"Jika pornografi mulai dianggap lebih sensual dibandingkan seks, bisakah tayangan sepakbola kini dianggap lebih sporty dari sepakbola itu sendiri?" (hal. 53)
Tulisan ini saya awali dengan pertanyaan yang menjadi kalimat pertama di tulisan dalam sub bab yang berjudul "Simulakra Sepakbola" di buku karya Zen RS yang berjudul Simulakra Sepakbola. Yap, memang judul buku ini diambil dari judul tulisan dalam sub bab yang ada di dalamnya, Simulakra Sepakbola.
Buku karya Zen RS ini terbit pertama kali pada 2016 yang diterbitkan oleh penerbit Indie Book Corner yang bermarkas di Yogyakarta. Saya lupa bagaimana ceritanya saya bisa mendapatkan dan membaca buku ini. Pasalnya, saya merasa tidak pernah membeli buku ini. Seingat saya, yang membawa buku ini tiba-tiba ada di tumpukan koleksi buku-buku saya adalah kakak pertama saya.
Saat pertama kali ngeuh ternyata ada buku ini di tumpukan koleksi buku-buku saya, tentunya saya cukup antusias untuk melahapnya. Pertama kali saya membaca buku ini yaitu---kalau tidak salah---pada kuartal keempat tahun 2019, saat awal-awal masuk kuliah. Sebagai penggemar olahraga sepakbola, buku ini cukup berhasil membuat kepala saya menguap. Bukan karena saya tidak mengerti isinya, justru karena isinya berhasil memberikan banyak insight bagi saya karena buku ini sangat bernas. Saat pertama kali menamatkan buku ini, saya memiliki niatan untuk membacanya kembali dengan maksud agar bisa lebih mencerap isi dari buku ini. Akhirnya niatan tersebut bisa terlaksana setelah lima tahun kemudian. Mantap...
Kutipan Jean Baudrillard
Kembali ke pertanyaan di atas. Jika pornografi mulai dianggap lebih sensual dibandingkan seks, bisakah tayangan sepakbola kini dianggap lebih sporty dari sepakbola itu sendiri? Pertanyaan ini bukanlah miliki saya, melainkan milik pencipta buku ini, Zen RS.
Sebenarnya pertanyaan "...bisakah tayangan sepakbola kini dianggap lebih sporty dari sepakbola itu sendiri?"Â yang diajukan oleh Zen RS merupakan jukstaposisi dari kutipan Jean Baudrillard yang berbunyi "pornografi lebih sensual ketimbang seks itu sendiri". Menurut Baudrillard, pornografi bisa membuat candu banyak orang ketimbang aktivitas seks itu sendiri karena batas antara realitas dan yang bukan realitas itu sudah tidak ada bedanya.
Dalam memahami gagasan Baudrillard yang satu ini, dia memperkenalkan dua kata kunci yaitu "simulasi" dan "simulakra". Simulasi adalah proses di mana gambaran (yang mewakili) atas suatu objek justru menggantikan kedudukan objeknya itu sendiri. Dalam hal seks, yang mewakilinya adalah pornografi. Ketika seseorang sudah kencanduan pornografi, dia akan terlarut dalam kegiatan fantasi seksual yang tidak nyata alih-alih melakukan aktivitas seksual yang nyata.
Sedangkan, simulakra adalah istilah untuk menyebut ruang sosial di mana proses simulasi macam itu berlangsung. Dalam hal pornografi, fantasi seksual yang tidak nyata biasanya dinikmati melalui jaringan internet yang dapat diakses menggunakan alat elektronik seperti gawai, laptop, komputer, dan lain sebagainya.
Sepakbola sebagai tayangan VS sepakbola sebagai pertandingan
Dalam buku ini, dewan direksi Pandit Football Indonesia ini memisahkan antara "sepakbola sebagai tayangan" dan "sepakbola sebagai pertandingan". Sepakbola sebagai tayangan dinikmati melalui siaran televisi---atau streaming di internet, sedangkan sepakbola sebagai pertandingan dinikmati langsung dari stadion. Penikmat sepakbola sebagai tayangan disebut dengan "pemirsa", sedangkan sepakbola sebagai pertandingan disebut dengan "penonton". Kang Zen, sapaan akrab beliau, cukup jelas memisahkan dua hal ini untuk membawa pembacanya agar memahami gagasan-gagasan selanjutnya.
Pengalaman menikmati sepakbola antara pemirsa dan penonton tentunya akan berbeda sama sekali. Pemirsa yang menikmati sepakbola melalui siaran televisi atau streaming hanya melihat sepakbola sebagai suatu "penampilan", karena mereka hanya melihat sepakbola yang disuguhkan oleh tangkapan kamera yang ada di stadion dan ditampilkan melalui layar kaca. Mereka tidak bisa melihat permainan sepakbola secara utuh karena pada umumnya televisi hanya menampilkan pemain dan situasi yang berada di dekat bola saja. Hal tersebut yang membuat sepakbola sebagai tayangan menjadi suatu penampilan yang sepotong-sepotong. Pemirsa tidak bisa melihat apa yang dilakukan oleh Arhan (di sisi kiri) ketika Asnawi (di sisi kanan) sedang menggiring bola untuk menusuk jantung pertahanan lawan.
Berbeda dengan penonton yang menikmati sepakbola secara langsung dari stadion. Mereka tentunya bisa lebih leluasa dalam menikmati sepakbola sebagai "permainan". Penonton di stadion tidak hanya bisa melihat sepakbola dalam waktu 90 menit saja, tapi mereka juga bisa melihat para pemain ketika melakukan pemanasan sebelum sepak mula, maskot tim yang menghibur dengan aksi lucunya, para anak gawang yang sering melakukan aksi caper, dan kejadian tidak terduga lainnya yang mungkin terjadi di dalam stadion. Selain itu, tentunya penonton yang berada di stadion akan merasakan emosi dan atmosfer pertandingan secara langsung, bahkan beberapa di antara mereka justru yang menciptakan emosi dan atmosfer tersebut. Beberapa hal itulah yang tidak bisa dialami secara leluasa oleh pemirsa yang berada jauh dari stadion.
Kendati demikian, bukan berarti sepakbola sebagai tayangan kalah pamor dengan sepakbola sebagai pertandingan. Ada beberapa banyak hal yang membuat sepakbola sebagai tayangan memiliki daya tarik tersendiri yang mampu memberikan pengalaman yang bisa saja menyamai---bahkan melampaui---pengalaman menyaksikan sepakbola secara langsung dari stadion.
Dalam tayangan sepakbola, bukankah anda bisa melihat dengan jelas bagaimana bola hasil sepakan kaki kiri Lionel Messi melesat dengan sangat indah merangsek masuk ke sudut kanan atas gawang yang dijaga oleh Alisson Becker? Bukankah anda bisa melihat bagaimana kaki Sadio Mane yang terangkat tinggi menghantam wajah Ederson Moraes dengan begitu kencangnya? Bukankah anda bisa melihat bagaimana aksi Yakob Sayuri yang berhasil me-nutmeg pemain Irak dan kemudian mengirimkan umpan yang pada akhirnya dikonversikan menjadi gol oleh sontekan indah Marselino Ferdinan? Bukankah anda bisa melihat bagaimana Emiliano Martinez yang membentangkan tangan dan kakinya untuk melakukan save dari tendangan Kolo Muani? Momen-momen tersebut semakin terasa dramatis dan eye catching serta satisfying ketika ditampilkan dalam tayangan dengan gerakan slow motion dan kualitas tayangan yang high definition (HD).
Kualitas tayangan sepakbola seperti itulah yang menjadi keunggulan dari sepakbola sebagai tayangan. Pemirsa yang berada jauh dari stadion disuguhkan dengan tampilan detail-detail yang luar biasa. Mereka bisa melihat dengan sangat jelas ekspresi pemain yang sedang melakukan selebrasi, potongan rumput yang terangkat ketika pemain melakukan tackle, buliran keringat yang menempel di dahi pemain, dan detail-detail lain yang menimbulkan perasaan satisfying. Dalam hal ini tentunya membutuhkan teknologi kamera yang super canggih untuk menangkap momen-momen eye catching yang nantinya dikirim dan ditayangkan melalui televisi.
Bukan hanya memanfaatkan teknologi kamera yang super canggih, tayangan sepakbola juga berusaha untuk mengirimkan emosi dan atmosfer pertandingan yang berlangsung di stadion ke tempat yang berada jauh dari stadion. Usaha tersebut dilakukan dengan cara menempatkan mikrofon super canggih di beberapa sudut lapangan dan tribun. Mikrofon tersebut memiliki tingkat kepekaan yang cukup tinggi sehingga tidak hanya teriakan para pemain saja yang bisa terdengar, tapi gemuruh penonton atau supporter yang berada di stadion juga bisa dirasakan oleh pemirsa yang berada jauh dari stadion.
Penggemar Liverpool yang sedang nobar di Ciputat pasti akan ikut merinding ketika You'll Never Walk Alone berkumandang di Anfield, penggemar Timnas Indonesia yang sedang nobar di Sarolangun pasti akan ikut terharu bahkan menangis ketika Indonesia Raya dinyanyikan di pentas Piala Asia. Belum lagi chants yang dilantangkan oleh para suporter di stadion yang mampu membuat pemirsa bisa merasakan emosi dan euforia pertandingan.
Kecanggihan teknologi yang digunakan dalam tayangan sepakbola tujuannya untuk mentransfer atmosfer di stadion ke mana pun pemirsa berada. Oleh sebab itu, para pemirsa yang berada jauh dari stadion pun tetap bisa merasakan apa yang dirasakan oleh penonton yang berada di stadion. Menurut Zen RS, hal tersebut sudah menjadi standar televisi untuk bisa menangkap dan mengirimkan semua momen yang ada di stadion ke layar kaca. Pemirsa yang ada di mana pun dikondisikan untuk bisa merasakan atmosfer dan emosi yang sama dengan para penonton di stadion. Apa yang terjadi di stadion sebisa mungkin harus bisa dirasakan oleh mereka yang menyaksikan jauh dari stadion.
Dalam taraf tertentu, tayangan sepakbola bahkan bisa melampaui pertandingan sepakbola itu sendiri. Pasalnya, bukan hanya mampu menampilkan tayangan yang eye catching dan satisfying, tayangan sepakbola juga mampu menampilkan data statistik yang lengkap dalam suatu pertandingan. Suryono yang berada di Wonogiri bisa tahu berapa kali Sergio Ramos melakukan interceps, Asep yang berada di Rancaekek bisa tahu jumlah shoot yang dilesatkan oleh Bukayo Saka, Antonius yang berada di Serui bisa tahu berapa banyak Andrea Cambiaso mengirimkan croosing dari sisi kanan.
Tampilan data statistik seakan-akan membuat paripurna tayangan sepakbola. Maka bukan suatu hal yang aneh jika banyak orang yang lebih tergoda untuk menyaksikan tayangan sepakbola daripada datang langsung ke stadion untuk menonton pertandingan sepakbola.
Fenomena ini memunculkan batas antara yang riil dengan yang tidak riil menjadi kabur. Susah membedakan antara yang realitas dengan yang bukan realitas. Pengalaman menyaksikan sepakbola sebagai pertandingan dengan pengalaman menyaksikan sepakbola sebagai tayangan sudah tidak ada bedanya.
Menurut Kang Zen, ketika tayangan sepakbola mampu menggantikan sepakbola yang dimainkan di stadion, ini sama seperti ketika pornografi menjadi lebih sensual dari aktivitas seks itu sendiri. Dalam pemikiran Baudrillard, hal ini terjadi karena adanya praktik simulasi; ketika gambaran (yang mewakili) suatu realitas justru menggantikan realitas itu sendiri; pornografi bisa lebih menggoda ketimbang aktivitas seks itu sendiri; tayangan sepakbola lebih menggairahkan ketimbang permainan sepakbola langsung di stadion.
Jukstaposisi: memandang sepakbola lebih luas
Secara keseluruhan, isi dalam buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan beliau yang pernah dipublish di media lain. Namun, dalam buku ini sudah disempurnakan sedemikian rupa. Membaca buku ini membuat saya semakin luas dalam memandang sepakbola. Pasalnya, Zen RS tidak memandang sepakbola hanya sebagai suatu pertandingan, tidak memandang sepakbola hanya dalam waktu 90 menit, tidak memandang sepakbola sesempit menang atau kalah. Beliau memandang sepakbola dengan sudut pandang yang lain, bahkan yang---menurut saya---tidak ada hubungannya dengan sepakbola. Namun, beliau sangat terampil dalam mencari celah untuk menghubungkan antara sepakbola dengan hal lain. Keterampilan itulah yang disebut dengan jukstaposisi.
Jukstaposisi adalah hal yang sering saya temukan dalam buku ini. Dalam KBBI, jukstaposisi memiliki arti yaitu penempatan dua objek secara berdampingan. Jukstaposisi digunakan ketika kita akan membandingkan dua hal yang tujuannya untuk menunjukkan kemiripan atau perbedaan. Salah satu contoh jukstaposisi adalah yang baru saja anda baca tentang simulakra sepakbola. Itu adalah satu dari sekian banyak jukstaposisi yang diterapkan oleh Kang Zen dalam tulisan-tulisannya.
Tulisan dalam sub bab buku ini yang berjudul "Kesebelasan Para Bapak Bangsa", "Melawan Rasialisme dengan Mimikri", "Grand-Jete ala Maradona", dan "Please, Please, Gerrard..." adalah contoh lain dari jukstaposisi. Hal itulah yang membuat saya selalu kagum dengan tulisan beliau. Kita sebagai pembaca selalu diajak untuk memandang sepakbola secara lebih luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H