Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Penulis,fiksi,komik,freejournalist,perupa dan aktifis teater

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hilang Keperawanan? Nilai atau Harga

14 Mei 2020   04:14 Diperbarui: 14 Mei 2020   09:38 1386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Shutterstock/ Beritagar.id

Pembunuhan Sadis Berlatar Keperawanan

Sabtu, 9 Mei 2020, sebenarnya cuaca di Kampung Katabung, Desa Pattaneteang, sangatlah cerah dan damai. Namun sekitar pukul 11.00, kericuhan terjadi.

Suasana yang tenang mendadak berubah mengerikan. Rahmat Bin Darwis terlihat keluar masuk rumah dengan sebilah golok terhunus ditangannya.

Ia terlihat begitu emosi seperti kerasukkan. Setelah bolak-balik teras dan bagian dalam rumah, ia lalu turun ke jalan dan lalukakan penahanan dan melukai Sumang (45), Irfan (18) dan Enal. 

 Di rumah panggung kayu yang terapit dideretan rumah warga lainnya Rahmat membawa masuk 3 warga yang disanderanya.

Yang terjadi kemudian di dalam rumah itu adalah hal yang sangat mengerikan, karena Ros (RO) yang berusia 16 tahun, gadis remaja yang duduk dibangku SMA Kelas II harus mengalami deraan siksa dan aniaya yang sangat sadis.

Gadis remaja yang tengah mekar-mekarnya itu mengalami luka bacok disekujur tubuhnya (Seperti digambarkan di Tribunnews.com dan Kompas.com) justru oleh kakak-kakak kandungnya sendiri.

Parahnya lagi, itu dilakukan dengan disaksikan seluruh anggota keluarga (Kasihan ada balita 2 orang yang harus merekam peristiwa itu), plus ketiga sandera tadi. 

Foto. Kompas.com/Abdul Hag Yahya Maulana T/ lokasi TKP di Bantaeng
Foto. Kompas.com/Abdul Hag Yahya Maulana T/ lokasi TKP di Bantaeng
RO, gadis malang itu harus mengalami penghukuman mengerikan yang akhirnya di akhiri dengan (maaf) penggorokan leher. Para pelaku kemudian dibekuk pada pukul 17.30,  setelah penyanderaan yang panjang selama 6 jam 30 menit, sejak pukul 11.30 WIT.  

 Meski para pelaku berhasil dilumpuhkan polisi, namun rakyat kita seolah tersentak dan bertanya, apa motif sebenarnya tragedy di luar batas kemanusiaan yang terjadi di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan ini? Mengapa ada ibu/bapak serta kakak adik dan keluarga lain yang tega melakukan ini pada saudara sedarah mereka

 Keesokkan harinya,  minggu, 10,5,2020 lalu,  masyarakat Indonesia pun tersentak dengan peristiwa (Kriminal luar biasa-ini istilah pribadi untuk merujuk pada tindak pelanggaran diluar batas kewajaran) ini. Tribunnews.com, Kompas.com serta media lainnya segera mengabarkan berita duka ini, persis di tengah permasalahan pandemic Covid-19 yang belum juga reda. 

 Nyaris saja saya menyalahkan covid-19 lagi karena menenggarai ada  kemungkinan tekanan social ekonomi yang terlalu kuat.

Ternyata penyebabnya adalah masalah SIRI. Kehilangan Keperawanan seorang gadis tanpa mengikuti perkawinan secara tradisi, itu melanggar adat atau, Siri. Itu pula yang di alami gadis remaja berusia sekolah yang dibantai anggota keluarganya di atas, karena telah bersetubuh dengan pria dan kehilangan keperawanan.

 Siri adalah suatu sistem serta ikatan prinsip adat istiadat suku Bugis yang begitu dikenal dan sudah lama tumbuh di Negerinya Sultan Hassanudin ini. Bahkan adat Suku Bugis ini sudah dikenal luas dalam masyarakat Indonesia terutama di Tanah Sulawesi. Lalu bagaimana? Bukankah adat merupakan kekayaan serta khasanah budaya Negara? Apakah ada sesuatu yang salah dengan adat istiadat ini? 

***

Keperawanan Seharga 1 Miliar?

Foto: Tribunnews.com/ lukasi MD diperkosa
Foto: Tribunnews.com/ lukasi MD diperkosa
Tragedi kehilangan keperawanan ternyata tak hanya terjadi di Kabupaten Bantaeng, tapi juga di Gresik, Jawa Timur.  Dikisahkan; adalah IS seorang ibu berusia 49 tahun yang marah dan tak terima dengan ulah SG pria bangkotan berusia 51 tahun yang memerawani putrinya MD. 

 Rupanya IS adalah tipe ibu berpekerti luhur. Ia tak ingin keperawanan sang anak yang hanya satu atau sekali (boleh dengan asumsi istilah pembaca sendiri) direndahkan begitu saja.

Baginya keperawanan anaknya adalah harga diri keluarga, harga suatu kebenaran secara agama serta prinsip moral yang terlalu etis dan baik.

Itu bukan hanya tidak bisa terbeli dengan uang, tetapi juga dosa, seperti pengakuannya kepada Tribunnews.com. Walhasil, Upaya  suap 500 juta dari pihak SG dengan muslihat renovasi rumah keluarga IS, ya gatotlah (gagal total).

 Seolah tak luntur nilai juangnya, SG yang 51 tahun ini mengutus duta besar pribadi untuk urusan penutupan kasus pemerkosaannya.

Duta itu bernama Nur Hadi, seorang wakil rakyat yang harusnya pasti -dalam perencanaan SG-  bakal mampu mempengaruhi  IS dan keuarga MD (korban) yang lain. Bukankah anggota dewan itu terhormat dan memiliki wibawa? Mungkin seperti itu pikir SG.

Apalagi utusan damai ini tak pergi dengan tangan kosong. Ia membawa sangu sebesar 1atau SATU  Miliar rupiah (saya ulangi lagi biar lebih jelas). Satu Miliar Rupiah, Rp. 1.000.000.000,- itukah harga keperawanan MD? 

 Manusia miskin mana yang tahan dengan uang Sembilan angka nol itu. Itu harga keperawanan gadis MD yang sudah dibobolnya. Kali ini pasti berhasil. Bagi orang berduit, segala sesuatunya pasti dapat dirupiahkan. Bisa jadi itu pikiran yang ada di benak SG.

 Tapi lagi-lagi SG hanya bisa merutuk dalam hati sambil menahan rasa was-was. Pasalnya IS tak bergeming. Bagi ibu yang prinsip hidupnya berkiblat  pada kebenaran ini 'sekali perawan tetap perawan.' Maksudnya; sekali perawan, tetap kesucian dan itu kebenaran hakiki. Tidak bisa ditukar dengan apapun. Nama baik keluarga serta masa depan dan nama baik korban MD, terikat kuat dengan milik pusaka anak gadisnya yang dijaga oleh semua ibu dan bapak sejak dulu, dari generasi ke generasi. Lucu dan mirisnya, tembok tebal kebenaran yang ada dihati Bunda IS ini lebih kokoh dari pertahanan benar setebal selembar duit yang dimiliki Nur Hadi, sang wakil rakyat. 

 Sayangnya tidak semua ibu dan bapak sekokoh Ibu IS selaku orang tua MD, sang korban pemerkosaan ini. Pada beberapa kasus (Tak bisa disalahkan) kebanyakan dikalangan muda-mudi, setelah setelah lobi-lobi panjang serta kesepakatan harga damai (bukan nilai) sebagai jaminan perasaan, serta juga perhitungan kurang-lebihnya secara bijaksana maka pihak keluarga korban memahami bahwa tak mungkin mengembalikan keperawanan yang telah hilang, maka 'akhirnya' mereka terpaksa mengawinkan anak gadis mereka dengan para penjahat kelamin yang nantinya jadi menantu. Tua atau muda asal bisa menjamin masa depan korban yang bahkan ada yang sangat dibawah umur.  

Kisah Keperawan vs  Kekuasaan Kim Jong Un

Foto: GenPI/ Anggota Brigade Kenikmatan
Foto: GenPI/ Anggota Brigade Kenikmatan
Lho, kok? Nama Penguasa otoriter Korea Utara ini terbawa-bawa? Nanti, sebentar. Satu-satu, ya? Hubungan nya tetap ada dan mungkin sudah berkelebat di benak anda apalagi para bapak dan pemuda lajang (jomblo). 

 Mengenai Kim Jong Un, bukan rahasia umum bagi kita yang sama-sama tahu dan mengerti arti keperawanan dimata penguasa Korea Utara ini.

Bagaimana ia membangun sebuah tim bernama Brigade Kenikmatan yang anggotanya terisi oleh para perawan cantik yang di rekrut khusus di sekoah-sekolah.

Para gadis ini dibayar sekitar 25 juta rupiah, untuk melayani Kim Jong Un dan para petinggi Negara di dalam kereta mewahnya termasuk urusan begituan, seperti dicatat oleh GenPI.co yang juga dilansir dari The Sun (30 April 2020).

Jika disbanding-bandingkan, maka 25 juta untuk membayar keperawanan  para gadis Korut ini adalah harga yang terlalu sedikit yang diberikan seorang penguasa dibandingkan dengan harga 1 Miliar yang di tawarkan SG  kepada  IS dan putrinya MD. 

 Setidaknya di Negara kita banyak para penguasa (dengan uang) yang terbukti dan tidak, melakukan hal 'membeli' keperawanan seorang gadis baik oleh pribadi si gadis jika dia sudah akil baliq atau masih dibawah umur dengan sepengetahuan orang tua.

Kehidupan hedonis dikota-kota kita yang banyak merujuk pada kehidupan dunia barat --tidak secara 100%, padahal-  begitu gampang mempengaruhi paradigma serta mindset seorang gadis perawan atau malah seorang pria hidung belang  yang berpikir tentang arti sebuah keperawanan.

Artinya keperawanan itu 'mbisa jadi bagi mereka' sepanjang dikelola baik ia berharga dan memberi manfaat. Ini bukan lagi tentang nilai tapi tentang kegunaan dan harga.

Di beberapa berita di media social barat yang sempat dihebohkan dengan berita seorang gadis yang menawarkan keperawanannya dengan harga tertantu demi membiayai sekolah atau untuk menopang keluarga.

Berita itu kemudian heboh, tapi tidak untuk berita semacam itu yang bermunculan kemudian lebih banyak. Bahkan berita mirisnya, alangkah banyak kasus penggerebekkan aksi mesum para gadis remaja baik dengan rekan-rekan seusia maupun dengan para lelaki pembeli kenikmatan.  Kejadian ini juga menjelaskan bahwa rata-rata gadis remaja itu tidak perawan lagi.

 Lalu apa bedanya nilai keperawanan itu di mindset para gadis kota yang bebas jika disepadankan dengan  mindset keperawanan yang ada di benak ibu IS yang menjunjung tinggi martabat keluarga atau juga di benak RD yang sangat menjunjung bahkan rela menukar harkat suatu adat dengan nyawa adik perempuannya?  Lebih tegas lagi! Apa sebenarnya keperawanan itu?

 Perawan dan hilanng keperawanan. Tentang kata hilang keperawanan ini sebenarnya kata status bukan benda. Maka saya sering salah hati atau  ada rasa tangggung jawab bahasa dalam menyebutkannya. Jadi kata yang tepat mengenai istilah 'hilang' keperawanan di atas adalah, jika hilang; berarti bisa dikembalikan?  kalaudisebut lepas keperawanan; jatuh/lepasnya dimana?  jika dikatakan keperawanannya dicuri; barang buktinya ada dimana?

Maka sebaikanya saya pakai kata yang tepat sesuai pengertian bahasa Indonesia. dengan harapan semua setuju. yaitu sudah terpakai. Nah lho. Banyak yang keberatan kan? Memang kata ini tak etis. Justru  disinilah letak kekayaan per-adat-an kita bangsa Indonesia yang kaya 'Tepo Seliro atau  tenggang rasa.

Kekayaan rasa bangsa kita yang dilatari oleh adat multi etnis terasa begitu kuat dan punya nilai santun yang tinggi-hingga ekstrim, contohnya seperti yang di alami Ros di Kabupaten Bantaeng itu. Rasa malu yang kuat yang serasa menampar wajah keluarga sangat hidup dalam adat suku Bugis. Sementara, masing-masing suku di Indonesia juga sama-sama memiliki adat serta perilaku budaya yang kuat. Seberapa kuat adat ini tertanam dan mempengaruhi komunitas serta anggota adat yang ada tentu hanya dapat terukur setelah adanya re’aksi dari pelanggaran adat yang ditimbulkannya. Ada reaksi negative seperti tragedy Bantaeng ini tapi itu di mata social dan hukum karena bagi pelaku penghukuman sepihak yang ia lakukan bersama keluarga dipahami sebagai suatu kebenaran yang lahir oleh implementasi  dari adat tersebut (sepanjang polisi tidak menemukan motif  lain dibalik pembunuhan ini).

 Kasus pemerkosaan yang terjadi di Bantaeng dan Gresik ini adalah ‘adanya upaya menjaga nilai luhur dari suatu pemahaman yang diyakini sebagai harga diri atau harkat dan martabat / nama baik’ keluarga dimata adat serta  nilai kebenaran hakiki yang di pegang sebagai kebenaran yang di ajarkan oleh agama sebagai keyakinan personal. Ini dua persamaan yang saya temukan dalam dua kasus pemerkosaan ini. Persamaan lainnya adalah usia dan status pelaku yang sama-sama adalah keluarga korban serta status umur yang bisa berarti  juga sudah berkeluarga. Jika pelaku masih lajang atau muda, apakah ada pintu rembuk sebagai solusi? Bisa saja sepanjang ada pengaruh dan pertimbangan masing-masing keluarga korban.

 Di beberapa daerah dan adat, pelanggaran asusila ini dapat berakibat pada, di buang dan tak dianggap sebagai keluarga, ada yang di usir, ada yang dikutuk dan macam-macam lagi. Semua konpensasi ini disatu sisi patut dihargai dan daripada hukum mati yang terlihat physikopatic. Namun pada kasus di Bantaeng unsur penganiayaan berlebihan oleh Karena factor emosi tak terbendung, lebih kentara dibanding penghukuman secara adat.  Agar lebih hati-hati saya mencoba bertanya pada rekan saya yang bersuku Bugis yang mengakui adanya pelanggaran danpenhukuman karena Siri di dalam etniknya, namun menolak cara penghukuman yang diluar batas kemanusiaan wajar.

 Sekarang pertanyaannya, apakah menjaga nilai suatu ideology dalam komunitas /personal adalah juga secara langsung ‘berarti’ menjaga keperawanan atau nilai pusaka itu sendiri? Atau ia hanyalah sebuah akibat? Maka kita perlu melakukan penakaran secara mendetail tentu saja. Disinilah makna nilai dan harga suatu keperawanan menjadi sangat berbeda meski bersebelahan jalur. Bagis saya, nilai itu lebih kepada mengemukanya rasa taat atau takzim terhadap suatu keluhuran yang dipercaya termasuk Tuhan yang oleh agama adalah kebenaran absolute. Ini tak dapat ditawar. Maka tak heran, bagi satu keluarga di Bantaeng, kehilangan keperawanan saudara gadis mereka adalah sama saja dengan kehilangan keluarga secara fisik. Sedangkan bagi IS, ibu dari korban MD di Gresik,  kehilangan keperawanan anaknya masih merupakan pelanggaran nilai agama –oleh pelaku, bukan korban-  yang bisa di tawar dengan nilai luhur lainnya yang juga produk dari agama yang di anutnya. Disini kebenaran jadi fakta bahwa Agama seperti kita singgung di atas tadi mejadi penyeimbang logis antara pelanggaran dan penghukuman. Apapun agama itu. Bagi saya, adat yang kaya akan nilai budaya,  juga harus berkiblat dan mengedepankan nilai-nilai keagamaan. Disinilah diperlukan kewajiban bagi para teknokrat, birokrat serta pelaku budaya untuk dapat menciptakan pagar serta sosialisasi nilainya agar tidak melanggar nilai agama serta kemanusiaan. Tentu saja dengan tanpa menyinggung esensialitas dari adat itu sendiri. 

 Ibu IS selaku korban kedua tak langsung tentu saja sanagt marah dan tersinggung. Tidak status anaknya yang tidak perawan lagi tentu sangat membebani hargadiri serta nama baiknya. Tapi dengan bekerjanya rasionalitas atau logika ditambah pemahaman agama yang baik, ia sanggup bernantang suap oleh Nur Hadi dengan penyataan mengejutkan di atas 1 miliar rupiah, ‘Yang itu kan sudah dosa, masak ditambah dosa lain lagi?’ katanya, menjadi filterisasi bagi ‘bobolnya’ suatu nurani akibat ideology yang dianut terlalu ekstrim. 

 Dari peristiwa di atas kita sebagai orang Timur sadar bahwa nilai budaya di Nusantara yang kita cintai ini masih kuat dan hidup. Ini suatu hal yang membanggakan kita semua meski sangat perlu pedoman dan penghayatan moral sebagai budi pekerti yang bisa merawat adat-budaya kepada upgrade yang lebih positif.  

 Saya agak terenyuh melihat foto para brigade kenikmatannya Kim Jong Un. Dalam foto itu para gadis perawan ini nampak tersenyum. Apakah senyum itu tanda kepuasan karena adanya suatu paham bela Negara atau berbuat bagi pemimpin Negara, atau lebih karena keterpaksaan suatu system otoriter yang tak bisa ditolak? Entahlah. Yang pasti jika rekrutmen dan pengambilan gadis-gadis perawan ini terus berlangsung maka para pemuda di Negara itu harus puas mengawini para gadis tanpa keperawanan. Dan ini fakta! Bukan komedi. ///Memang sangatlah susah bagi banyak orang menanggung benih kandungan dari hasil pelangaran moral, namun lebih mulia menerima, merawat dan membentuk bayi itutumbuh menjadi manusia berbudi luhur@ mutiara pribadi Franklin Towoliu; untuk para pengaborsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun