Listrik di rumahmu mulai padam, semenjak tiga hari yang lalu PLN memutus sambungan karena ribuan kertas tagihan berserakan di ruang tamu. Kecelakaan yang sempat menewaskan kedua orang tuamu, membuat kau tak berdaya, jiwamu tiada bergairah, dan rasanya hidup seakan tiada gunanya.
Hari itu hanya kau yang berhasil diselamatkan. Pihak tenaga medis dengan cekatan menangani luka di sekujur tubuhmu tapi tidak dengan luka yang ada di batinmu. Seminggu sudah kau mengurung diri di sudut kamar nan gelap, tanpa berinteraksi dengan orang-orang di luar sana.
"Manusia merupakan makhluk yang sukar memaafkan. Apa salahnya jika memberi kesempatan kedua bagi orang untuk bertobat? Mereka jarang menerawang bagian dalam berupa titik putih di hati nurani. Apa karena aku anak seorang pencuri sehingga nasibku miris seperti ini?" Kau terus meracau tak keruan seorang diri.
Menurutmu manusia-manusia di luar sana jahat. Ketika kedua orang tuamu di dalam peti tak satupun dari mereka mampu mengasihani bahkan nyaris tiada insan yang melayat, membawa bunga, ataupun ikut berduka cita. Seolah kematian orang tuamu adalah sebuah perayaan bagi penduduk sekitar.
"Apa guna aku diselamatkan jika berakhir seperti ini?"
Kau menggumam sambil memeluk kedua lutut. Matamu yang berbinar mulai merah membengkak, kantung hitam nampak di bawah kelopak, ragamu tinggal tulang, rambutmu mencuat tak keruan. Rasa lapar seolah hanya igauan semata. Namun kesedihan terus menerus berlarut, menyelimuti segenap jiwa hingga menelan habis secercah cahaya.
Sudah berapa lama kau tak menikmati sinar mentari pagi? Dan  kapan terakhir kali engkau merasa bahagia?
"Tuhan terlalu baik hingga membiarkan ciptaan-Nya yang tidak pandai bersyukur ini berkelana dalam kegelapan." Kau bermonolog, sepasang matamu menerawang ke luar jendela. Hari ini sang langit bersuka cita ikut merayakan bangkitnya tuan matahari tengah tersenyum berseri-seri. Kekehan anak kecil yang tengah bermain di bawah rangkulan cakrawala biru menambah pelengkap suasana.
Sampai suatu ketika bola kuning memecahkan jendela kamarmu lalu menggelinding tepat di hadapanmu. Kau hanya menatap nanar bola itu tanpa menyentuhnya dan sesekali sesenggukan.
"Sudah biarkan saja bolanya! Nanti kita beli lagi." Terdengar suara ibu-ibu tak jauh dari dinding kamarmu.