Sementara sang nirmala masih berjalan dengan jantung berdetak, namun dalam dunia yang kiamat ketika episode kehilangan mendera...
"Gimana nduk? Nomornya masih belum bisa dihubungi?"
 Perhatian lewat sepatah dua patah kata menjelma tanya dari sosok ibu membuat sang nirmala tak kuasa menabirkan muram sedih yang khas dari sepasang bola matanya. Didepan sang ibu, titik air mata mulai terbentuk dan beberapa jatuh membentuk aliran kecil di wajahnya yang ayu. Tubuh sang ibu didekapnya dan lirih dia berkata "aku khawatir,bu"
"Sabar yah nduk. Banyakin doa buat kekasihmu"
"Iya bu"
Lewat nasihat itu, kepala hingga ujung kakinya kini terbasuh aliran air jernih suam kuku yang menjadi syarat dalam bersuci sebelum menghadapnya. Air yang mengalir menyamarkan keberadaan airmata yang masih tak kuasa tuk disudahi. Dalam gerak yang khidmat dan penuh arti sejak adanya pintah untuk menirukan gerakan tersebut sebagai kewajiban saat menghadapnya, didalam keyakinan tertentu, bibir yang melapalkan doa tak mampu menahan gemetar hingga pecahlah tangis pada sujud terakhir.
"innalillahi wa inna ilaihi radjiun"
Satu seruan senada yang terdengar dari ruang tengah keluarga. Tak enak firasat sang nirmala, sehingga mengkuti suara hati, sepasang kakinya berlari mendekati ruang tersebut. Ibunya berbalik dan mendekap erat tubuh sang putri.
"Berita hari ini...Peristiwa kerusuhan yang melibatkan para pendukung dari olah raga yang digemari para masyarakat Negara ini menyita perhatian sekaligus duka mendalam. Tak hanya menghilangkan sorak sorai gembira, tetapi juga menghilangkan para abdi Negara di garda depan pembela tanah air. Salah satu yang terindentifikasi adalah seorang anggota kesatuan muda, bernama Dirgantara Respati Riandi"
Dan kepergiannya, sampai hari ini, masih dirapati oleh sang nirmala. Sebelah sayapnya telah benar-benar menjadikan dunia kiamat dimata sang nirmala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H