"El! Kembalikan bolanya! Ayo kita main lagi!"
Dia mendongak keluar jendela, berjinjit-jinjit seakan menghilangkan dinding pembatas antara dunia luar dengan duniamu saat ini. Lalu ia melemparkan bolanya lantaran memanjat jendela seraya melambai-lambaikan tangannya.
"Kalian main saja dulu nanti aku menyusul!"
"Jangan lama-lama ya! Kita kekurangan orang!"
Bocah laki-laki itu tak kunjung pergi. Ia malah ikut-ikutan memeluk lutut di hadapanmu sambil cengar-cengir. Kau pun menatapnya heran karena kau pikir dia agak sedikit gila.
"Hai, namamu siapa? Aku Elias," katanya. Namun kau diam membisu. Elias tak kehilangan akal, tanpa seizinmu dia menyibak rambutmu yang kusut tak terawat dengan lembut penuh kasih sayang. Bahkan kau terbelalak karena merasakan kehangatan yang menjalar di setiap sentuhannya.
Lalu dia mengangkat wajahmu dengan senyumnya yang sehangat matahari Elias berkata, "Kau cantik!"
Kau terpaku, bukan karena kebiasaanmu melainkan terpukau ada kilatan harapan muncul di matamu yang merah membengkak. Kau pun menenggelamkan wajah, malu, sebab lupa cara membalas dialog orang.
"Mengapa, mengapa aku diasingkan dunia hanya karena aku anak seorang pencuri?" Kau lagi-lagi meracau. Kesendirian di tengah ruang kegelapan menyebabkanmu kesulitan untuk saling melempar dialog.
"Kau tahu? Orang lain sering melihat keburukan manusia dibanding kebaikannya? Sebab mereka memiliki insting yang mewakili pikiran mereka untuk melihat bahwa orang itu tak layak dikasihani." Elias berceramah tepat di sampingmu. Sesekali mengambil posisi yang nyaman agar bisa bersandar.
Engkau tertegun mendengar penjelasannya. Rasanya sangat mustahil seorang bocah sepuluh tahun memaparkan ceramah yang bahasanya sulit dimengerti. "Kau, dari mana belajar kata-kata itu?"