Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Melayani Tuhan, menulis, melukis, perupa. Tak ada tempat seluas dan selebar hati kita.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Meraba Resah di Balik Heboh Amukan Bupati pada Mensos

4 Mei 2020   04:36 Diperbarui: 4 Mei 2020   08:47 1560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Membedakan Kemarahan Positif dan Kemarahan Destruktif

Saya melihat video Sang bupati yang lagi marah, semarah-marahnya sampai seperti kelihatan kehilangan kesabaran. Uniknya pak bupati ini sedang menggenggam tasbih di tangannya. 

Mengapa unik? Karena orang yang rajin bertasbih itu sepengertian saya berarti orang yang sedang membangun / menyusun kesabaran demi kesabaran, ketabahan demi ketabahan, kelapangan kalbu sampai selapang-lapangnya biar nanti seberat apapun masalah dan tantangan hidup, kelapangan hati kita mampu menampungnya. 

Jadi jika pemimpin sekelas bupati marah bahkan sampai mengatakan kritik terlalu pedas 'maaf sebaiknya tidak ditulis," terhadap orang lain tentu alasannya akurat alias pemicunya sangat kuat hingga menjebol kelapangan hati seorang pemimpin yang bertasbih. 

Pemimpin sah saja kalau marah, kan? Jika begitu mari kita simpulkan kemarahan bupati ini pasti kemarahan yang positif. 

Bukankah marah juga harus ada tolok ukur positifnya. Iya tidak? Kira-kira dapat dibedakanlah kemarahan seorang tokoh/pemimpin dengan kemarahan (destruktif) di jalanan yang banyak kali tak jelas takaran atau asal-usul alias ke-logikaan-nya. 

Kemarahan di jalanan adalah kemarahan liar dan tidak intelek dan Banyak kali 'Jaka Sembung bawa golok' alias tak nyambung atawa motif acheavement-nya sama sekali tak beralasan. 

Bayangkan saja ada orang membunuh hanya karena bersenggolan atau dipelototin di jalanan oleh sesama pengendara atau pejalan kaki lain. Lalu timbal baliknya dihukum sampai 7 tahun atau mungkin lebih. Ini jelas-jelas tak logis. 

Koq bisa ya hal secuil itu membuat orang rela menghilangkan nyawa sampai menukar kebebasannya dengan hukuman kurungan. Ini pangkal pemikirannya bagaimana ya? 

Ini... Istilah kemarahan jalanan yang saya pakai ini juga membackup begitu banyak atau berbagai kasus pembunuhan yang sifatnya diawali dengan kemarahan yang tidak logis alias destruktif. Aneh gitu.

Ada juga kejadian dua orang pria gaek saling bunuh karena sistem irigasi di sawah. Inikan pangkalnya dari hati. Awalnya logis saja. Artinya kedua-duanya berpikir bahwa air itu sangat penting untuk mengairi sawahnya masing-masing agar padinya tumbuh subur, segar lalu panen dan berkah. Kalau berkah berarti itu berguna bagi kehidupan keluarga kedepan. 

Jadi sebenarnya bertujuan 'kemajuan' dan 'kehidupan.' Tapi koq jadinya sebaliknya yakni 'kemunduran' dan 'kematian.' Kalau istilahnya pergi bawa mobil, pulang bawa sepeda. Ini gimana ya? 

Ya, Kalau ada yang nyela, pak namanya saja gelap mata? Iya sih, benar juga. tapi waktu sedang kalap kan lagi buka mata tidak tutup mata? Kalau gelap pikiran ya, masuk akal. Aya aya wae, kata pak JK (Jarwo Kwat).

Lalu apa motif positif dari Kemarahan seorang Bupati Sehan Landjar (ini kepala Daerah Kabupaten Bolaangmongondow Timur Provinsi Sulawesi Utara) yang setahu saya orang baik dan loyal terhadap rakyat? 

