Mohon tunggu...
fadila seohan
fadila seohan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Seorang reviewer buku yang menyenangi kegiatan menulis di beberapa platform menulis. Manusia yang sudah pasti akan berbuat salah dan akan selalu jadi pemula dalam berbagai hal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Silu

1 Agustus 2024   08:10 Diperbarui: 1 Agustus 2024   08:14 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak berdaya seorang Nirmala yang harus menerima kehilangan sebelah sayap pelengkap miliknya yang dulu masih separuh. Tak ada cacat dalam ingatnya perihal sang separuh sayap berdiri dihadapannya dengan sebelah tangan mencoba disembunyikan dibelakang tubuh tegapnya namun gagalnya barangkali disebabkan benda kecil yang diyakini Nirmala akan jadi miliknya tak lama lagi.

"Gadisku, jikalau berkenan engkau menjadi wanita dimata dan hatiku..." Suara hati yang makin bertalu dan wajah yang terasa makin panas tak kuasa dihalaunya hingga mengalihkan pandang dilakukannya sebagai upaya menahan gemuruh yang menggerusuk. Manakala jemari lentiknya dibawa mendekat oleh jemari yang terasa kasar namun menawarkan penjagaan yang juga menyamankan menuju sumber dentum lainnya, lupa jua sang Nirmala dengan perkara debar dan wajahnya yang makin memanas. Matanya telanjur memaku dan pantulan sang pemilik separuh saya ditawannya dalam pasang netra miliknya

Tanyanya kemudian mengundang isak haru "Ingin aku melihat kemilau benda ini di jemarimu. Mulai dari saat ini hingga penghabisan masa kita di bumi Tuhan" Dan seperti kisah yang telah mengudara dalam layar kaca dan jejaring sebatas layar gawai, anggukan telah cukup menjadi jawaban tanpa kata yang mengilhami terbitnya senyum dari sepasang insan yang kemudian saling mendekap.

Sebentar lagi rasanya akan lengkap...

Keduanya memainkan kakinya membuat riakan air dan kecipak yang tak kalah merdu daripada kicau beberapa burung yang seolah dipesan oleh semesta untuk meramaikan nada bahagia yang saling berbalas dari pemilik sepasang sayap. 

"Kapan mas punya waktu untuk mengabarkan niatmu ini kepada seisi rumahku?"

"Jikalau tak menemui halangan, pekan depan hendakku bertamu. Boleh?"

"Esok pun kala ayam jagonya tetanggaku berkokok, engkau datang mengetuk pintu, tak keberatan rasanya aku" Candanya. Tentu saja sang pemilik separuh sayap mengerti akan hal tersebut namun tak tahan juga ingin menjahili sang Nirmala dengan satu cubitan pelan pada pucuk hidungnya hingga sang Nirmala mencebik sementara sang pemilik sebelah sayap tertawa kencang.

Hari itu ditutup dengan sepasang kaki-kaki yang sesekali menciptakan riak, kepala saling bersandar, dan senyum yang tak ikut berlalu bersama sang Bagaskara.

Nirmala memiliki bibir berwarna merah yang terkadang mencuri perhatian dari sang pemilik separuh sayap. Mata, hidung, dan rupa yang melengkapi keindahan khas yang membuat beberapa mata memujanya telah menjadi kepunyaan satu orang di muka bumi. Benda berkilau di jemarinya dirasa cukup untuk mempertegas batasan bagi siapapun yang ingin berkompetisi memenangkan hatinya.

Namun, seberapa kuatnya daya sebuah benda mungil berkilau itu untuk menjaga takdirNya bergulir dan menggulingkannya hingga kata sakit pun tak lagi cukup menarasikan rasa setelahnya?

"Mengapa harus semesta yang memupus harap yang telanjur terbangun oleh insan macam aku?"

Selepas menutup kebersamaan, sebelah sayapnya berpamitan dengan satu senyuman yang amat menyita atensi sang Nirmala, bahkan nyaris mengalami kealpaan dalam upaya mengendalikan diri jika tak ada beberapa pasang kaki yang melangkah di sekitaran dan denting serta pelontang yang menyemarakkan malam memperdengarkan sebuah usaha memanggil perut yang lapar untuk menyantap nasi goreng dan jualan lainnya. 

Hubungan mereka dijalankan dengan berlandaskan santun namun tak melupakan pemahaman adanya bara yang terkadang bagai terkena embus angin hingga menyulut api gelora yang memacu romansa. Memahaminya membuat keduanya secara tak tertulis menetapkan batasan tertinggi yakni embusan napas yang tak boleh terendus dekat oleh indera penciuman juga bibir namun tak masalah jika dahi dan pipi dibuat geli karena sensansinya. Cukup. Untuk memberi warna pada hubungan mereka saat itu.

Nirmala menatap sang sebelah sayap dengan kemelut yang membuatnya enggan untuk mengulurkan jemarinya. Ada hampa yang mendadak terasa menghujam hingga membuatnya tak cukup berbesar hati untuk melepaskan jemarinya dari lengan sang pemilik sepasang sayap. Demikian yang terukir di wajah ayunya juga terefleksikan di rupa sang pemilik sepasang sayap. Keduanya enggan namun ingin itu masih tersekat oleh sederetan sabda yang dilontarkan masing-masing orangtua mereka sehingga dengan menanggung nyeri bersumber dari sanubari keduanya lantas saling merelakan tautan memburai.

Namun sebelum mengakhiri dengan satu pisah, sang pemilik sebelah sayap menoleh. Bunga sedap malam di sekitar halaman indekos yang menyeruak aromanya menambah warna di keadaan yang merekahkan senyum di wajah sang nirmala. "Saya mencintainya"

"Siapa?" Tanya sang Nirmala, dengan harapan memperpanjang kebersamaan

"Makhluk Tuhan yang sekarang berdiri dihadapan saya"

Sang Nirmala masih tersenyum dan membuat rupanya makin terlihat menawan "Saya ingin tahu siapa dia"

Barangkali malam yang semakin larut, sang pemilik sebelah sayap hanya tersenyum dan berkata dengan lirih "Seseorang yang kata Gusti Allah akan menjadi teman terdekat saya, sebentar lagi"

.

.

.

Langkah yang tertatih, barangkali akibat tak kuat menahan sensasi perih serta terbakar dari kulit kaki yang langsung menyentuh permukaan aspal dan sesekali muka tanah penuh kerikil. Semestinya keadaan itu lebih dari cukup untuk mematahkan asa dari seorang nirmala yang memang tak lagi mampu dibuat penuh namun rupanya yang menyiksa ragawi tak menyurutkan energi yang dipantik momentum patah hati yang menyiksa dengan sangat. 

Sang nirmala masih tetap melangkah walau dengan kecepatan yang semakin melamban dan mulai menyita perhatian beberapa pasang mata terutama karena warna kemerahan yang cukup pekat mulai membentuk aliran diantara guratan yang mulai muncul beberapa. Beberapa diantaranya bahkan menyempatkan untuk menelusur karena barangkali mendapati beberapa pasang kamera yang dipasang untuk keperluan pengambilan gambar.

Namun, sang Nirmala sedang melawan kenyataan. Barangkali hampir mirip dengan seorang yang tengah berlakon namun yang ini tak diupah dan tidak pula mengikuti arahan dari siapapun. Hanya kehilangan yang menuntun sang Nirmala saat ini. Mungkin juga, sedikit keinginan yang terlihat tak waras sebab menyalahi aturan.

"Saya pikir perlu untuk membicarakan hal ini denganmu, sayangku"

Tak sampai hati menolak halus kedatangan sang pemilik sepasang sayap yang terlalu pagi untuk pasangan yang semalam baru saja mengucap selamat malam dan lanjut mendengarkan celotehan masing-masing hingga salah satu terlelap. Sang Nirmala baru mampu terlelap dua jam sebelum ayam berkokok dan pemilik sepasang sayap datang pada waktu tukang bubur meninggalkan sebentar gerobaknya sebab ingin dhuha katanya.

Sesal terpancar dari sorot mata sang pemilik sepasang sayap. Dia tahu betul bahwa obrolan yang rada ngalor ngidul mereka lewat gawai menghabiskan waktu yang cukup mengganggu sirkulasi tidur mereka terutama sang nirmala yang berupaya keras menahan kantuk. Walaupun tak tega, dia bertekad untuk tetap membicarakan hal penting ini dengan perempuan yang ada dihadapannya kini.

"Jujur, ini masih begitu pagi untuk membicarakan hal yang serius, sayang. Tapi dari waktu kedatanganmu, rasanya ini bukan perkara merindu,kan?"

Anggukan lemah terlihat dari sang pemilik sepasang sayap. Meski berupaya menyamarkan namun bersamanya dalam waktu yang tak sebentar membuat sang nirmala terpantik kepercayaan dirinya terkait pengetahuannya dalam hal menafsirkan gelagat lawan bicaranya.

"Saya mungkin akan ditugaskan selama beberapa waktu...Mungkin sebelum jumpa pertama dengan keluarga besarmu, sayang"

"Khawatirkah dirimu dengan kemungkinan..."

"Ya. Kekhawatiran yang ada di pikiranmu"

Sang nirmala memejam,berupaya dengan keras dan senyap agar tak perlu memperbesar khawatir yang ternyata menyusup dalam dirinya. Namun, kepastian yang hanya milik Sang Khalik, barangkali membantu sang pemilik sepasang sayap agar lekas terlepas dari tugas dinas. Harapan itu membantu meninabobokan khawatir yang mulai berupaya mengukuhkan kekuatannya.

"Tak apa, pergilah. Seorang abdi negara harus rela membagi waktu untuk kekasihnya demi sebuah kesetiaan,bukan? Sungguh, saya tak mengapa jika pun pertemuanmu dengan keluarga besarku tertahan selama beberapa waktu"

Terdengar sungguh-sungguh ucapannya, namum barangkali hanya itu yang mampu diusahakan tanpa harus menambah beban pikiran dari sang pemilik sepasang sayap. Dan rupanya manjur, sebersit cahaya dari mata yang mampu menawan sang nirmala kembali terlihat. Lega dirasakannya, menepis banyak pemikiran buruk yang barangkali isyarat di waktu akan datang...

"Nantikan aku pulang. Yah?"

"Tanpa perlu kau meminta. Aku pastikan akan"

  "Cinta?"

"Membersamai penantianku"

Jalanan tak kunjung merengut keramaian tetapi mengempaskan sunyi dengan kedatangan para penjajal jualan beraneka ragam. Sorak sorai hingga tawa yang teredam deru kenderaan yang berlalu lalang tak mampu diurai oleh hening yang barangkali diingini sebagaian orang, sang nirmala antaranya. 

Harapnya adalah ketiadaan siapapun selain dirinya sendiri,pada saat itu. Kiamat yang terkonsep adalah musnahnya para pengharap beserta harapan-harapan yang barangkali harus diberanguskan sejak lama. Tetapi, ketiadaan yang dimaknai sang nirmala jauh didalam relung dan tak sanggup meratakan semua yang berdetak namun sanggup mengubah dunia dari sepasang mata miliknya. Kini di dunia yang terbatas oleh pasang matanya, dunia tak lagi beraneka warna tetapi monokrom.

Banyak pasang mata mengunci pandangan mereka pada sosok sang nirmala yang ternyata membawa serta benda panjang yang ujungnya tenggelam diantara batas nadi dengan permukaan kulit yang memucat. Beberapa yang melihatnya dibuat meringis, beberapa tak manpu menyuarakan sepatah dua patah suara kata karena mungkin sesama wanita dilarang norma untuk berkomentar, sebagian lagi ingin menghampiri namun tak ingin menjadi obyek sasaran pandang yang lain. Empati dan norma terkadang berselisih dalam benak masing-masing orang.

Sementara sang nirmala masih berjalan dengan jantung berdetak, namun dalam dunia yang kiamat ketika episode kehilangan mendera...

"Gimana nduk? Nomornya masih belum bisa dihubungi?"

 Perhatian lewat sepatah dua patah kata menjelma tanya dari sosok ibu membuat sang nirmala tak kuasa menabirkan muram sedih yang khas dari sepasang bola matanya. Didepan sang ibu, titik air mata mulai terbentuk dan beberapa jatuh membentuk aliran kecil di wajahnya yang ayu. Tubuh sang ibu didekapnya dan lirih dia berkata "aku khawatir,bu"

"Sabar yah nduk. Banyakin doa buat kekasihmu"

"Iya bu"

Lewat nasihat itu, kepala hingga ujung kakinya kini terbasuh aliran air jernih suam kuku yang menjadi syarat dalam bersuci sebelum menghadapnya. Air yang mengalir menyamarkan keberadaan airmata yang masih tak kuasa tuk disudahi. Dalam gerak yang khidmat dan penuh arti sejak adanya pintah untuk menirukan gerakan tersebut sebagai kewajiban saat menghadapnya, didalam keyakinan tertentu, bibir yang melapalkan doa tak mampu menahan gemetar hingga pecahlah tangis pada sujud terakhir.

"innalillahi wa inna ilaihi radjiun"

Satu seruan senada yang terdengar dari ruang tengah keluarga. Tak enak firasat sang nirmala, sehingga mengkuti suara hati, sepasang kakinya berlari mendekati ruang tersebut. Ibunya berbalik dan mendekap erat tubuh sang putri.

"Berita hari ini...Peristiwa kerusuhan yang melibatkan para pendukung dari olah raga yang digemari para masyarakat Negara ini menyita perhatian sekaligus duka mendalam. Tak hanya menghilangkan sorak sorai gembira, tetapi juga menghilangkan para abdi Negara di garda depan pembela tanah air. Salah satu yang terindentifikasi adalah seorang anggota kesatuan muda, bernama Dirgantara Respati Riandi"

Dan kepergiannya, sampai hari ini, masih dirapati oleh sang nirmala. Sebelah sayapnya telah benar-benar menjadikan dunia kiamat dimata sang nirmala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun