CITA-CITA dan tujuan nasional Indonesia yang dirumuskan dalam alinea II dan IV Pembukaan UUD 1945 merupakan dimensi dari aspirasi langgeng yang rumusannya luhur dan tinggi langgeng sehingga mampu menjiwai kehidupan bangsa. Dalam mewujudkan tujuan nasional, Indonesia juga memiliki kepentingan nasional untuk menjamin persatuan dan kesatuan wilayah, bangsa dan segenap aspek kehidupan sosial.
Demikian pula dalam pergaulan antarbangsa, Indonesia membutuhkan wawasan nusantara untuk menuju ke masa depan. Hal ini disebabkan tolok ukur keberhasilan suatu bangsa dalam berdialog secara dinamis dengan kondisi objektif, subjektif, idealistik maupun aspirasinya terletak pada eksis atau tidaknya wawasan nasional bangsa tersebut.
Konsep Nusantara sebagai kesatuan wilayah mulai muncul sejak Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang berisi tuntutan lebar laut wilayah RI serta bentuk geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Sementara dalam bidang Hankam, masing-masing Angkatan mengembangkan wawasan berdasar matranya, yakni Wawasan Benua untuk Angkatan Darat dan Wawasan Dirgantara untuk Angkatan Laut.
Poros Kedigdayaan
Ada tiga faktor yang melandasi pemikiran Wawasan Nusantara yaitu, geografi, geopolitik, dan geostrategis; latar belakang historis dan yuridis formal; kepentingan nasional. Dalam konteks geografis, geopolitik, dan geostrategi, Indonesia memandang wilayahnya dari segi geografi dan demografi sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Letak tersebut juga dilengkapi dengan proyeksi lintang dan bujur negara, jumlah pulau, luas wilayah, kekayaan alam, jumlah penduduk serta distribusi penduduk. Persepsi “Tanah Air” merupakan penghayatan warga negara Indonesia terhadap bersatunya unsur daratan dan lautan, dan “Nusantara” berarti laut sebagai penghubung antarpulau di Indonesia. Sementara dari aspek politik, hadir ilmu bumi politik atau geopolitik yang mempelajari fenomena politik dari aspek geografi.
Konsep-konsep Terkait
Wawasan bahari yang dikemukakan lewat dalil Sir Walter Raleigh tentang penguasa laut sebagai penguasa dunia ternyata memiliki pengaruh besar terhadap bangsa-bangsa di Amerika Serikat, Inggris, Eropa Daratan dan Jepang. Wawasan benua yang terwakili oleh teori Sir Halford Mackinder mengenai Pivot Area atau Heartland Theory yang meliputi wilayah bentangan dari Jerman hingga Siberia Tengah. Teori tersebut bertujuan untuk memperingatkan Inggris bahwa Jerman dan Uni Soviet akan mendominasi kekuatan lautnya nanti. Mackinder mendapuk Amerika Serikat sebagai pengganti Inggris dalam mengimbangi Jerman dan Uni Soviet setelah meletus Perang Dunia II.
Wawasan kombinasi yang muncul dari ketertarikan Nichols J. Spykman terhadap pandangan Mackinder merupakan integrasi dari beberapa wawasan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keperluan dan kondisi setempat. Kemudian wawasan geopolitik yang muncul dari Teori Ruang Friederich Ratzel nampak bahwa negara mengalami siklus hidup seperti manusia: lahir-tumbuh-berkembang-mencapai puncak-menyusut dan mati.
Wawasan ini memiliki misi untuk mencapai persetujuan dan kesatuan yang harmonis (misi ke dalam) dan memperoleh batas-batas -kontinental dan maritim- yang lebih baik (misi ke luar).
Menurut Karl Haushoffer, wawasan geopolitik adalah landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam perjuangan dari kelangsungan hidup suatu organisasi negara untuk memperoleh ruang hidupnya (lebensraum) yang selanjutnya dirumuskan dalam lima prinsip: lebensraum atau ruang hidup, autarki atau cita-cita untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri, pan-region atau perserikatan wilayah, daerah perbatasan tidak permanen, dan kekuatan darat terbukti lebih unggul dibanding kekuatan lain.
Sementara wawasan dirgantara kemudian muncul di tengah perkembangan teori geopolitik yang mengukuhkan kekuatan udara sebagai kekuatan yang menentukan dari suatu negara. Terkait dengan NKRI, maka geopolitik Indonesia berarti kebijakan dalam rangka mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan letak geografis suatu negara berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang kondisi geografis tersebut.
Geostrategi Indonesia
Geostrategi Indonesia ialah kebijakan pelaksanaan dalam menentukan tujuan-tujuan dan sarana-sarana serta cara penggunaan sarana-sarana tersebut guna mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan konstelasi geografis negara. Menilik arti tersebut ternyata letak geografis Indonesia berpengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan. Hal ini disebabkan letaknya dalam posisi silang yang mendatangkan keuntungan maupun ancaman yang membahayakan, termasuk gelombang migrasi bangsa-bangsa beserta kebudayaannya ke Indonesia yang mempengaruhi keanekaragaman masyarakat.
Namun perlu diingat latar belakang kesejarahan wilayah Indonesia yang sempat terpecah akibat tidak terselesaikannya sidang BPUPKI menyebabkan Indonesia belum memiliki persepsi yang sama mengenai masalah wilayah ataupun bangsa. Akibatnya, wilayah yang bangsanya memiliki “kesatuan perasaan dan persamaan karakter” harus dipersatukan dan dipertahankan yakni melalui konsepsi Wawasan Nusantara yang menjamin dan menyelenggarakan kepentingan nasional, sesuai dengan semangat Pancasila.
Kedaulatan Maritim
Pembahasan mengenai kedaulatan negara di laut, ruang udara, dan GSO mengemuka dalam peristiwa besar terkait sejarah hukum laut yaitu ketika Spanyol dan Portugal membagi samudera dunia menjadi dua bagian yang dituangkan dalam Piagam Inter Catera. Selanjutnya, pada tahun 1703, Cornelis van Bynkershoek -seorang penulis Belanda- mengemukakan bahwa laut wilayah yang bisa dikuasai daratan adalah sejauh tembakan meriam (kanon) atau kira-kira 3 mil laut, dan itu menjadi bagian tak terpisahkan dari wilayah daratan.
Pembahasan mengenai hukum laut dicanangkan sejak tahun 1930 yang kemudian baru dibuka pada tahun 1935, tepatnya dalam Konferensi Hukum Laut Internasional di Den Haag, Belanda. Berikutnya pada tahun 1939 pemerintah kolonial Belanda lalu mengeluarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie mengenai batas teritorial di laut.
Hal ini merugikan wilayah Indonesia -yang saat itu diduduki Belanda- karena wilayahnya menjadi terpecah-pecah. Maka untuk mengubah ketentuan warisan kolonial tersebut, pada 13 Desember 1957 pemerintah RI mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang menetapkan bahwa lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mil.
Putusan ini diajukan ke Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 di Jenewa namun usulan tersebut ditolak oleh negara-negara maritim besar karena konsep “kepulauan” dan “negara kepulauan” yang diadopsi Indonesia dianggap sebagai paradigma baru. Penolakan tersebut tidak lantas membuat Indonesia mundur dari deklarasi tersebut.
Pemerintah RI kemudian mengukuhkan deklarasi Djuanda dengan mengeluarkan Perpu No. 4/1960 mengenai Perairan Indonesia dan disahkan menjadi UU No.4/PERPU Tahun 1960. Sejak itulah Indonesia mengalami perubahan cara hitung luas wilayah perairan, dimana luas wilayah teritorial laut diukur sejauh 12 mil dari titik-titik pulau terluar dan saling dihubungkan.
Sementara itu tuntutan teritorial di kancah internasional ternyata mengalami perkembangan akibat majunya teknologi eksplorasi dan eksploitasi laut yang tentu menumbuhkan tingkat perekonomian negara. Akan tetapi dalam pembahasan laut teritorial tersebut Indonesia melangkah lebih dulu dengan diselenggarakannya Deklarasi Landas Kontinen yang menyatakan bahwa laut sampai kedalaman 200 meter masih merupakan wilayah Indonesia dan selanjutnya dikukuhkan dengan UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.
Oleh sebab itu pemerintah Indonesia akhirnya pada 21 Maret 1980 resmi mengumumkan Deklarasi Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia selebar 200 mil diukur dari garis dasar laut wilayah Indonesia, menyusul negara-negara Karibia, Peru, Brazil, El Salvador, Chili, Equador, Peru, AS, Kanada, Norwegia, Meksiko dan India.
Inilah babak baru kedaulatan laut teritorial yang diterima Konferensi Hukum Laut II PBB tanggal 30 April 1982 di New York, disusul pemberlakuan UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEE dna ratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985. Penegakan kedaulatan wilayah RI kemudian berlanjut di dirgantara atau wilayah Indonesia secara vertikal, khususnya pemanfaatan wilayah GSO (Geo Stationery Orbit).
Berdaulat di Angkasa
Di wilayah RI, kedaulatan negara di wilayah Geo Stationery Orbit dimulai sejak peluncuran satelit telekomunikasi Palapa A-1 di tahun 1967. Kedaulatan negara RI di udara meliputi wilayah ruang udara, ruang angkasa termasuk GSO sebagai limited natural resources yang bernilai strategis.
Untuk mengukuhkan integritas kedaulatan wilayah di GSO, Indonesia melakukan beberapa upaya seperti Deklarasi Bogota 1976, Pertemuan Quito (Ekuador) 1982, Konferensi Unispace II 1982, Pertemuan Nairobi 1982, Pertemuan Sub Komite Hukum UN-COPUOS 1983, 1984 dan 1985 di Wina, dan World Administrative Radio Conference 1985 yang jika suatu saat usulan tersebut dipenuhi kiranya sejalan dengan kebijakan Posisi Dasar RI 1979.
Dengan usaha pengukuhan kedaulatan RI yang kemudian termuat dalam UU No.4/PERPU Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1982, maka wilayah kedaulatan RI adalah meliputi tiga dimensi yaitu wilayah darat, laut dan udara. Pengakuan kedaulatan laut oleh UNCLOS tampaknya lebih beruntung dibanding pengakuan kedaulatan di ruang udara dan GSO Indonesia yang harus menempuh perjalanan panjang.
Wawasan Nusantara
Dilatarbelakangi oleh teori-teori tentang wawasan, falsafah Pancasila, aspek kewilayahan, sosial budaya dan kesejarahan, maka muncul berbagai rumusan tentang konsepsi Wawasan Nusantara, salah satunya yang dikemukakan Kelompok Kerja Wawasan Nusantara dari Lemhannas tahun 1999:
“Wawasan nusantara ialah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional."
Konsepsi wawasan nusantara sendiri terdiri dari 3 unsur dasar: wadah (contour), isi (content), dan tata laku (conduct). Wawasan nusantara berhakikat “Keutuhan Nusantara atau Nasional”, dalam pengertian, cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup Nusantara dan demi kepentingan nasional.
Kemudian muncul asas wawasan nusantara yang terdiri atas kepentingan yang sama, tujuan yang sama, keadilan, kejujuran, solidaritas, kerjasama, dan kesetiaan terhadap kesepakatan bersama demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan dalam kebhinnekaan.
Selanjutnya, wawasan nusantara memiliki dua arah pandang yang ditinjau dari latar belakang budaya, sejarah serta kondisi dan konstelasi geografi dan lingkungan strategis yaitu, arah pandang ke dalam yang bertujuan menjamin perwujudan persatuan dan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional, baik alamiah maupun sosial; dan arah pandang ke luar yang ditujukan untuk menjamin kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah.
Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara lalu meleburkan intinya ke dalam kedudukan, fungsi, dan tujuan. Mengenai kedudukan, wawasan nusantara berada pada posisi ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat dan posisi wawasan nusantara pada posisi paradigma nasional.
Mengenai fungsi, wawasan nusantara bertindak sebagai pedoman, motivasi, dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijakan, keputusan, tindakan dan perbuatan yang pada intinya menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan wawasan nasional adalah mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala bidang/aspek kehidupan rakyat Indonesia demi tercapainya tujuan nasional.
Sebagai cara pandang dan visi nasional, perlu adanya implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diikuti segenap individu di Indonesia. Implementasi tersebut berwujud:
- wawasan nasional sebagai pancaran falsafah Pancasila yang diharapkan menjadi pedoman untuk menjamin persatuan, kesatuan dan keutuhan bangsa, serta untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia;
- wawasan nusantara dalam pembangunan nasional yang mewujudkan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya, dan sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan;
- wawasan nusantara dalam penerapannya yang tercermin lewat diterimanya konsepsi wawasan nusantara di forum internasional (hasil positif ZEE Indonesia yang memperluas wilayah), pertambahan luas wilayah sebagai ruang hidup dan dapat diterima oleh dunia internasional, penerapan wawasan nusantara dalam berbagai bidang pada proyek sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi, penerapan pada aspek sosial budaya dengan naungan Pancasila dan penerapan wawasan nusantara di bidang Hankam yang terdimensi dalam Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).
Simbiosis lain kemudian terjadi antara wawasan nusantara dengan ketahanan nasional sebagai rengkuhan bersama yang akan mendorong kemajuan pembangunan nasional. Keduanya saling mendukung dan berfungsi sebagai pedoman bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Fadhil Nugroho Adi, S.Hum / Sejarah Undip
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H