Mohon tunggu...
Fabianus Keane Karnaen
Fabianus Keane Karnaen Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Pelajar SMA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masih Adakah Relevansi Food Estate?

7 November 2024   14:35 Diperbarui: 7 November 2024   14:49 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Food estate adalah konsep pengembangan lahan pertanian skala besar yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional. Secara umum, proyek ini melibatkan konversi lahan luas menjadi kawasan pertanian terintegrasi. 

Berbagai aktivitas pertanian, mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga distribusi hasil panen, dikelola secara sistematis dan terpadu. Food estate mencakup budidaya berbagai jenis komoditas, seperti padi, jagung, dan hortikultura, yang memanfaatkan teknologi pertanian modern untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

Konsep food estate pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Soeharto pada masa Orde Baru. Pemerintah melihat potensi besar dari lahan-lahan luas di Kalimantan dan Papua sebagai area pertanian baru untuk menunjang swasembada pangan nasional. Namun, proyek tersebut tertunda karena keterbatasan infrastruktur dan tantangan lingkungan.

 Pada tahun 2020, food estate kembali menjadi bagian dari agenda strategis nasional di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Proyek ini didorong oleh pandemi COVID-19, yang turut serta memperjelas pentingnya kemandirian pangan. Pada perkembangannya, food estate ditetapkan sebagai proyek strategis nasional dengan dasar hukum Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Kementerian Pertanian (Kementan RI) dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan RI) menjadi instansi utama yang mengelola program ini, dan didukung oleh kementerian lain dalam hal penyediaan lahan, pengembangan infrastruktur, dan pengawasan dampak lingkungan. Wilayah utama yang  menjadi targetkan untuk food estate adalah Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Papua, dengan fokus pada lahan marginal. Lahan-lahan ini dinilai dapat dikembangkan secara produktif. Konsep food estate juga mencakup pengembangan berkelanjutan, dan upaya  pemerintah untuk melibatkan masyarakat lokal dan menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Selain berfokus pada luas tanam, food estate modern turut mengusung pendekatan holistik yang mencakup berbagai komponen penting dalam manajemen pertanian. Hal ini melibatkan penggunaan bibit unggul, sistem irigasi yang efisien, praktik pertanian berkelanjutan, serta teknologi canggih seperti alat mekanis dan aplikasi digital untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan tanaman. 

Selain meningkatkan hasil panen, food estate juga dirancang untuk menciptakan rantai pasokan yang lebih efisien, sehingga hasil produksi dapat diolah dan didistribusikan secara optimal. Hal ini yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian nasional.

Food estate kini telah menjadi kebijakan utama yang sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Ide dari proyek ini adalah menciptakan 4.444 zona pertanian skala besar untuk meningkatkan produksi pangan dan mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor pangan secara signifikan.

 Namun, keefektivitasan kebijakan ini masih perlu dipertanyakan, terutama karena permasalahan lingkungan dan implementasi di lapangan yang kurang optimal, dan memerlukan evaluasi lebih lanjut. Hal-hal ini lebih dari cukup bagi proyek food estate untuk mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan masyarakat.

Cukup disayangkan bahwa pada kenyataanya,  proyek food estate Indonesia justru menghadirkan berbagai tantangan tersendiri. Lahan yang dipilih untuk proyek-proyek ini seringkali jauh dari kata ideal, seperti lahan gambut di Kalimantan Tengah. Jenis lahan ini, setelah dilakukan studi lebih lanjut, ternyata lebih cocok untuk menyimpan gas karbon, ketimbang mengubahnya menjadi lahan pertanian. 

Pengalihan fungsi lahan gambut ini kemudian dikaji oleh peneliti, dan mereka menyimpulkan bahwa hal ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, infrastruktur seperti jalan, irigasi, dan fasilitas lumbung penyimpanan masih terbilang sedikit dan belum mumpuni, sehingga distribusi produk pertanian hasil proyek food estate menjadi kurang efisien.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun