Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Penulis,fiksi,komik,freejournalist,perupa dan aktifis teater

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hilang Keperawanan? Nilai atau Harga

14 Mei 2020   04:14 Diperbarui: 14 Mei 2020   09:38 1386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan hedonis dikota-kota kita yang banyak merujuk pada kehidupan dunia barat --tidak secara 100%, padahal-  begitu gampang mempengaruhi paradigma serta mindset seorang gadis perawan atau malah seorang pria hidung belang  yang berpikir tentang arti sebuah keperawanan.

Artinya keperawanan itu 'mbisa jadi bagi mereka' sepanjang dikelola baik ia berharga dan memberi manfaat. Ini bukan lagi tentang nilai tapi tentang kegunaan dan harga.

Di beberapa berita di media social barat yang sempat dihebohkan dengan berita seorang gadis yang menawarkan keperawanannya dengan harga tertantu demi membiayai sekolah atau untuk menopang keluarga.

Berita itu kemudian heboh, tapi tidak untuk berita semacam itu yang bermunculan kemudian lebih banyak. Bahkan berita mirisnya, alangkah banyak kasus penggerebekkan aksi mesum para gadis remaja baik dengan rekan-rekan seusia maupun dengan para lelaki pembeli kenikmatan.  Kejadian ini juga menjelaskan bahwa rata-rata gadis remaja itu tidak perawan lagi.

 Lalu apa bedanya nilai keperawanan itu di mindset para gadis kota yang bebas jika disepadankan dengan  mindset keperawanan yang ada di benak ibu IS yang menjunjung tinggi martabat keluarga atau juga di benak RD yang sangat menjunjung bahkan rela menukar harkat suatu adat dengan nyawa adik perempuannya?  Lebih tegas lagi! Apa sebenarnya keperawanan itu?

 Perawan dan hilanng keperawanan. Tentang kata hilang keperawanan ini sebenarnya kata status bukan benda. Maka saya sering salah hati atau  ada rasa tangggung jawab bahasa dalam menyebutkannya. Jadi kata yang tepat mengenai istilah 'hilang' keperawanan di atas adalah, jika hilang; berarti bisa dikembalikan?  kalaudisebut lepas keperawanan; jatuh/lepasnya dimana?  jika dikatakan keperawanannya dicuri; barang buktinya ada dimana?

Maka sebaikanya saya pakai kata yang tepat sesuai pengertian bahasa Indonesia. dengan harapan semua setuju. yaitu sudah terpakai. Nah lho. Banyak yang keberatan kan? Memang kata ini tak etis. Justru  disinilah letak kekayaan per-adat-an kita bangsa Indonesia yang kaya 'Tepo Seliro atau  tenggang rasa.

Kekayaan rasa bangsa kita yang dilatari oleh adat multi etnis terasa begitu kuat dan punya nilai santun yang tinggi-hingga ekstrim, contohnya seperti yang di alami Ros di Kabupaten Bantaeng itu. Rasa malu yang kuat yang serasa menampar wajah keluarga sangat hidup dalam adat suku Bugis. Sementara, masing-masing suku di Indonesia juga sama-sama memiliki adat serta perilaku budaya yang kuat. Seberapa kuat adat ini tertanam dan mempengaruhi komunitas serta anggota adat yang ada tentu hanya dapat terukur setelah adanya re’aksi dari pelanggaran adat yang ditimbulkannya. Ada reaksi negative seperti tragedy Bantaeng ini tapi itu di mata social dan hukum karena bagi pelaku penghukuman sepihak yang ia lakukan bersama keluarga dipahami sebagai suatu kebenaran yang lahir oleh implementasi  dari adat tersebut (sepanjang polisi tidak menemukan motif  lain dibalik pembunuhan ini).

 Kasus pemerkosaan yang terjadi di Bantaeng dan Gresik ini adalah ‘adanya upaya menjaga nilai luhur dari suatu pemahaman yang diyakini sebagai harga diri atau harkat dan martabat / nama baik’ keluarga dimata adat serta  nilai kebenaran hakiki yang di pegang sebagai kebenaran yang di ajarkan oleh agama sebagai keyakinan personal. Ini dua persamaan yang saya temukan dalam dua kasus pemerkosaan ini. Persamaan lainnya adalah usia dan status pelaku yang sama-sama adalah keluarga korban serta status umur yang bisa berarti  juga sudah berkeluarga. Jika pelaku masih lajang atau muda, apakah ada pintu rembuk sebagai solusi? Bisa saja sepanjang ada pengaruh dan pertimbangan masing-masing keluarga korban.

 Di beberapa daerah dan adat, pelanggaran asusila ini dapat berakibat pada, di buang dan tak dianggap sebagai keluarga, ada yang di usir, ada yang dikutuk dan macam-macam lagi. Semua konpensasi ini disatu sisi patut dihargai dan daripada hukum mati yang terlihat physikopatic. Namun pada kasus di Bantaeng unsur penganiayaan berlebihan oleh Karena factor emosi tak terbendung, lebih kentara dibanding penghukuman secara adat.  Agar lebih hati-hati saya mencoba bertanya pada rekan saya yang bersuku Bugis yang mengakui adanya pelanggaran danpenhukuman karena Siri di dalam etniknya, namun menolak cara penghukuman yang diluar batas kemanusiaan wajar.

 Sekarang pertanyaannya, apakah menjaga nilai suatu ideology dalam komunitas /personal adalah juga secara langsung ‘berarti’ menjaga keperawanan atau nilai pusaka itu sendiri? Atau ia hanyalah sebuah akibat? Maka kita perlu melakukan penakaran secara mendetail tentu saja. Disinilah makna nilai dan harga suatu keperawanan menjadi sangat berbeda meski bersebelahan jalur. Bagis saya, nilai itu lebih kepada mengemukanya rasa taat atau takzim terhadap suatu keluhuran yang dipercaya termasuk Tuhan yang oleh agama adalah kebenaran absolute. Ini tak dapat ditawar. Maka tak heran, bagi satu keluarga di Bantaeng, kehilangan keperawanan saudara gadis mereka adalah sama saja dengan kehilangan keluarga secara fisik. Sedangkan bagi IS, ibu dari korban MD di Gresik,  kehilangan keperawanan anaknya masih merupakan pelanggaran nilai agama –oleh pelaku, bukan korban-  yang bisa di tawar dengan nilai luhur lainnya yang juga produk dari agama yang di anutnya. Disini kebenaran jadi fakta bahwa Agama seperti kita singgung di atas tadi mejadi penyeimbang logis antara pelanggaran dan penghukuman. Apapun agama itu. Bagi saya, adat yang kaya akan nilai budaya,  juga harus berkiblat dan mengedepankan nilai-nilai keagamaan. Disinilah diperlukan kewajiban bagi para teknokrat, birokrat serta pelaku budaya untuk dapat menciptakan pagar serta sosialisasi nilainya agar tidak melanggar nilai agama serta kemanusiaan. Tentu saja dengan tanpa menyinggung esensialitas dari adat itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun