"Oh iya, Mas Agus. Terima kasih,'' jawabku.
   Kami segera menaruh tas di kamar. Pukul 12.30, Mas Agus mengajak kami makan siang. Senyum hangat muncul di wajahnya, membuat kami merasa nyaman. Kami beralih ke meja makan.
   "Maaf, ya. Bapak hanya dapat menyediakan makanan seadanya saja.''
   "Tidak apa, Pak.  Ini  sudah cukup. Kami yang seharusnya minta maaf karena merepotkan Bapak,'' jawab Chintya.
    Senyum kecil nampak pada wajah Pak Margono. Senyum yang menegaskan kerutan di kening dan lipatan pada kulit pipinya. Usianya memang baru 55 tahun. Namun, wajah sudah terlihat jauh lebih matang. Bahkan aku mengira bapak ini usianya sudah enam puluhan.Â
   "Bapak tidak merasa direpotkan. Karena kehadiran kalian, saya seperti mempunyai dua putri yang cantik-cantik. Sudahlah, ayo makan. Tidak enak kalau dingin." Â
   Kami pun duduk di dingklik  itu. Mulai mengambil nasi dan lauk yang tersaji di atas meja kayu persegi panjang. Nasi putih setengah bakul bambu, tempe bacem, sayur daun singkong, dan karak. Masakan yang terlihat begitu sederhana. Namun kami rasa, ini luar biasa. Kami makan dengan lahap penuh suka cita. Bukan karena apa yang kami makan, tapi lebih karena kerelaan mereka menerima kami. Yah, aku teringat kata guru agama di sekolah, bahwa kebahagiaan itu bisa dirasakan oleh siapa saja, syaratnya menerima dan mensyukuri apa pun yang Tuhan berikan.
   Matahari menurun hampir meyentuh lekuk di antara dua perbukitan sebelah barat. Udara kering sepanjang siang telah teduh. Kami bersantai di teras rumah. Duduk-duduk di atas dipan tua dari anyaman bambu wulung. Banyak hal kami perbincangkan sambil menunggu malam.
   "Bapak saya ini pekerja serabutan. Jika tidak ada pekerjaan lain, kami pergi ke ladang. Ladang kami cukup jauh dari sini. Sekitar satu kilo. Besok, jika kalian mau ikut, boleh," kata Mas Agus.
   "Mau, mau, Mas. Kami akan membantu Bapak," jawab Chintya spontan.
   "Oh, kalian tidak usah membantu saya. Kalian lihat-lihat pemandangan di sekitar saja."