Akan tetapi lagi-lagi bocah laki-laki itu tidak berteriak maupun menjerit histeris dilihat dari ekspresinya. Dia terlihat tenang seolah tanpa beban. Lalu kau pun melanjutkan cerita.
"Sehari setelah upacara pemakaman Ayah dan ibuku, para warga memporak-porandakan rumah ini. Mereka begitu murka mengingat apa yang diperbuat orang tuaku semasa hidupnya Aku mencoba menghentikannya tapi aku justru ditangkap dan diikat di pohon besar itu sambil di ambang keputusasaan."
"Lalu?"
Kau mengambil jeda sejenak. "Kehadiranku tidak diterima di desa ini malah orang-orang sekitar menganggapku buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Daripada aku berkelana tanpa tahu arah dan diasingkan ke lain daerah, aku memutuskan mengakhiri hidup. Agaknya belakangan ini jiwaku tak bisa menyusul Ayah dan Ibu. Aku terperangkap dan makin tersesat."
"Jadi?" Elias penasaran.
"Untuk menebus dosa Ayah dan Ibu izinkan aku menjagamu sampai jiwaku dapat kembali. Karena akan ada banyak hal buruk yang menimpa bocah istimewa sepertimu. Kau akan kuanggap selayaknya adik sendiri. Apa kamu berkenan, Elias?"
"Terima kasih, Kak. Dengan senang hati aku menerima, Kakakku yang baik. Kau tidak sejahat yang  kukira."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H