Mohon tunggu...
Fachry Hasani Habib
Fachry Hasani Habib Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Pencari Momen, Penulis Cerita, Pengejar Khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Umpatan-umpatan Doa

12 Januari 2018   15:43 Diperbarui: 12 Januari 2018   15:47 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku Beni, dipanggilnya Ben."

Terdengar tertawa kecil entah dari mana asalnya. "Ok Ben, kamu bisa apa?"

Itu percapakan dan kejadian yang selalu terjadi pada saat aku menawarkan diri untuk bekerja. Tertawa, kemudian, pertanyaan aku bisa apa? Aku bisa apa? Memangnya dia yang bertanya bisa melakukan semua hal lebih baik dariku? Siapa bangsat-bangsat yang dapat menjadi atasan ini? Apa memangnya yang sudah mereka lalui hingga bisa bertanya kepada orang "Kamu bisa apa?" Siapa yang berhak menanyakan hal tersebut kepadaku, Ben yang telah melewati banyak hal dalam hidup. Tapi, aku teringat kata Ibu, "Ikuti saja nak, namanya juga mencari kerja, jangan lupa berdoa." Setiap kali aku akan melakukan sesuatu, ibu selalu berkata jangan lupa berdoa. Itu hanya aku dengarkan saja tapi tidak pernah aku lakukan.

Untuk apa berdoa? Memohon kepada Tuhan? Mencari kemudahan? Selamat dunia akhirat? Itu sih kata orang-orang penyampai "ketenangan dan kedamaian" yang ibu selalu lihat di TV. Untungnya kami masih punya TV. Setiap orang selalu berdoa, bahkan Doni, teman terdekatku selalu berdoa. Jujur sajalah, pekerjaanku dan Doni pekerjaan kotor. Kami berani memukuli orang untuk menagih utang, kami kecil-kecilan berjualan narkoba, menjual wanita-wanita desa ke tempat prostitusi, melakukan apa saja asal dapat uang. Walaupun begitu, sebelum melakukan pekerjaan-pekerjaan itu, Doni, temanku ini selalu berdoa kepada Tuhan agar selamat.

"Don, untuk apa lo berdoa lagi tolol, Tuhan pun malu punya kita." Aku selalu berusaha menyadarkan Doni.

"Ben, Gue punya keluarga, anak gue baru umur dua tahun, gila lo. Paling tidak selamat saja dulu."

"Pembenaran aja lo bisanya, anak lo juga nanti lupa sama Bapaknya. Pekerjaan lo sekarang tuh tanpa berdoa juga lancar-lancara aja Don. Berapa kali kita hampir ditangkap polisi-polisi anjing itu. Lolos juga kan."

Tapi tetap saja Doni berdoa. Aku saja tidak tahu Doni ini mengakui adanya Tuhan atau tidak, apalagi punya agama. Bagaimana mungkin, seorang manusia yang tidak punya keterikatan atas hal yang gaib tersebut memanjatkan doa. Berkumat-kamit mulutnya dengan cepat dan lancar agar setiap doa dikabulkan. Lebih baik ikut aliran sesat saja menurutku. Toh apa bedanya, sama-sama percaya hal yang gaib, mencari koneksi dengan yang gaib, berkumat-kamit juga mulutnya.

Malam ini setelah makan di warung langganan, aku dan Doni akan menagih utang. Bos kami (si bangsat yang menanyakan aku bisa apa), meminta agar malam ini kami harus menagih dan mendapatkan uang tersebut. Kami berangkat mengendarai motor Doni dengan menggunakan helm full faceandalan kami. Kami bergegas menuju rumah tujuan untuk menagih utang. Doni dengan lihai meliuk-liuk di antara mobil-mobil, gerobak bakso, becak dan yang pasti menerobos lampu merah beberapa kali. Akhirnya kami sampai di perumahan Si Tukang Utang. Kami memarkir motor agak jauh dari rumah Si Tukang Utang, lalu kami berjalan perlahan untuk mengampiri rumah nomor 34. 

Keadaan komplek rumah sepi di saat malam seperti ini. Ini rumah besar sekali pikirku, orang macam apa yang meminjam uang kepada Bos, seharusnya orang seperti ini tidak perlu meminjam uang untuk menghidupi keluarganya. Dinding rumah yang bercat putih dan pagar keemasan menjulang tinggi menjaga rumah tersebut dari luar. Cara kami menagih, bukan seperti tukang tagih biasa, kami akan masuk ke kamar tidur Si Tukang Utang, lalu kami menodong Si Tukang Utang dengan golok dan pistol mainan, membekap dia dan paksa Si Tukang Utang bayar hutangnya saat itu juga. Siapa yang tidak takut dengan cara itu. Selalu berhasil tapi berbahaya, apabila gagal, Si Tukang Utang bisa teriak dan kami ketahuan lalu dipukuli warga sekitar, keesokan harinya masuk halaman depan koran lokal.

Sebelum melakukan aksinya, Doni lagi-lagi berdoa. Aku melihat Doni sedang mengangkat tangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun