Food estate adalah konsep pengembangan lahan pertanian skala besar yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional. Secara umum, proyek ini melibatkan konversi lahan luas menjadi kawasan pertanian terintegrasi.
Berbagai aktivitas pertanian, mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga distribusi hasil panen, dikelola secara sistematis dan terpadu. Food estate mencakup budidaya berbagai jenis komoditas, seperti padi, jagung, dan hortikultura, yang memanfaatkan teknologi pertanian modern untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Konsep food estate pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Soeharto pada masa Orde Baru. Pemerintah melihat potensi besar dari lahan-lahan luas di Kalimantan dan Papua sebagai area pertanian baru untuk menunjang swasembada pangan nasional. Namun, proyek tersebut tertunda karena keterbatasan infrastruktur dan tantangan lingkungan.
Pada tahun 2020, food estate kembali menjadi bagian dari agenda strategis nasional di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Proyek ini didorong oleh pandemi COVID-19, yang turut serta memperjelas pentingnya kemandirian pangan. Pada perkembangannya, food estate ditetapkan sebagai proyek strategis nasional dengan dasar hukum Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Kementerian Pertanian (Kementan RI) dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan RI) menjadi instansi utama yang mengelola program ini, dan didukung oleh kementerian lain dalam hal penyediaan lahan, pengembangan infrastruktur, dan pengawasan dampak lingkungan. Wilayah utama yang menjadi targetkan untuk food estate adalah Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Papua, dengan fokus pada lahan marginal. Lahan-lahan ini dinilai dapat dikembangkan secara produktif. Konsep food estate juga mencakup pengembangan berkelanjutan, dan upaya pemerintah untuk melibatkan masyarakat lokal dan menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Selain berfokus pada luas tanam, food estate modern turut mengusung pendekatan holistik yang mencakup berbagai komponen penting dalam manajemen pertanian. Hal ini melibatkan penggunaan bibit unggul, sistem irigasi yang efisien, praktik pertanian berkelanjutan, serta teknologi canggih seperti alat mekanis dan aplikasi digital untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Selain meningkatkan hasil panen, food estate juga dirancang untuk menciptakan rantai pasokan yang lebih efisien, sehingga hasil produksi dapat diolah dan didistribusikan secara optimal. Hal ini yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Food estate kini telah menjadi kebijakan utama yang sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Ide dari proyek ini adalah menciptakan 4.444 zona pertanian skala besar untuk meningkatkan produksi pangan dan mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor pangan secara signifikan.
Namun, keefektivitasan kebijakan ini masih perlu dipertanyakan, terutama karena permasalahan lingkungan dan implementasi di lapangan yang kurang optimal, dan memerlukan evaluasi lebih lanjut. Hal-hal ini lebih dari cukup bagi proyek food estate untuk mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan masyarakat.
Cukup disayangkan bahwa pada kenyataanya, proyek food estate Indonesia justru menghadirkan berbagai tantangan tersendiri. Lahan yang dipilih untuk proyek-proyek ini seringkali jauh dari kata ideal, seperti lahan gambut di Kalimantan Tengah. Jenis lahan ini, setelah dilakukan studi lebih lanjut, ternyata lebih cocok untuk menyimpan gas karbon, ketimbang mengubahnya menjadi lahan pertanian.
Pengalihan fungsi lahan gambut ini kemudian dikaji oleh peneliti, dan mereka menyimpulkan bahwa hal ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, infrastruktur seperti jalan, irigasi, dan fasilitas lumbung penyimpanan masih terbilang sedikit dan belum mumpuni, sehingga distribusi produk pertanian hasil proyek food estate menjadi kurang efisien.
Terdapat suatu mekanisme yang serupa dengan food estate, yakni Great Plains milik Amerika Serikat. Kontras dengan pelaksanaan food estate, Great Plains menghabiskan waktu bertahun-tahun penelitian untuk memahami kualitas tanah, kondisi iklim, dan kebutuhan air sebelum akhirnya mengembangkan pertanian berskala masif.
Amerika Serikat juga memanfaatkan teknik pertanian canggih, penelitian menyeluruh, dan praktik berkelanjutan yang disesuaikan dengan kondisi ekologi wilayah setempat. Di Indonesia, proyek food estate cenderung berfokus pada perluasan ke wilayah baru saja, tanpa didukung kajian mendalam mengenai kondisi lahan dan dampak lingkungan, seperti halnya kasus lahan gambut.
Contoh lainnya terjadi di Sumatera Utara, di mana proyek serupa mengalami kendala dalam distribusi hasil panen. Infrastruktur yang tidak memadai menyebabkan banyak hasil panen tidak dapat didistribusikan secara efektif, sehingga menimbulkan limbah dan kerugian bagi petani. Hal ini mengindikasikan bahwa mengembangkan lahan baru tanpa didukung infrastruktur dan teknologi yang memadai tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan, seperti yang dicita-citakan oleh pemerintah dalam mewacanakan program food estate.
Dari sudut pandang lain, kebijakan ini akan menjadi lebih efektif jika ditujukan untuk memperkuat pertanian lokal melalui intensifikasi. Dengan mempertimbangkan penggunaan teknologi canggih seperti sistem irigasi otomatis, pupuk organik, dan pertanian presisi, produktivitas dapat ditingkatkan tanpa perlu memperluas lahan.
Selain itu, pelatihan dan pendidikan yang ditujukan untuk petani mengenai teknik pertanian modern dan manajemen pasca panen juga diperlukan agar mereka dapat memaksimalkan hasil pertanian dengan cara yang lebih berkelanjutan.
Kebijakan food estate saat ini dapat diibaratkan Anda yang mengendarai mobil mewah yang melaju di jalan bergelombang. Meski memiliki mesin bertenaga, kondisi jalan yang tidak rata membuat Anda tidak bisa menikmati kecepatan dan kenyamanan maksimal.
Meskipun terdapat niat baik dan dukungan yang kuat terhadap proyek ini, pencapaian tujuan ketahanan pangan akan sulit dicapai tanpa perencanaan yang matang dan evaluasi yang berkelanjutan.
Sebagai mekanisme solusi, pemerintah dapat mempertimbangkan pendekatan berbasis food hub atau “pusat pangan”. Mekanisme ini bertujuan untuk mengumpulkan produksi pertanian dari lahan yang ada dan mengelolanya di pusat pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dan efisiensi distribusi.
Mekanisme ini tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi, tapi juga perbaikan manajemen rantai pasok. Selain itu, dampak lingkungan dari proyek food estate harus dikaji secara berkala dan kawasan yang tidak cocok untuk pertanian dikembalikan ke fungsi konservasinya.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kebijakan food estate Indonesia masih menghadapi banyak tantangan pelaksanaan yang harus diatasi untuk mencapai tujuan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Optimalisasi program ini memerlukan evaluasi detail yang berkelanjutan, pendekatan yang berbasis penelitian, dan praktik pertanian ramah lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H