Mohon tunggu...
Fachrizal
Fachrizal Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti

Menyukai dunia Pendidikan dan Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melawan Ketimpangan Daerah Lewat Zonasi Sekolah

15 Desember 2020   12:04 Diperbarui: 27 April 2021   08:39 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benarkah zonasi sudah melawan ketimpangan daerah? | kompas.com

Saat ini mungkin bukan bulan yang tepat untuk berbicara mengenai zonasi sekolah. Yang mana memang sudah kadung lekat dengan momen Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang biasanya diadakan pada bulan Juni atau Juli tiap tahunnya. Namun zonasi sekolah selalu tetap menarik untuk dibicarakan terutama jika menyangkut fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya.

Demo orangtua murid yang memprotes kebijakan zonasi sekolah dan klarifikasi kementerian terkait selalu mewarnai berita-berita media masa nasional pada bulan Juni-Juli setiap tahunnya. Padahal ada fenomena sosial lain yang juga terkait zonasi sekolah namun bisa dibahas tanpa harus menunggu bulan Juni atau Juli. Yaitu ketimpangan.

Pendapatan merupakan komponen yang dihitung dalam Indeks Gini yang merupakan alat ukur ketimpangan suatu negara. Data terbaru dari World Income Inequality Database (WIID) bulan Mei 2020, ketimpangan pendapatan di Indonesia berada pada angka 35,8% atau berada pada kategori rendah. Hal ini sebenarnya masih diragukan.

Indeks Gini diukur dengan memperhitungkan pendapatan relatif terhadap jumlah penduduk. Pendapatan bisa berupa net income atau pun gross income. Namun untuk kasus Indonesia, pendapatan dalam perhitungan Indeks Gini menggunakan pengeluaran. Hal ini diantaranya disebabkan oleh faktor psikologis manusia yang masih sungkan menjawab jika ditanya mengenai pendapatannya. Namun cara perhitungan tersebut bukan tanpa kekurangan.

Menyamakan pendapatan dengan pengeluaran bisa mengakibatkan Indeks Gini menjadi bias. Pendapatan orang miskin mungkin bisa disamakan dengan pengeluarannya, karena orang miskin cenderung akan menghabiskan seluruh pendapatannya untuk pengeluaran. Namun akan sangat berbeda jika diterapkan kepada orang kaya, yang memiliki pendapatan yang lebih besar.

Orang kaya cenderung akan menabungkan sedikit pendapatannya dan sisanya digunakan untuk konsumsi atau dengan kata lain tidak semua pendapatannya digunakan untuk pengeluaran. Hal inilah yang membuat pengukuran indeks gini menggunakan pengeluaran penduduk mempunyai kemungkinan akan menjadi bias.

Baca: Kesetaraan Pendidikan dengan Adanya Sistem Zonasi pada PPDB Online SMAN di Kota Depok

Sekarang mari kita coba hubungkan ketimpangan dengan zonasi sekolah. Sebelumnya mari kita lihat terlebih dahulu tujuan dari zonasi sekolah yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak tahun 2017. Dilansir dari laman kemendikbud.go.id, zonasi sekolah mempunyai beberapa tujuan.

Adapun beberapa tujuan tersebut diantaranya adalah menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa; mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga; menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri; membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru.

Poin menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa inilah yang bisa digunakan untuk melawan ketimpangan daerah. Semakin mudah seseorang dalam mengakses layanan pendidikan maka akan semakin besar pula peluang orang tersebut untuk meningkatkan pendapatannya. Namun sayangnya di Indonesia, orang miskin masih kesulitan dalam mengakses layanan pendidikan.

Salah satu kesulitan orang miskin sulit mengakses pendidikan terlihat pada saat PPDB. Jika PPDB masih menggunakan sistem berdasarkan nilai Ujian Nasional (UN) maka anak dari keluarga miskin hampir dapat dipastikan tidak akan berdaya menghadapi anak dari keluarga mampu dalam memperebutkan bangku sekolah.

Hal ini disebabkan karena anak dari keluarga mampu berpeluang mempunyai nilai UN yang lebih tinggi karena orangtuanya akan memberikan tambahan belajar berupa les atau bimbel di luar jam sekolah yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh orangtua dari keluarga miskin. Sehingga tidaklah mengherankan anak dari keluarga miskin lebih banyak yang bersekolah di sekolah berkualitas rendah dan membayar biaya sekolah yang relatif lebih mahal.

Kondisi tersebut diperparah dengan tidak meratanya penyebaran sekolah negeri di daerah-daerah. Kemendikbud pada Rapat Koordinasi Nasional terkait PPDB Sistem Zonasi yang diadakan KPAI pada tanggal 5 September 2019 di Jakarta menyampaikan bahwa setidaknya ada 1.375 kecamatan di Indonesia yang tidak memiliki sekolah menengah negeri dan 394 kecamatan yang tidak memiliki SMP/MTs Negeri.

Sejalan dengan temuan Kemendikbud, Litbang Kompas pada Diskusi Media tanggal 27 November 2019 di Lembaga Administrasi Negara memaparkan kondisi sebaran SMP di Kota Bogor yang ternyata hanya mampu melayani 37,65% dari keseluruhan wilayah Kota Bogor, dengan kata lain sebesar 62,35% wilayah Kota Bogor tidak terlayani oleh SMP-SMP yang ada di Kota Bogor.

Keadaan ini akan semakin mempersulit orang miskin, padahal lewat pendidikanlah peluang orang miskin untuk meningkatkan pedapatannya akan semakin besar. Tanpa kemudahan akses pendidikan maka mereka akan selamanya terjebak dalam kemiskinan.

Penelitian yang telah dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank (ADB) tahun 2019 menunjukkan, pendapatan anak- anak miskin setelah dewasa 87 persen lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin.

Lantas, bagaimana pemerintah daerah bisa memanfaatkan sistem zonasi pada PPDB untuk mengurangi ketimpangan? Sistem Zonasi memungkinkan anak keluarga miskin semakin mudah mengakses layanan pendidikan. Pada sistem zonasi, PPDB tidak lagi mengutamakan nilai UN sebagai komponen utama diterima tidaknya peserta didik dalam PPDB.

Sistem zonasi lebih memprioritaskan jarak sekolah dengan tempat tinggal peserta didik, sehingga peluang anak dari keluarga miskin menjadi lebih besar. Hal ini akan mempengaruhi pendapatan mereka di masa depan. Dan secara tidak langsung mempengaruhi tingkat ketimpangan di Indonesia.

Karena itu, salah satu upaya untuk mengatasi ketimpangan di Indonesia melalui zonasi sekolah diperlukan sinergitas antara pemerintah pusat yang diwakili oleh kemendikbud dan pemerintah daerah yang diwakili dinas pendidikan sehingga implementasi zonasi sekolah pada PPDB menjadi gerakan yang saling bersinergi dan seirama antara pusat dan daerah.

Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pertama, pemerintah daerah sebelum Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) mengenai PPDB diterbitkan, melakukan pendataan terkait ketersediaan sekolah negeri di daerahnya disinkronisasikan dengan data jumlah anak usia sekolah yang berada dalam zona sekolah tersebut. 

Sejak Permendikbud dikeluarkan tahun 2017 sampai sekarang, pemerintah daerah sepertinya belum mensinkronisasikan kedua data tersebut. Sehingga pada saat pelaksanaan PPDB, terlihat ada sekolah yang kewalahan menerima pendaftar dan ada sekolah yang sepi peminat. 

Sinkronisasi kedua data tersebut bisa digunakan oleh pemerintah daerah untuk menentukan zona dari satu sekolah sehingga secara optimal bisa menampung anak usia sekolah di sekitarnya.

Kedua, pemerintah pusat memberikan relaksasi terhadap regulasi yang terkait pembangunan sekolah baru oleh pemerintah daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pembangunan dan bisa segera dimanfaatkan oleh pemda untuk menampung anak usia sekolah di daerahnya.

Baca: Akankah Sistem Zonasi Menghilangkan Status Sekolah Standar Nasional?

Ketiga, dilakukan pembagian tanggungjawab perjenjang oleh pemerintah, untuk jenjang PAUD sampai SMP/sederajat tanggungjawab diserahkan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten, jenjang SMA/sederajat oleh Pemerintah Provinsi, sementara jenjang PT kepada Pemerintah Pusat. Sehingga pendidikan anak akan terjamin dari tingkat PAUD sampai tingkat PT.

Keempat, pemerintah pusat dan daerah bekerjasama untuk meningkatkan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) Indonesia agar banyak investor yang datang dan membuka banyak lapangan pekerjaan di Indonesia. Hal ini dilakukan agar lulusan-lulusan baru di Indonesia dapat tertampung dan tidak menjadi pengangguran.

Empat usul diatas diharapkan dapat semakin mempermudah orang miskin dalam mengakses layanan pendidikan, yang pada akhirnya akan memperbesar peluang mereka mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Akibatnya, distribusi pendapatan Indonesia lebih merata dan menurunkan ketimpangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun