Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Melayani Tuhan, menulis, melukis, perupa. Tak ada tempat seluas dan selebar hati kita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ekspedisi Ventira, Negeri yang Hilang (22)

15 Mei 2020   13:02 Diperbarui: 15 Mei 2020   14:59 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita/ilustrasi; Franklin Towoliu0

Rainy berhenti sebentar.  Ia menoleh ke bawah.  Seekor kucing belang hitam mengorek dan mengaiskan kakinya sambil memperdengarkan suaranya yang menghiba. Mulanya Rainy hendak mengusir, tapi ia malah mengusap kepala kucing itu lantas mendorongnya lembut agar menjauh.

 Baim mengambil  sebongkah kepala ikan nila bekas sisa makan lalu menaruhnya dipintu luar agar kucing itu beralih tempat. "Cah bagus, jangan ngegangggu dulu ye," guraunya.

 "Jadi maksud kedatangan kita ke negeri gaib ini seperti beberapa kali disinggung adalah untuk membuktikan bahwa negeri itu ada. Caranya kita harus membawa pulang hasil rekaman suara maupun gambar serta bukti lainnya berupa barang, juga berupaya melakukan penelitian disana tentang keberadaan historis negeri itu. Kalau semua itu bisa kita dapatkan, kita tak akan dilupakan dari sejarah dunia. Begitu rencana mister Daniel." Rainy melanjutkan pemaparannya tentang tujuan Tim Ekspedisi Ventira ini.

 Pak Subhan tak bereaksi. Hanya jemarinya bermain kecil mengetuk-ngetuk di atas meja hingga meninggalkan bunyi. Hatinya berdebar meski wajahnya tak menunjukkan gelagat. Bagaimana tidak? Dugaannya, kalau yang dimaksudkan Rainy adalah negeri Ventira yang gaib, maka baginya ini misi yang hampir pasti tak mungkin. Rasanya ia ingin membantah atau menanyakan sesuatu, namun bibirnnya berat untuk bergerak. 

 "Bagaimana dengan rencana untuk perintisan jalan ke negeri itu?" Tanya Raiva terdengar. Ia terlihat agak kikuk kecil saat Daniel yang duduk di sampingnya menyentuh betisnya. Itu sengaja dan sudah seringkali. Air mukanya berubah, sebenarnya ada sedikit rasa nyaman tapi karna Daniel  keseringan melakukannya ia malah agak bosan dan menuding Daniel pria tak sopan serta lemah yang tak punya keberanian untuk menyatakan perasaaan. Makanya kadang kala ia tak menanggapi ulah Daniel yang mengganggunya persis seperti seorang anak kecil. 

 "Merintis jalan? Ke mana maksudnya ya, bu?"  kali ini pak Subhan tak tahan untuk tak menyela. Jarinya masih bermain diatas meja hanya jail ini sangat halus sehingga sekecil apapun tak ada suara ketukan yang terdengar. 

 "Ke Ventira..." Rainy yang menjawab pelan dengan agak berbisik.

 "Ventira!!?" pak Subhan terbeliak kaget kali ini. Suaranya tinggi. Meski ia sudah menduga jawabannya, tak urung ia tetap terkejut setengah mati. Juga beberapa pengunjung yang ada disana langsung menoleh.

 Selembar tissue yang terlipat dan diatur rapi dalam kaleng di meja tiba-tiba tercerabut dan melayang terbang oleh angin yang tiba-tiba menghempas keras kedalam warung makan ini. Maklum, beberapa jendela belakang warung makan ini berukuran besar sehingga memungkinkan angin masuk dengan leluasa. 

 "Meeeeoonnggg!!!"  suara keras kucing belang hitam tadi tiba-tiba sudah kembali berada di kaki Rainy. Ia menggesek-gesekkan badannya disana seolah meminta perhatian. Namun suara khasnya malah membuat Pak Subhan dan beberapa tamu lain yang ada disitu terkejut mendengakata Ventira yang terlontar keras dari pak Subhan.

 "Maksudnya kita akan datang ke Ventira lalu melakukan penelitian serta mengambil beberapa benda dari sana?" buru Pak Subhan dengan berusaha menekan suaranya. Rainy sudah memberinya isyarat agar ia jangan membuat orang lain tahu.

 "Ia, bahkan kita akan merintis jalan masuk ke sana. Dengan begitu akhan eee ada jhalan untuk pergi dan pulang dari sana.... Orang-orang ee, dapat pergi dan mereka ee dapat dathang," kali ini Daniel menambahkan. Ia menatap Pak Subhan dengan meyakinkan sambil memberi senyum kecil di bibirnya.

 "Ia, betul... Tujuannya pertama kita akan membuat   pembuktian bahwa negeri Ventira itu ada dan bukan negeri para jin seperti yang ada dalam pemahaman masyarakat. Kedua; kita akan berupaya membangun pintu dimensi untuk alam nyata kita dan alam gaib Ventira, hingga dengan sendirinya akan ada hubungan wajar antara dua negeri berbeda dimensi. Kita dan mereka." jelas Rainy lagi, sesuai apa yang diarahkan Daniel dan Raiva kepadanya.

 "Dan pintu gerbangnya tentu saja di jembatan itu," Eva pun ikut komen. Mengenai isi dan tujuan ekspedisi ini memang bukan urusannya. Tugasnya hanya sesuai dengan kontrak kerja. Namun bagaimanapun ia sudah sedikit banyak tahu lantaran kerap mendengar diskusi tim.

 "Jembatan Ventira namanya," suara Pak Subhan terlontar datar. Matanya kosong memandangi kaleng tissue yang ada di meja. Perasaan tak percaya dan sangsi  serta rasa kuatir bermain dalam hatinya. Bagaimana jika kemudian mereka mendapat halangan secara gaib? Misalnya diserang dedemit atau setan, jin, gendruwo dan sejenisnya? Pikir Pak Subhan.

 "Maaf  jika dalam surat saya tak menceriterakan langsung pak. Pikir saya lebih baik nanti jika sudah bertemu langsung dengan saya dan tim juga. Dan saya disini bertugas sebagai bendahara serta pengarah  utama. Kalau Mister Daniel adalah pemilik proyek ini." Kata Rainy.

 "Bapak juga akan mendapat kontrak kerja agar selama kerja dengan tim bapak tidak membuang waktu percuma. Ada upah yang nanti dibayarkan sehingga istri dan keluarga bapak tetap mendapatkan hasil kerja bapak.  Karena dalam tim ini, semua yang terlibat di ikat dengan kontrak kerja, kode etik serta janji dalam selembar komitmen." Kata Raiva sambil menggeliat kecil.  Ada raga bergidik menjalar di tengkuknya. Bukan karena horornya Ventira yang sedang mereka bahas, namun lantaran bulu-bulu kaki Daniel yang agak banyak bermain di samping betisnya. Semua tim memang hanya mengenakan celana pendek sejak dari penginapan.

 "Nilai kontrak, Rai?"  Tanya Rainy sambil menduga dalam hati pasti Pak Subhan juga akan terkeut dan sangat senang dengan  jumlah uang yang akan didapatnya dari tim ini. Bagaimanapun ia yang mengajak Pak Subhan yang juga kenalan papanya, sehingga ia memperjuangkan nilai upah Pak Subhan pada Raiva dan Daniel.

 "Nilai kontrak Pak Subhan adalah, tiga ratus lima puluh juta."  Tandas Raiva.

 "Tiga Ratus lima puluh juta!!?" lagi-lagi pak Subhan terkejut dengan suara keras. Kali ini ia lebih terkejut daripada yag tadi. Ia belum pernah mendengar uang sebanyak itu ditujukan kepadanya.

Sehektar kebun miliknya hasil warisan yang dibagi dengan 3 saudara lain waktu dirawar oleh pembeli hanya senilai 3,5 juta. Bagaimana dengan uang sebanyak itu? Seember atau sekotak? Sekantong atau seperti apa banyaknya? Ia benar-benar belum pernah melihat uang sebanyak itu. 

Perubahan mimik wajah dari tegang kepada sukacita tak mampu disembunyikan dibalik wajah sangar penuh rewok dan janggut itu. Di pelupuk mata sudah terbayang wajah senang istri dan keluarganya. Mereka pasti sangat senang. Kalau begini upahnya, seberat apapun agenda ekspedisi Ventira ini, ia akan melakukannya untuk kebahagiaan keluarganya.

 "Aduh, itu... Itu sangat banyak  bu, bapak mister?" ia menatap wajah anggota tim satu persatu dan di balas dengan senyum sukacita juga. Bunyi jumlah uang memang obat mujarab untuk menghalau segala rasa. Baik itu rasa takut, kuatir, sangsi dan lain-lain. Uang akan melampaui semua itu. 

 "Silahkan dibaca dan ditandatangani pak," Eva mengeluarkan beberapa lembar surat kontrak dari dalam map di tasnya, setelah tadi diisyaratkan Raiva.

 "Ehnggh... maaf saya tidak bisa baca. Juga sebaikanya nanti ada dengan istri saya. Maaf ya, bu," tolak pak Subhan dengan kikuk. Ia memang tak bisa baca tulis. Ia sekolah hanya kelas 4 SD saja.  

 Dulu, pada saat ia kelas 4 SD itu, ayahnya meninggal. Lalu Bersama adik-adiknya mereka lalu pindah ke Kebun Kopi ini karena rumah di pekarangan kecil di kota Palu harus di jual. Ibunya kehabisan biaya hidup. Hasil jual rumah dipakai untuk beli lahan kebun yang lebih besar nilainya daripada tanah di kota. 

Papa Rainy merupakan teman sepermainan Pak Suhan dan mereka harus berpisah. Nanti setelah berkeluarga Pak Subhan kerap mengantarkan hasil kebun saat Rainy masih kecil, sebelum akhirnya mereka pindah ke Jakarta, mengurus perusahaan opanya.(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun