara lain:

  1. Tekanan berlebihan yang didapat dari kegiatan akademik

  2. Merasa dituntut  oleh media sosial agar terlihat berhasil

  3. Tuntutan dari orang tua untuk terus berkompetisi dan mendapatkan nilai bagus 

  4. Faktor biologis, seperti neurotransmitter yang tidak normal pada otak, disertai gejala depresi dan kecemasan

  5. Trauma di masa lalu.

Namun, ada beberapa langkah yang harus dilakukan apabila mengalami kondisi ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas maka lakukanlah hal-hal berikut:

screenshot-928-634ea28660e28e493d60e5f3.png
screenshot-928-634ea28660e28e493d60e5f3.png
  1. Konsultasikan kepada ahlinya, baik itu konselor atau psikolog (open your self)

Lebih terbuka kepada orang yang tepat. Apabila ditelaah lebih mendalam setiap orang pasti memiliki pengalaman yang sama, hanya karena malu untuk berbicara dan takut terlihat buruk. Selagi dirasa tidak dapat menahan semua tekanan yang dialami, sesegera mungkin untuk datang ke psikolog untuk dilakukan penangan yang terbaik. 

  1. Kenali kapasitas diri, jangan melakukan sesuatu di luar kemampuan

Menggunakan refleksi metakognitif yang dipandu dan intervensi yang mendukung (seperti menciptakan seni untuk berbicara melalui perasaan gagal, menulis, dan saling

mendukung), mereka belajar bahwa kesalahan adalah bagian dari proses yang dapat membantu mengurangi hasil negatif. Membingkai ulang tantangan dan kegagalan. Apabila secara terus menerus belum bisa mencapai target dan apa yang ingin dicapai, mulailah untuk menurunkan standar. 

  1. Meluangkan waktu untuk berelaksasi agar bisa mengurangi tekanan

Luangkanlah waktu dalam seminggu untuk berelaksasi dengan diri sendiri bisa dengan menonton film, jalan-jalan, mendengarkan musik, atau apapun yang disenangi. 

  1. Belajar untuk mencintai diri sendiri

Cintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain. Terlihat mudah didengar namun masih banyak yang sulit untuk melakukan. Belajar untuk mencintai diri sendiri akan membawa ketenangan, kedamaian, merasa bangga. Salah satu kunci seseorang tetap bahagia adalah dimulai dengan mencintai diri sendiri. 

  1. Fokus terhadap pencapaian diri sendiri

Berhentilah membandingkan diri dengan orang lain, terutama dengan sosial media merupakan tempat yang paling menipu. Karena semua orang akan menampilkan sesuatu yang terbaik, sehingga hal tersebut membuat kita terbawa untuk bisa menjadi seperti mereka. Hal tersebut akan memperparah keadaan, maka tetaplah bersyukur dan fokus terhadap diri sendiri.

Perlu diingat bahwa kondisi duck syndrome ini belum diakui secara resmi menjadi salah satu gangguan mental namun hanya gejala atau sindrom. Meskipun mungkin ada beberapa hal yang terjadi dalam hidup yang kita sendiri tidak mampu untuk mengendalikannya, masih ada banyak hal-hal sederhana yang bisa dilakukan untuk mengelola berbagai tekanan yang dialami dari hari ke hari. 

Kasus yang terjadi pada gadis Medison menggambarkan bahwa duck syndrome sangat membutuhkan perhatian karena dengan berpura-pura baik saja akan membuat seseorang menjadi lebih cemas, depresi, tidak percaya dengan kemampuan pada diri sendiri. Apabila tidak ditangani, duck syndrome ini bisa menjadi depresi berat hingga melakukan hal yang membahayakan diri sendiri seperti self harm dan suicide. 

Berpura-pura bahagia itu tentunya tidak menyenangkan, maka jangan biarkan keadaan itu membelenggu diri kamu sendiri. Serta kita harus mendukung orang yang ada disekitar kita untuk menceritakan apa yang sedang dirasakan agar tidak dipendam sendirian dan dengan harapan duck syndrome tidak terjadi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun