Mohon tunggu...
Rezha Nata Suhandi
Rezha Nata Suhandi Mohon Tunggu... Penulis - Rezha

Mencintai senja kala biru, kegaduhan imajinasi lambang superioritas intelektual.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sastra Sebagai Penggerak Nurani Kemanusiaan

25 Maret 2017   16:54 Diperbarui: 26 Maret 2017   01:00 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukan Kemanusiaan Jika Tak Perduli Sesama

Kisah akhir dari sebuah sajian sastra karya Pramoedya Ananta Toer dengan judul “Bumi Manusia” sungguh sangat mengharu biru. Annelies, gadis peranakan pribumi dan Eropa Belanda harus diambil paksa dari Nyai Ontosoroh, ibu kandungnya yang merupakan gundik seorang Belanda dan Minke, suaminya.

Harta benda Nyai Ontosoroh pun dirampas melalui alibi putusan hukum pengadilan Hindia Belanda yang memenangkan gugatan anak kandung Herman Mellema dari istrinya yang dianggap sah dan dipandang memiliki derajat manusia lebih tinggi dari Nyai Ontosoroh, hanya karena dia seorang perempuan berkebangsaan Belanda sementara Nyai Ontosoroh adalah pribumi.

Sepanjang gelaran kata dengan cerita berlatar kolonialisme tersebut begitu banyak pekik kegelisahan disampaikan Pramoedya sebagai penulis. Kegelisahan tentang fenomena kemanusiaan yang terjadi ketika zaman kolonial penjajahan Belanda.

Bukan tragedi penjajahan fisik atau perlawanan dengan hanya mengandalkan semangat nasionalisme dan bambu runcing. Lebih daripada itu, ini soal penindasan dan perampasan hak-hak kemanusiaan yang dimiliki orang Indonesia sebagai pribumi, pemilik tanah dan segala isinya di bumi Nusantara ini.

Pram mencoba meramu segala sesuatunya tidak seperti buku sejarah yang harus dihadapkan pada kegiatan menghafal tentang subjek peristiwa, tapi mengupas kulit tentang fenomena terkecil penindasan pribumi yang terjadi di zaman penjajahan dahulu. Ketika menulis novel Bumi Manusia ini, nasib Pram pun tak lebih sama dari tokoh karakter pribumi yang ditulisnya. Tidak mendapatkan hak kemanusiaannya, terpenjara dari riuhnya pergaulan manusia dunia luar.

Kisah Nyai Ontosoroh dan Minke semestinya tidak terulang kembali di zaman modern seperti ini, karena lebih banyak kaum terdidik dan terpelajar yang sadar tentang kemanusiaan, hak, kesetaraan, dan hal lainnya yang kini ramai diperjuangkan dan diteriakkan para aktifis pembela.

Jika merunut jalan panjang sejarah Indonesia maka peristiwa getir penindasan layaknya cerita dalam novel Bumi Manusia selalu saja ada, menjadi bagian lain wajah suram Nusantara. Seperti telah ditakdirkan, Indonesia kaya akan kisah heroik tentang tirani dan pembebasannya, dramatis nan melankolis. Wajah kemanusiaan seakan hanya menjadi konsepsi diatas meja para tuan, namun menjadi barang mewah diwajah pribumi nan miskin. Tak habis sampai hari ini, kisah-kisah itu masih setia menemani cerita manusia Indonesia.

1945 Indonesia merdeka, artinya sudah lebih setengah abad dari hari itu ketika geliat proklamasi menjadi dentang lonceng pembebasan, pembebasan dari yang katanya penjajahan dan pendudukan wilayah Indonesia oleh Jepang. Kemerdekaan menjadi penantian panjang bagi segenap rakyat Indonesia setelah beratus tahun menjadi asing di negeri sendiri.

Rakyat bersorak riang, fikirnya tak akan ada lagi derai air mata darah tertumpah dari seorang ibu yang melihat anaknya dicucuki bayonet, tak akan ada perempuan yang dirampas kehormatannya karena diharuskan menjadi budak birahi pasukan asing penindas rakyat, dan tak akan ada lagi manusia Indonesia yang meratap akibat dirampas jati diri kemanusiaannya, tak akan ada, tak pernah ada dan jangan sampai ada.

Harapan hanya tinggal harapan kini, penyakit suka menindas dan merampas sepertinya juga sudah menular ke pribumi itu sendiri. Benar saja apa yang dikatakan oleh Bung Karno, “Perjuanganku berat karena melawan penjajah, tapi kelak perjuangan kalian akan lebih berat karena akan melawan bangsa sendiri.” Sekarang perkataan itu mewujud menjadi sebuah kenyataan. Kita telah menjadi asing kembali di tanah kita sendiri.

Essensi kemerdekaan bukan soal segannya bangsa luar menatap pemimpin negara kita di forum internasional karena telah dianggap berhasil menyunggingkan senyum pemimpin negara lain atas kesepakatan kerjasama dalam pembangunan yang dianggap menguntungkan dari hitungan ekonomi. Menyediakan tanah, air dan seisinya untuk dikelola dan diambil manfaat ekonomisnya oleh mereka, investor bangsa asing.

Essensi kemerdekaan yang dengan keringat darah diraih leluhur, pahlawan dan para pendiri bangsa adalah terbentuknya Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Undang-undang dasar 1945 pasal 33 menjamin hak masyarakat tersebut atas tanah, air, udara dan seisinya agar digunakan untuk kebermanfaatan bersama, guna mencapai tujuan Negara yang berdaulat, adil dan makmur. Kini barisan kalimat di kitab tebal undang-undang dasar itu nampak hanya sebagai slogan dan jargon legitimasi secara yuridis untuk hukum bernegara. Lupa akan essensi, makna, tujuan bahkan sejarah.

Alih-alih mendapat kesejahteraan atau keadilan apalagi berdaulat juga makmur, kita justru disingkirkan dari hak kita sebagai manusia Indonesia. Beban tanggung jawab konsitusional yang dimiliki pemerintah sebagai penyelenggara negara merangkap abdi rakyat nyatanya hanya isapan jempol belaka. Tujuan kesejahteraan pun tak lebih dari embel-embel kebaikan ada pada negara yang terbentuk atas dasar kemaslahatan bagi rakyatnya.

Jika ada yang menyebutkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, mungkin dirinya sedang coba menghibur rakyat dengan kata-kata utopis tentang bagaimana idealnya sebuah negara mengayomi rakyatnya. Pada kenyataannya, Indonesia mungkin hanya didaulat menjadi sebuah negara, guna mengamini keinginan bangsa asing merampas hak rakyat tanpa harus mencederai kesepakatan internasional mengenai penjajahan dan perbudakan di era modern.

Akhir-akhir ini bangsa kita sedang mengalami dilema atas elegi kemanusiaan yang dirasa menjadi beban peradaban. Tentang fenomena negara juga pemimpin bangsa yang dengan sadar meminggirkan rakyat untuk berbagai kepentingan atas nama investasi dan pembangunan. Disatu sisi kita tak boleh menutup mata jika bangsa dan negara ini harus menjadi mercusuar dunia. Jalannya adalah, mengejar pembangunan dengan beratus proyek ambisius yang mencengangkan. Menjanjikan perubahan dan kehidupan yang mungkin akan lebih beradab bagi anak cucu di masa depan.

Tapi di sisi lainnya kita juga tak bisa membisu atas tindakan semena-mena soal kebijakan para pemangku jabatan dalam menyikapi riak dari pembangunan yang berusaha meminggirkan masyarakat secara paksa seringkali tanpa dialog dan menggunakan cara-cara kekerasan, menjadikan masyarakat sebagai tumbal atas nama pembangunan.

Menggusur, merampas hak rakyat, menganiaya siapapun yang melawan, membenturkan antar sesama anak bangsa, militer hadapi sipil, kayu melawan batu, senjata dihadapi dengan katapel, bentakan perintah pamong sipil yang disusul tangis histeris perempuan dan anak-anak, akhirnya meratakan dengan tanah hunian yang mungkin sudah ada sebelum si penggusur lahir. Meniadakan sejarah dan memberangus budaya kehidupan manusia ber-akal. Persis seperti penjajah melawan pribumi yang seringkali disebut sebagai kelompok pemberontak.

Atas hal tersebut, tak kurang akal pemerintah tetap berusaha menunjukkan tajinya dengan alibi jika mereka bukanlah ingin meminggirkan rakyat atau menganiaya dan menambah beban derita rakyat. Mereka ingin menata, agar daerah yang sebelumnya kumuh nan kotor dan menjijikan menjadi lebih baik, lebih mewah, lebih berkelas, lebih elit, lebih mahal harganya dan terjadilah perselingkuhan antara pengusaha dengan pemerintah. Pemerintah telah menjual kemanusiaan rakyatnya pada kekuatan modal pengusaha, berbisnis dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Seiring berjalannya waktu, kawasan si miskin pada dua atau tiga tahun mendatang disulap menjadi hunian nyaman, aman dan elegan berbentuk apartemen, kompleks rumah mewah dan gedung lain yang menyakiti nurani kemanusiaan, mempertebal dinding kesenjangan antar manusia.

Lantas, sebagai jalan keluar pemerintah datang seperti pahlawan yang baru saja memenangkan pertempuran di medan perang, menawarkan solusi dengan membuatkan barak-barak pengungsi yang dinamakan rumah susun. Selain sebagai solusi hal itu juga dianggap konsekuensi logis dari resiko pembangunan.

Diruang lain sebagian masyarakat yang tak terkena dampak secara langsung, membantu secara moril dan materiil korban aniaya saudara sebangsa. Anggaplah itu sebagai sebuah gerakan solidaritas kemanusiaan sesama anak bangsa.

Selama penderitaan tidak dijadikan objek tendensi politik tertentu, perlawanan dan perjuangan gerakan solidaritas yang berusaha melawan kesewenangan harus terus ada dan menjadi gelora semangat kehidupan berbangsa bernegara pada entitas kemanusiaan.

Menurut Helvy Tiana Rosa, seorang sastrawan Indonesia. Kemanusiaan itu tak mengenal batas negara dan agama. Ia tumbuh dari keajaiban nurani yang tanpa sekat, tanpa musim. Kita mengenal dengan istilah humanisme universal, istilah yang mulai tumbuh tatkala hak azasi manusia (HAM) dipandang sebagai hal urgental dalam menghadapi dunia yang semakin tidak bersahabat.

Benar saja, kemanusiaan tidak lahir dari diskusi-diskusi diatas meja makan, bertabur racikan kopi dan berbatang lisong dengan harga selangit, lalu berbicara konsepsi dan kesepakatan-kesepakatan.

Kemanusiaan ada di hati nurani manusia itu sendiri. Hati nurani yang senantiasa menunjukkan jalan Illahiah kebenaran hakiki bagi setiap insan di bumi. Jika kita berkemanusiaan, maka kita akan melihat nurani yang meringis tatkala menatap tragedi kemanusiaan hadir diantara jeram kehidupan manusia lainnya. Walau hanya menatap seonggok manusia terpejam di lorong senja gedung tua, beratap langit dan beralas bumi.

Mungkin karena itulah bahasan tentang kemanusiaan lebih sering dihadirkan pada karya-karya sastra yang menggugah nurani manusia. Bukan teriakan apalagi demonstrasi. Tapi rangkaian kata berdialog membentuk cerita nan sendu. Hal itu yang coba terus diwujudkan para penggiat kemanusian dan sastrawan melalui karyanya.

Kata-kata dapat menjadi pedang pembebas dari siksa kemanusiaan jika kita mampu meresapi dengan hati nurani. Bukan tanpa tujuan Pramoedya Ananta Toer menulis semua itu. Ia jelas memahami, bagaimana menularkan kebaikan tentang kemanusiaan pada manusia-manusia yang membaca.

Bumi Manusia dan karya sastra lainnya yang berisi tentang makna kemanusiaan adalah sebentuk rasa untuk menggerakan nurani menyingkap ketidakadilan dan kelancangan sifat kebinatangan manusia pada manusia lainnya. Melalui kata sebagai instrument perjuangan soal hak dasar kemanusiaan, peri kebaikan dari nurani manusia hadir dan senantiasa ada. Dengan nurani yang telah tersentuh kebaikan, maka akan muncul rasa kemanusiaan pada pergaulan sosial manusia, empati dan simpati menjadi lumrah atas dasar itu.

Di negeri yang segala ada, kekayaan sumberdaya dipunya, maka tak ada alasan bagi bangsa Indonesia mengenyam derita berkepanjangan. Sudah saatnya kita menuntut apa yang secara hakikat kita miliki atas bangsa ini, bukan menjadi pengungsi di rumah kita sendiri.

Kita berhak atas negeri dan tanah ini. Jangan lagi membiasakan diri terjajah oleh ketidakadilan atas nama pembangunan. Dengan mengedepankan nurani, maka hadirlah kehidupan yang bermartabat bagi kemanusiaan. Jika kemanusiaan tergerak, maka akan terwujud manusia Indonesia yang saling memanusiakan. Menjadi tuan di tanah sendiri adalah sebuah keniscayaan, tanpa harus takut sewaktu-waktu hak dasar akan terampas kembali oleh bangsa asing atau keasingan yang mengatasnamakan Bangsa Indonesia.

 *Tulisan ini pernah dimuat di Qureta pada tanggal 18 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun