Tersangka koruptor tiba-tiba menggunakan jilbab, ketika disidang. Ayat-ayat agama digunakan untuk menindas dan merugikan orang lain. Orang tergila-gila dengan merk asing, walaupun harganya sangat tidak masuk akal, dan mutunya biasa-biasa saja. Orang rela jadi budak asing, supaya dapat uang receh, suap ataupun cipratan hasil korupsi.Â
Kerancuan tata nilai tersebut menciptakan kebingungan di banyak bidang, termasuk lembaga lembaga publik kita. Tekanan suap dari pihak asing dan dominasi budaya yang dipenuhi kemunafikan membuat beragam lembaga publik kita tersendat. Tak heran, kita tetap "miskin", walaupun sebenarnya kita kaya, amat sangat kaya. Kemiskinan akut di tengah "surga" dengan kekayaan melimpah bernama Indonesia, ironis bukan?Â
Mengapa Kita "Miskin"?Â
Sebagai bangsa, kita tetap "miskin", karena lembaga publik kita tidak memiliki mentalitas dan budaya yang cocok untuk melayani rakyatnya. Kita juga hidup dalam bayang bayang asing, baik dalam tingkat politik, ekonomi maupun tata nilai (Barat dan Timur Tengah). Secara kualitatif, mutu berpikir dan kemauan bekerja orang Indonesia setara dengan beragam negara lainnya, bahkan mungkin lebih baik dalam banyak hal. Jika kita bisa "memaksa" lembaga publik kita untuk menjalankan fungsinya sebaik mungkin, dan bersikap kritis terhadap beragam pengaruh asing yang masuk, maka jalan menuju keadilan dan kemakmuran bersama di Indonesia terbuka luas.Â
Tunggu apa lagi?Â
Sumber : buku Tentang Manusia
Karya : Reza A.A Wattimena
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H