Rupanya disitulah letak pemicu atau motif kemarahan pak bupati. Yaitu, sikap loyal dan kebaikan hatinya pada rakyat. Ibarat seorang bapak, beliau resah menunggu bantuan BLT yang tak kunjung datang. 

Padahal itu sudah ditunggu rakyatnya. Itu untuk menopang hidup berkelanjutan anak-anaknya (baca rakyat Boltim) karena beliau juga sudah dengan segala upaya berusaha menanggulangi penurunan pendapatan rakyat akibat Covid-19. 

Saya amati lagi video marah-marahnya pak bupati... melihat reaksi wajahnya dan... astaga! Seolah-olah saya bisa melihat wajah panik, keluhan, erangan dan doa-doa rakyat yang bermutasi jadi rasa marah karena lambatnya jawaban. 

Ya sudah betul tadi, ini kemarahan positif. Kalau kemarahan positif ini keluar dari mulut seorang bupati ya sangat baik nilainya. Coba kalau langsung dari mulut rakyat? Bisa barabe, ada aksi biasanya yang mengikuti statement dan macam-macam pula.

B. Dalam Pandemi; Sulitnya Menyepadankan Kesabaran dengan Kebutuhan Rakyat

Fakta bahwa ada 4.700 kepala keluarga di Kabupaten Boltim yang belum menerima program Bantuan Langsung Tunai, ini sebenarnya fakta yang mewakili seluruh calon penerima manfaat di Indonesia secara keseluruhan. 

Entah apa penyebab sebenarnya pihak Kemensos belum juga mencairkan BLT bansos ini, meski sehari setelah Sehan dan amukannya viral dan termuat di TV nasional, Mensos Juliari Batubara langsung menyatakan penyaluran sementara berlangsung dengan aman dan bertahap. Hanya baru di beberapa daerah saja di luar Jabodetabek.

Mulanya saya curiga dan menuduh Kemensos Juliari ini koq sepertinya ada bengal-bengalnya sedikit begitu. Artinya berani melawan atasan. 

Soalnya kan sebulan lalu juga pak Presiden sudah ultimatum di instagramnya bahwa penyaluran bantuan harus secepatnya karena rakyat sudah menunggu! Sudah butuh! Koq bisa-bisa nya perintah presiden realisasinya di kelonin seperti itu? Apa sudah bosan jadi menteri kali ya? 

Namun jauh di lubuk hati saya, Sebetulnya saya prihatin dan salut juga dengan pak Julihari dan kinerja kemensos ini. Kenapa? Ia pucuk penanggung jawab semua bansos ini. Tentulah pengorbanan pribadi dengan keluarga dan lainnya dialaminya juga. Ia pimpinan kan?

Salah bergerak di bawahnya, pasti beliau yang harus mempertanggung jaawabkan. Ihwal menjalankan perintah presiden ya pastilah ia dan jajaran kemensos langsung tancap gas. Hanya memang perlu kehsti-hatian juga. Sesuatu yang tancap gas tanpa perhitungan dan efektivitas bisa berakibat fatal.

Pak menteri Julihari pasti logikanya jalan dong. Apalagi pada saat negara dalam status serius. Artinya kalau dia berani berlambat-lambat, berani sengaja-sengaja menahan-nahan pasti efeknya sangat tak bagus bagi statusnya sebagai nahkoda Kemensos dan terutama -tentu ia juga punya- loyalitas dan kecintaan terhadap rakyat sebagai pusat pengabdiannya. 

Beliau pasti mengerti juga kalau membagikan BLT pada penerima manfaat di negara dengan 17.504 pulau, 1.340 suku bangsa dan berpenduduk 269,6 juta jiwa ini memang bukan perkara mudah. 

Apalagi dengan tipikal masyarakat yang masih banyak gampang tersinggung. Sebab itu harus penuh kehati-hatian dalam pendataan.

Lantas kenapa sampai sekarang daerah saya Sulawesi utara belum juga menerima pak? Sebabnya apa? Kendalanya apa? Apa dananya belum ada? Atau sekedar janji doang, nanti kalau Covid kelar, kelar juga penyalurannya. 

Atau apakah di Jawa lebih diutamakan dulu dari pada di luar Jawa? Wah, ini pertanyaan-pertanyaan 'curiga' yang wajar untuk dialamatkan pada Kemensos kalau kita terlalu terburu-buru dalam merespon. Ini bisa jadi pengadilan yang tidak adil di pikiran kita.

Saya juga ada di antara para penanya itu sebagai rakyat Sulut atau tarulah rakyat bangsa yang mana belum kebagian juga. Sekali lagi.wajar saja. Kalau diibaratkan film, ini sudah diluncurkan sebulan soalnya sementara di daerah saya baru dapat dari APBD kota Manado. 

Yang lainnya dari para calon kepala daerah yang mau saja berbagi. Juga ada dari pihak gereja / masjid serta beberapa orang yang kebetulan merasa memiliki lebih.

Kalau menyasar nurani rakyat pada saat pandemi yang semakin hari kian menjadi ini, kesimpulannya mereka/rakyat sedang merasa takut bukan cuma kuatir. Bahkan ketakutan ini bisa menduplikasi.

Apalagi kita tahu ini dalam skala nasional, kan bisa dibayangkan. Makanya: untuk saat ini, mengepadankan atau mensejajarkan kesabaran rakyat dengan kebutuhan rakyat yang kian memuncak menjadi agak tidak berimbang. 

Justru di sinilah negara perlu topangan dari rakyat. Saatnya bukan lagi mengangkat bambu runcing dan masuk medan perang tetapi negara sedang sangat perlu sikap sabar, pengertian dan ketulusan nurani rakyat. 

Boleh jadi ada kekurangan kecepatan, kekurangan akurasi dan pemutakhiran data dan lain-lain, tapi semua lebih kepada faktor ketidaksengajaan. 

Rakyat perlu mendukung dan mendoakan agar semua program bantuan bencana covid-19 ini boleh berjalan baik hingga tahap paling berhak. Rakyat wajib kawal. Kalau tak benar atau ada bau anyir KKN ya kita bongkar lalu pencet belalang penggerogotnya.

C. Kepala Daerah Jadi Senjata Utama Negara dalam Pengendalian Sosial Budaya Rakyat di Tengah Pandemi

Seperti kita singgung di atas tadi, negara memerlukan dukungan dari semua elemen kerakyatan, terutama para tokoh rakyat. Dan para kepala daerah adalah tokoh rakyat. Mereka dipilih oleh rakyat dan mereka juga memiliki kemampuan untuk menggerakkan rakyat. 

Kejelian seorang kepala daerah dalam membaca keadaan, sebelum menyatakan statement atau pendapat sangat dapat diraba kekuatan pengaruhnya. Kepala-kepala daerah adalah panglima di wilayahnya. Perkataan seorang panglima dapat menjadi perintah mutlak yang sangat berakibat. 

Negara tercinta ini tak ubahnya negara lain. Memiliki keunggulan disisi lain juga mengalami kekurangan disisi lainnya. Negara adalah organisasi politik-pemerintahan maha besar yang tak luput oleh ke-abai-an managerial administratif dan lain hal. 

Sebabnya masalah penyaluran bansos kepada 250 juta lebih anggota organisasi besar (baca:rakyat) dengan jutaan karakter dan latar belakang ini, juga penuh lika-liku keterbatasan. 

Jika mau berkorban bagi bangsa ini sat tepat bagi masyarakat. Tak perlu korban nyawa seperti para pejuang dulu. Tapi - sebagai penerima bantuan- kita melontarkan sedikit pujian dan dorongan semangat melayani kepada pemerintah dalam hal ini kemensos bahkan juga para pejuang kemanusiaan lain yang ada digaris depan. Banyak nyawa para pejuang yang gugur. 

Banyak istri/suami, anak, orang tua dan keluarga yang telah ditinggalkan demi menyelamatkan nyawa rakyat. Satu pujian kita mungkin bisa jadi satu mesiu dalam selongsong senapan mereka yang bernama tekad dan pengabdian. 

Masalah perut memang terlalu penting tapi jangan sampai rakyat mengalami kebutaan hati terhadap niat tulus pemerintah.

Memang para kepala daerah juga adalah tumpuan dan harapan rakyat daerahnya. Namun sepertinya pada saat seperti ini para kepala daerah dimungkinkan untuk berpikir dan bersolusi secara nasional meski dimulai dengan pergerakan secara regional atau kedaerahan.

Kebaikan hati rakyat tengah dibutuhkan. 'Ibarat luka, semakin bereaksi maka lukanya akan semakin parah.' Negara perlu para tokoh rakyat untuk menurunkan gejolak dan mengarahkan masyarakat kepada kedewasaan berpikir demi membentuk karakter masyarakat.

Kecintaan dan sifat welas seorang kepala daerah kepada rakyat yang bereaksi terhadap lambannya penanganan penyaluran BLT tentu terjadi di banyak daerah yang juga sedang menunggu. 

Di ulangi lagi, Ini sangat wajar dan patut di puji. Hanya perlu disayangkan kalau itu terjadi oleh dorongan emosi sepihak tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya terutama keamanan bangsa.

Harapan kami juga agar keterlambatan dan tingkat kesulitan yang tengah dihadapi kemensos yang kata pak Menteri Juliari, perlu kehati-hatian dalam penyaluran agar tepat sasaran karna ada begitu banyak penambahan dan perubahan database yang diterima dari 85 kabupaten dan 34 kota (119 daerah) di semua provinsi. Agar jangan ada yang terima dobel, kata pak menteri. 

Tentu saja kelambanan penyaluran BLT ini dapat menimbulkan salah tafsir dan curiga dari masyarakat. Tapi kita juga tak dapat menjamin bahwa keadaan akan bagus jika terjadi kesemrawutan pembagian akibat rekab pendataan yang terburu-buru, 

Dua-duanya terlalu beresiko. Maka hal yang paling bijak adalah itu, kita boleh semakin berlapang dada apalagi dalam bulan Ramadhan yang suci ini serta bagi umat kristen yang masih dalam perayaan rangkaian Paskah. 

Sebutlah bahwa kita sedang di uji oleh yang berhaq. Maka marilah kita saling menopang dan mendukung antara rakyat dan pemerintah. Itu indah dan sangat baik. 

Di luaran memang banyak orang memanfaatkan pandemi ini sebagai bola api untuk secara politis menyerang pemerintah yang adz bahkan individu. Presiden dan pejabat negara lain mengalami ini.

Tapi pada saat kabut tebal kelabu bernama covid ini masih ada di atas langit bangsa kita, semua serangan polotis ini sangatlah tidak patut dan terkesan tidak memiliki tenggang rasa. Kekuatan bangsa tengah terfokus pada perjuangan melawan pandemi corona. 

Pertunjukkan adu pintar dan kritik tak pada tempatnya oleh beberapa tokoh nasional malah hanya semakin memperjelas warna serta ketimpangan emosi yang berat sebelah. 

Artinya lebih berat kepada "Pokoknya negara dalam hal ini presiden dan anteknya harus bertanggung jawab dan jika bisa lengser". Ini benar sangat miskin ide dalam bersaing secara sehat dalam alam politik nasional yang harusnya matirasa dulu ditengah setiap hari ratusan saudara kita terjangkit dan ada yang meninggal.

Akhirnya mari saudaraku sebangsa dan setanah air. Lewat tulisan ini saya mau berkata bahwa kehidupan kita dapat terancam karena covid. Tapi kita dapat lebih buruk lagi kalau terancam oleh kematian nurani kita yang adalah denyut moral bangsa. 

Mari dukung pemerintah kita untuk pemulihan banga Indonesia yang lebih baik dan berhasil. Masyarakat dewasa-masyarakat cerdas! Salam persatuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun