"Aku ikut sedih, Chintya. Semoga kakakmu damai di surga. Kami senang pada kalian berdua. Kalian sangat baik, sopan, dan tidak manja. Kalian mau tinggal bersama kami di rumah yang seperti ini. Kami sangat berterima kasih bisa bertemu kalian. Kedatangan kalian bisa mengobati rasa rinduku pada ibu. Oh, ya. Ibuku juga sudah meninggal sebulan yang lalu. Ibu sudah cukup lama sakit. Kami sudah berusaha membawa ke beberapa pengobatan alternatif. Namun tak juga berhasil. Sebulan yang lalu, ibuku mendapat 'pulung gantung'," kata Mas Agus.
   "Pulung gantung. Apa itu, Mas?" aku bertanya memberanikan diri. Terlihat kedua mata Mas Agus basah. Dan dengan nada rendah menjawab pertanyaanku itu.
   "Ibu gantung diri di dapur saat kami ke ladang. Mungkin ibu sudah putus asa dan tak kuat lagi menahan sakit yang bertahun-tahun. Tapi sudahlah, kami sudah mengikhlaskannya. Ini sudah takdir. "
   Deg. Dadaku sesak. Aku dan Chintya berpelukan dan tidak bisa menahan air mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H