"Lihat, aku membawa sisir yang kucuri dari Ibuku. Mari sini biar kusisir rambutmu."
"APA?! KAU, KAU MENCURI MILIK IBUMU?! HEH BOCAH KAU BODOH ATAU BAGAIMANA? OTAKMU DIPAKAI GAK SIH?!" Kalimat itu seakan menjadi momok bagimu. Kepalamu dihujami oleh ingatan-ingatan tentang aksi Ayah ibumu sebagai pencuri. Bahkan sampai matipun keduanya berhasil membobol bank.
Meski kau membentaknya sekali pun dia tetap memaafkan. Malah tanpa berat hati dia memelukmu dengan tulus. Hati kecilnya memang benar-benar dipenuhi buih-buih cinta kasih. Kau yang sama sekali belum pernah merasakan pun langsung membatu. Â "Tidak apa, aku mengerti perasaanmu."
"Dasar Bocah Tengik," gumammu.
"Sekarang duduklah, biar aku sisir rambutmu yang mencuat-cuat itu!"
"Aku tak tahu caranya duduk."
Elias mendesah. "Sebisamu saja."
Kau pun mengangguk kikuk dan menuruti perintahnya. Seperti seorang anak yang mematuhi Ayahnya. Dirasa sudah cukup lama engkau tak merasakan yang seperti ini. Sungguh benar-benar berbeda bukan sensasinya?
"Kau mengingatkanku pada almarhum Ayahku." Kau berbisik lirih tapi Elias memiliki pendengaran yang tajam. Dia mendengarkan desauanmu meski hanya beberapa kata.
"Apa?"
"Kau menyebalkan!" ketusmu. Akan tetapi dia terbahak, menganggap makianmu sebagai tanda bahwa kau menyukainya.