Menurut Helvy Tiana Rosa, seorang sastrawan Indonesia. Kemanusiaan itu tak mengenal batas negara dan agama. Ia tumbuh dari keajaiban nurani yang tanpa sekat, tanpa musim. Kita mengenal dengan istilah humanisme universal, istilah yang mulai tumbuh tatkala hak azasi manusia (HAM) dipandang sebagai hal urgental dalam menghadapi dunia yang semakin tidak bersahabat.
Benar saja, kemanusiaan tidak lahir dari diskusi-diskusi diatas meja makan, bertabur racikan kopi dan berbatang lisong dengan harga selangit, lalu berbicara konsepsi dan kesepakatan-kesepakatan.
Kemanusiaan ada di hati nurani manusia itu sendiri. Hati nurani yang senantiasa menunjukkan jalan Illahiah kebenaran hakiki bagi setiap insan di bumi. Jika kita berkemanusiaan, maka kita akan melihat nurani yang meringis tatkala menatap tragedi kemanusiaan hadir diantara jeram kehidupan manusia lainnya. Walau hanya menatap seonggok manusia terpejam di lorong senja gedung tua, beratap langit dan beralas bumi.
Mungkin karena itulah bahasan tentang kemanusiaan lebih sering dihadirkan pada karya-karya sastra yang menggugah nurani manusia. Bukan teriakan apalagi demonstrasi. Tapi rangkaian kata berdialog membentuk cerita nan sendu. Hal itu yang coba terus diwujudkan para penggiat kemanusian dan sastrawan melalui karyanya.
Kata-kata dapat menjadi pedang pembebas dari siksa kemanusiaan jika kita mampu meresapi dengan hati nurani. Bukan tanpa tujuan Pramoedya Ananta Toer menulis semua itu. Ia jelas memahami, bagaimana menularkan kebaikan tentang kemanusiaan pada manusia-manusia yang membaca.
Bumi Manusia dan karya sastra lainnya yang berisi tentang makna kemanusiaan adalah sebentuk rasa untuk menggerakan nurani menyingkap ketidakadilan dan kelancangan sifat kebinatangan manusia pada manusia lainnya. Melalui kata sebagai instrument perjuangan soal hak dasar kemanusiaan, peri kebaikan dari nurani manusia hadir dan senantiasa ada. Dengan nurani yang telah tersentuh kebaikan, maka akan muncul rasa kemanusiaan pada pergaulan sosial manusia, empati dan simpati menjadi lumrah atas dasar itu.
Di negeri yang segala ada, kekayaan sumberdaya dipunya, maka tak ada alasan bagi bangsa Indonesia mengenyam derita berkepanjangan. Sudah saatnya kita menuntut apa yang secara hakikat kita miliki atas bangsa ini, bukan menjadi pengungsi di rumah kita sendiri.
Kita berhak atas negeri dan tanah ini. Jangan lagi membiasakan diri terjajah oleh ketidakadilan atas nama pembangunan. Dengan mengedepankan nurani, maka hadirlah kehidupan yang bermartabat bagi kemanusiaan. Jika kemanusiaan tergerak, maka akan terwujud manusia Indonesia yang saling memanusiakan. Menjadi tuan di tanah sendiri adalah sebuah keniscayaan, tanpa harus takut sewaktu-waktu hak dasar akan terampas kembali oleh bangsa asing atau keasingan yang mengatasnamakan Bangsa Indonesia.
 *Tulisan ini pernah dimuat di Qureta pada tanggal 18 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H